tirto.id - Enam dekade silam para peneliti Institut Politeknik Ural mendaki Pegunungan Ural bagian utara, lalu meninggal secara misterius. Banyak orang masih bingung akan penyebab kematian, sampai-sampai kepolisian Rusia membuka lagi proses investigasinya pada awal Februari 2019.
Merujuk laporan AFP yang dilansir CNN World, Alexander Kurennoi, perwakilan resmi tim penyidik, mengatakan penyebabnya adalah fenomena alam.
“Kejahatan keluar dari kemungkinan penyebab. Tidak ada satu pun bukti, bahkan yang bersifat tidak langsung, yang mendukung teori soal kejahatan kriminal tersebut.”
Kurennoi menyebut faktor paling masuk akal adalah longsor salju atau angin topan, atau kombinasi keduanya. Tapi aparat Rusia bukan satu-satunya pihak yang kekurangan bukti untuk mendukung teori alam tersebut. Selama enam dekade belakangan teori lain bermunculan—baik yang ilmiah maupun yang mistis.
Insiden telah dikisahkan dalam banyak buku. Salah satunya karya Donnie Eichar, Dead Mountain: The Untold Story of the Dyatlov Pass Incident (2013).
Eichar mencatat permulaannya adalah pembentukan grup ekspedisi oleh Igor Dyatlov, pemuda berusia 23 tahun yang belajar teknik radio di Institute Politeknik Ural. Nama kejadian diambil dari nama belakangnya, ditujukan sebagai semacam tribut.
Keenam rekan pendakinya juga laki-laki, plus dua perempuan, yang masing-masing saling mengenal karena satu kampus. Selain Dyatlov, ada Yuri Dehoshenko, Lyudmila Dubinina, Yuri Krivonischenko, Alexander Kolevatov, Zinaida Kolmogorova, Rustem Slobodin, Nikolai Thibeaux-Brignolles, dan Semyon Zolotaryov.
Pendakian bukan perkara yang asing karena mereka berstatus sebagai pendaki profesional Level II dan akan naik ke Level III saat kembali dari pendakian. Misi mereka adalah mencapai gunung Otorten, yang berjarak 10 km dari lokasi kematian.
Setelah menumpang kereta dan truk, pada 27 Januari 1959 Dyatlov dan kedelapan rekannya mulai menjajaki rute awalan dari Kota Vizhai. Buku harian dan arsip foto kamera menunjukkan tim tiba di ujung lembah pada 31 Januari lalu bersiap untuk mendaki.
Kondisi di lokasi tiba-tiba memburuk. Badai salju turun dengan lebat. Pandangan mata kabur. Tim secara tak sengaja berjalan menuju rute ke puncak Kholat Syakhl.
Saat tersadar, mereka berhenti dan membangun tenda di lereng gunung, bukannya di lembah pepohonan yang berjarak 1,5 km. Konon alasannya karena Dyatlov tak ingin tim kehilangan tenaga sebab sudah terlanjur naik.
Dyatlov seharusnya mengabari klub olahraganya di kampus pada 12 Februari. Namun tidak ada kabar sampai tenggat tanggal terlewati. Sekitar satu minggu berselang, kepolisian dan dibantu tentara Soviet memulai operasi pencarian dengan menggunakan pesawat dan helikopter.
Pada 26 Februari tenda ditemukan dalam kondisi rusak berat. Ada robekan besar, yang oleh tim penyidik disimpulkan berasal dari dalam, di bagian atas hingga bawah. Terdapat barang-barang para pendaki di dalamnya, termasuk baju hangat dan sepatu, yang sebagian besar sudah tertutup salju.
Dua mayat pertama yakni Krivonischenko dan Dehoshenko ditemukan sekitar dua km dari tenda, di bawah pohon cedar, di dekat bekas perapian kecil. Keduanya tidak memakai sepatu dan hanya mengenakan pakaian dalam—hal yang aneh mengingat suhu di luar tenda mencapai -30 derajat Celcius.
Penyidik menemukan tiga mayat pendaki lain di wilayah antara tenda dan pepohonan cedar. Mereka adalah Dyatlov, Kolmogorova, dan Slobodin, yang nampak seperti meninggal dalam upaya menuju tenda.
Pencarian empat sisa mayat memerlukan waktu tiga bulan. Saat ketemu, mayat dalam kondisi terkubur salju dalam, di lokasi lebih jauh lagi dari pohon cedar tempat penemuan dua mayat pertama. Pakaian mereka lebih baik ketimbang mayat-mayat lain. Ada kemungkinan dua mayat pertama mati duluan sebab memberikan pakaiannya pada keempat rekannya itu.
Hasil investigasi awal menyatakan kesembilan pendaki meninggal akibat hipotermia. Namun hasil visum lanjutan memunculkan banyak teori sekaligus merangsang pertanyaan penting: apa yang membuat para pendaki keluar tenda hingga ujungnya meregang nyawa?
Tiga pendaki mengalami luka berat. Tengkorak Thibeaux-Brignolles retak. Dubinina dan Zolotaryov mengalami patah tulang dada. Bagian paling mengerikan: Dubinina kehilangan lidah, mata, sebagian bibir, sebagian jaringan wajah dan sedikit tulang tengkorak. Sebagian kulit tangannya juga melepuh.
Sempat ada spekulasi yang menyatakan pelakunya orang-orang Mansi yang tinggal di sekitar lereng Pegunungan Ural. Teori ini terbantahkan karena rata-rata pendaki meninggal karena hipotermia tanpa ada tanda-tanda diserang. Jejak kaki di lokasi juga hanya merujuk pada para pendaki, tidak lebih.
Teori longsoran salju menawarkan penjelasan bahwa salju yang longsor membuat para pendaki panik lalu keluar tenda dengan cara merobek dari dalam. Mereka dalam kondisi mau tidur sehingga sebagian tidak berpakaian dengan baik.
Di luar mereka terpisah. Beberapa ada yang mampu mencapai pepohonan cedar untuk mengurangi risiko longsoran. Saat longsor berakhir, mereka tak mampu mencapai tenda karena gelap dan terbunuh udara dingin.
Teori itu patah oleh beberapa kontradiksi. Pertama, tidak ada tanda-tanda telah terjadi longsor di lokasi kejadian. Kedua, berdasarkan 100-an ekspedisi sebelumnya, tidak pernah ada laporan soal faktor penyebab longsor. Ketiga, jika pun longsor, sejumlah ahli menyatakan tenda tidak berada di jalur longsoran terparah.
Teori tersebut juga belum bisa menerangkan mengapa beberapa bagian tubuh Dubinina hilang. Ada yang bilang pelakunya binatang buas. Tapi tidak masuk akal mengapa hanya Dubinina yang jadi korban, mengapa hanya bagian tubuh tertentunya yang jadi sasaran, dan mengapa pendaki lain mengalami patah atau retak tulang.
Donnie Eichar, masih dalam bukunya Dead Mountain (2013), menyatakan teori infrasonik. Eichar menyebut gelombang infrasonik diciptakan oleh karena angin yang bertiup melewati gunung Kholat Syakhl dan menyebabkan ketidaknyamanan di tubuh serta gangguan mental para pendaki.
Saat berhasil keluar tenda dan mencapai pepohonan, mereka sempat aman dari infrasonik. Namun kondisi malam membuat mereka tak mampu kembali ke tenda. Mereka meninggal karena hipotermia, dan patah tulang atau tengkorak disebabkan oleh jatuh ke jurang yang dasarnya terdapat batuan tajam.
National Geographic Wild, Vice, hingga Keith McCloskey dalam bukunya Mountain of the Dead: The Dyatlov Pass Incident (2013) mengemukakan satu teori yang jadi kecurigaan beberapa pihak: keterlibatan militer Soviet.
Para pendaki ditengarai berkemah di lahan pelatihan bom udara Soviet. Mereka terbangun usai satu bom meledak, panik, keluar tenda dengan pakaian seadanya, menuju area pepohonan, dan tak mampu kembali ke tenda. Faktanya, program pemboman udara memang sedang dilaksanakan militer Soviet di lokasi tersebut saat pendakian sedang berlangsung.
Bom yang meluncur meledak di udara, sehingga tidak ditemukan buktinya di permukaan salju/tanah sekitar tenda. Efek bom juga dinyatakan mampu membuat manusia mengalami luka-luka seperti yang dialami para pendaki. Soal hilangnya bagian tubuh Dubinina? Pendukung teori ini kembali ke hewan buas.
Teori tambahan terkait militer Soviet didasarkan pada program pengujian senjata radiologis pada waktu dan lokasi yang sama. Meski buktinya kurang kuat, namun teori ini cukup memberi penjelasan ditemukannya unsur radioaktif di beberapa bagian tubuh beberapa pendaki.
Teori-teori tersebut masih berdasarkan bukti yang tergolong rasional. Berbeda dengan beberapa pihak yang mengaitkan faktor penyebab insiden dengan hal-hal pseudo-saintifik.
Tayangan Discovery Channel bertajuk Russian Yeti: The Killer Lives (2014), contohnya, menyatakan insiden disebabkan oleh serangan Yeti. Yeti adalah makhluk serupa kera raksasa dengan bulu warna putih dan mata merah menyala yang dipercaya menghuni Siberia, Himalaya, dan daerah pegunungan di Asia Timur.
Mereka berargumen luka-luka para pendaki hanya bisa disebabkan makhluk dengan fisik dan kekuatan lebih besar dari manusia normal. Pembuat acara tentu tidak menyediakan bukti solid, tetapi analisis asal comot (cherry-picking) khas pseudo-saintifik.
Enam puluh tahun berselang, entah apa yang mendorong pemerintah Rusia untuk membuka kembali investigasi kasus tersebut. Kurrenoi, mewakili tim penyidik, menyatakan bahwa keluarga korban, media, dan publik memang masih menuntut kejelasan kasus serta meminta pemerintah tidak menyembunyikan kebenaran.
Tim penyidik akan memulai proses investigasi lewat satu volume buku setebal 400 halaman yang berisi bahan penyelidikan orisinil. Namun tim penyidik juga akan memanfaatkan teknologi modern yang belum diciptakan enam dekade yang lalu.
Bulan depan tim penyidik akan terbang ke lokasi kejadian bersama sejumlah pakar dan petugas penyelamat. Para ahli akan melakukan sembilan jenis pemeriksaan yang berbeda-beda. Salah satunya pemeriksaan forensik, yang menurut Kurennoi akan membantu memecahkan “potongan-potongan yang hilang”.
Editor: Windu Jusuf