Menuju konten utama
24 Januari 2013

Miroslav Janu: Meninggal di Tengah Kisruhnya Sepakbola Indonesia

Di antara kisruh liga dan gaji yang kerap menunggak, Miroslav Janu tetap mencintai sepakbola Indonesia.

Miroslav Janu: Meninggal di Tengah Kisruhnya Sepakbola Indonesia
Miroslav Janu. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 24 Januari 2013, tepat hari ini enam tahun lalu, Miroslav Janu meninggal dunia di RSI Jemursari, Surabaya, ketika jam menunjukkan pukul 12.12.

Sekitar tiga jam sebelumnya, sehabis mandi pagi, Miro, sapaan akrab Miroslav Janu, mengeluhkan rasa sakit di dadanya. Pada pukul sepuluh pagi, pelatih Persebaya DU itu lantas dibawa ke RSI Jemursari untuk mendapatkan perawatan. Namun, karena rasa sakit di dada Miro semakin menjadi-jadi, pada pukul sebelas pagi ia mendapatkan suntikan pengurang rasa sakit serta diberi bantuan oksigen untuk mempermudah pernafasan. Sayang, itu semua tak menolong: Janu akhirnya meninggal karena penyakit jantung.

Uston Nawawi, kapten Persebaya DU, tak percaya dengan takdir yang menimpa pelatihnya itu. Saat Persebaya DU menjalani pemusatan latihan di Bali, Miro masih terlihat baik-baik saja.

“Saya tak tahu coach [Janu] mempunyai riwayat sakit jantung. Di lapangan ia tak pernah mengeluh,” tutur Uston, seperti dilansir Juara.net.

Sementara itu Bambang Pramukantoro, manajer Persebaya DU, seperti dilaporkan Kompas, juga senada dengan Uston. Ia tak mempunyai firasat apa-apa karena Janu sempat meminta manajemen untuk mengadakan rapat evaluasi guna mengarungi kompetisi pada 2013.

“Tujuannya, dia meminta manajemen klub untuk membahas evaluasi tim menyambut musim baru 2013. Namun, dia ternyata lebih dulu dipanggil Tuhan,” tutur Bambang.

Andi Darussalam Tabussala, sahabat sekaligus orang yang mengenalkan sepakbola Indonesia kepada pelatih asal Ceko tersebut, mengatakan bahwa Miro masih mempunyai cita-cita yang belum kesampaian selama berkecimpung di dalam sepakbola Indonesia.

Suatu saat, tutur Andi, Miro mempunyai keinginan untuk menjadi pelatih timnas Indonesia. Dan meski cita-citanya itu akhirnya menguap ke angkasa, sepakbola Indonesia tentu berutang budi pada pelatih kelahiran Praha, 8 November 1959 itu. Sebagai pelatih, Miro tahu betul bagaimana cara mengajari para pemainnya untuk bersikap profesional.

Teladan bagi Sikap Profesional

Miro dikenal sebagai pelatih disiplin dan berkepala batu. Bahkan, jika para pemainnya menolak keinginannya, ia tak segan-segan berbuat tegas, yang sering kali disalahartikan sebagai tindakan kontroversial. Karenanya, ia beberapa kali terlibat bentrok dengan para pemain.

Saat Miro masih melatih Arema Malang, Noh Alam Shah, kapten Arema pada saat itu, mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya tidak menyukai Miro. Alasan Noh Alam: Miro gemar menyalahkan para pemainnya saat Arema kalah.

“Pelatih suka salahkan kami, apalagi kalau kami kalah. Terakhir kami disalahkan saat kalah di Papua. Tapi pelatih tidak mau mengerti sebab kami kalah. Kami tidak suka dengan pelatih kami,” tutur Along pada awal 2011, seperti dikutip Tempo.

Pemain-pemain Arema memang mempunyai alasan mengapa penampilan mereka mengalami penurunan. Kala itu kondisi Arema sedang berantakan. Hingga kompetisi Indonesia Super League [ISL] 2010-2011 bubar, Arema bahkan dikabarkan belum membayar gaji pemain selama lima bulan serta sejumlah bonus kemenangan. Miro tahu itu, tetapi ia tetap menuntut para pemainnya untuk bersikap profesional.

Alhasil, meski ia mendapatkan kritik keras dari para pemainnya, Miro tak mengubah sikapnya sedikit pun. Ia selalu menuntut para pemain agar selalu memberikan yang terbaik hingga akhirnya mampu membawa Arema finis di peringkat kedua ISL pada akhir musim tersebut.

“Beliau adalah pelatih yang bagus dan profesional. Yang paling menonjol dari beliau adalah kedisiplinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi,” kata M. Fachruddin, pemain Arema yang memilih mundur karena masalah tunggakan gaji itu.

Persoalan gaji yang tak dibayar memang selalu menjadi hantu menakutkan bagi sepakbola Indonesia. Selama Miro berada di Indonesia, Miro tidak satu-dua kali menghadapi kejadian tidak mengenakkan seperti itu. Terakhir, hingga ia meninggal, Persela Lamongan bahkan dikabarkan masih memiliki utang gaji sebesar 700 juta kepada Miro. Dan hal inilah yang mengakibatkan Miro memilih cabut dari Persela pada akhir musim 2011-2012.

“Mereka [manajemen Persela] tidak mau angkat handphone, tidak mau berkomunikasi. Mereka bohong di koran, mereka juga bohong kepada La Mania,” keluh Miro pada Oktober 2012.

Yang membikin Miro tambah kesal, meski masih memiliki utang gaji, Persela ternyata berani mengumumkan pelatih baru serta melakukan membentuk tim untuk persiapan mengikuti kompetisi musim selanjutnya. “Inilah Indonesia, mereka belum bayar saya tapi sudah mencari pelatih baru. Mereka belum bayar gaji pemain, namun sudah mencari pemain baru,” kata Miro.

Lantas, apakah Miro bersikap setengah-setengah meski gajinya ditunggak oleh Persela? Tentu tidak. Sebaliknya, ia justru tetap mempertahankan gaya kepelatihan yang disiplin dan keras hingga sempat membuat pemain Persela mencak-mencak.

Diwartakan Viva.co.id, pemain-pemain Persela pernah mengancam mogok latihan jika manajemen Persela tak mau memecat Miro. Alasan mereka: Miro dinilai arogan dalam melatih. Ia kerap memberikan instruksi dan materi latihan kepada para pemainnya sambil marah-marah.

Namun, Persela tetap memilih mempertahankan Miro dan pemain-pemain Persela akhirnya sadar mengapa Miro bersikap seperti itu. Karakter Miro itu ternyata mampu memacu pemain-pemain Persela untuk tampil dengan gigi empat, melupakan masalah gaji yang tertunda, hingga akhirnya berhasil finis di urutan keempat Liga Indonesia musim 2010-2011. Itulah prestasi terbaik yang pernah diraih Persela selama berkompetisi di divisi tertinggi liga Indonesia.

Karenanya, setelah Miro pergi, ia kemudian selalu menjadi patokan pemain-pemain Persela setiap kali tim asal Lamongan itu mencari pelatih baru.

“Saya tidak mau bernostalgia, tapi dulu era Janu, bertemu lawan seperti apa pun gaya main Persela tidak pernah berubah. Permainan kami spartan sepanjang laga,” tutur Choirul Huda pada 2016, seperti dilansir Bola.com.

Infografik Mozaik Miroslav Janu

Infografik Mozaik Miroslav Janu

Dia yang Mencintai Sepakbola Indonesia

Sikap Miro itu dapat ditarik benang merahnya: di tengah situasi yang amat kusut, ia tetap mencintai sepakbola Indonesia. Jika tidak, ia mungkin tidak akan pernah kembali ke negeri ini setelah mengalami peristiwa tidak mengenakkan yang terjadi pada 2004, saat ia masih menjadi pelatih PSM Makassar.

Waktu itu Miro dan tim pelatih PSM Makassar masih duduk-duduk di pinggir lapangan setelah mengakhiri sesi latihan pagi. Tiba-tiba, tujuh orang penggemar suporter mendekat, lalu berdebat dengan Tony Ho, asisten pelatih PSM Makassar. Buk! Salah seorang penggemar PSM kemudian mendaratkan sebuah pukulan ke arah Tony Ho. Miro kaget. Ia kemudian mengancam mundur jika kejadian itu terulang.

“Saya lebih baik kembali ke Ceko,” katanya.

Pada 2005, Miro memang akhirnya benar-benar kembali ke Ceko untuk menjadi asisten pelatih Slavia Praha. Meski begitu, ia sama sekali tak kapok berkarier di Indonesia. Malahan, ia bangga. Kepada Jihocesky Fotbal, media sepakbola Ceko, Miro mengatakan, “Kami [di Indonesia] memiliki stadion dengan kapasitas 25.000 penonton tapi selalu penuh. Dalam hal ini, sepakbola Indonesia memang gila.”

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan