tirto.id - Pada 11 Oktober 2018 Komisi Displin Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (Komdis PSSI) menjatuhkan sanksi untuk Arema FC. Penyebabnya, pada pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, 6 Oktober 2018 lalu, pengawas pertandingan dan tim pengawas PSSI menemukan beberapa pelanggaran terhadap kode disiplin PSSI.
Pertama, suporter Arema FC melakukan pengeroyokan terhadap suporter Persebaya. Kedua, suporter Arema FC dinilai melakukan provokasi dan intimidasi terhadap para pemain Persebaya. Ketiga, penyalaan flare yang dilakukan penggemar Arema FC. Dan keempat, suporter Arema FC melakukan pelemparan botol.
Atas tingkah polah suporternya itu, setiap kali bermain kandang di sisa pertandingan Liga 1 musim 2018, Arema dipastikan akan menggelar pertandingan tanpa penonton dan saat bermain away. Suporter Arema juga dilarang mendukung tim kesayangannya. Selain itu, untuk kasus pelemparan botol dan penyalaan flare, Arema juga didenda sebesar 100 juta rupiah.
Yang menarik, sanksi Komdis PSSI ternyata tidak hanya berlaku bagi Arema FC. Yuli Sumpil dan Fandy, dua suporter Arema, juga diberi sanksi oleh Komdis PSSI. Tak tanggung-tanggung, karena masuk ke dalam lapangan dan dinilai melakukan provokasi terhadap pemain Persebaya, Yuli dan Sandi dilarang masuk ke stadion Indonesia seumur hidup.
Menpora Imam Nahrawi kemudian ikut bersuara menyoal sanksi tersebut. "Saya belum tahu pertimbangan PSSI apa memberikan keputusan seperti itu [sanksi untuk Yuli dan Fandi]. Setidaknya, pasti ada pertimbangan. Namun demikian seperti berulang-ulang kali saya sampaikan, berikanlah keputusan atau kebijakan itu yang adil kepada siapa pun," ujar Imam seusai melakukan konferensi pers di GBK pada Jumat (12/10/2018).
Pertanyaan Imam mengenai pertimbangan PSSI dalam memberikan hukuman terhadap Yuli dan Fandi patut digarisbawahi. Sanksi PSSI tersebut memang agak menggelitik.
Dalam pasal 70 ayat 1 Kode Displin PSSI 2018 menyebutkan jenis-jenis tingkah laku buruk para penonton yang dapat dikenai sanksi. Salah satunya adalah masuk ke dalam lapangan permainan tanpa seizin perangkat pertandingan dan panitia pelaksana. Dan dalam pasal 70 ayat 4 disebutkan bahwa “sanksi yang dapat dikenakan terhadap tingkah laku buruk para penonton berdasarkan ayat (1) di atas adalah diatur sebagaimana dalam lampiran 1 pada Kode Disiplin PSSI.”
Uniknya, dalam lampiran 1 tersebut tak disebutkan bahwa suporter yang memasuki lapangan tanpa seizin panitia akan dikenai sanksi larangan datang ke stadion seumur hidup. Dalam lampiran tersebut sanksi yang disebutkan hanyalah denda sebesar 30 juta rupiah untuk satu orang yang memasuki lapangan dan 50 juta rupiah untuk dua sampai lima orang yang memasuki lapangan. Itu pun, sesuai dengan pasal 70 ayat 2, dendanya ditanggung oleh klub.
Dari situ, entah sanksi terhadap Yuli dan Fandi adil atau tidak, hanya PSSI sendirilah yang tahu. Selebihnya hanya akan ada debat kusir yang tak akan berujung seperti masalah-masalah yang terus menghantui jalannya sepakbola di negeri ini. Selama sanksi-sanksi yang diberikan masih tanpa dasar atau tanpa regulasi yang jelas, seadil-adilnya keputusan yang diambil tentu masih akan ada pihak yang tetap meragukannya.
Belajar dari Inggris
Menyoal permasalahan sanksi suporter ini, sepakbola Indonesia sebetulnya bisa belajar dari sepakbola Inggris. Tidak seperti di Indonesia yang sebagian besar tingkah laku buruk ditanggung oleh klub, di Inggris ada regulasi yang cukup detail mengenai suporter dan setiap pelanggaran yang dibuat akan ditanggung sendiri akibatnya oleh sang suporter. Menariknya, regulasi itu tidak dibuat oleh FA selaku otoritas tertinggi sepakbola di Inggris, melainkan dibuat oleh pemerintah Inggris.
Pada 1989, parlemen Inggris era Margaret Thatcher mengesahkan undang-udang bernama Football Spectator Act (FSA) 1989. Tujuan undang-undang tersebut jelas: pemerintah Inggris ingin mengidentifikasi individu yang diketahui menyebabkan kekacauan di sekitar pertandingan yang terjadi di Inggris dan di luar Inggris. Yang menarik, tidak hanya dilarang datang ke dalam pertandingan, dalam regulasi itu jenis pelanggaran yang dilakukan suporter juga bisa berakhir di kepolisian dan berurusan dengan hukum.
Seiring berjalannya waktu, regulasi itu kemudian diamandemen dan dibuat lebih detail lagi. Hal-hal yang tidak perlu dihapus dan hal-hal yang penting dirinci lagi. Hasilnya, pada 1991, The Football Offences Act 1991 muncul. Regulasi itu mengatur secara rinci soal nyanyian rasial dan lemparan benda ke dalam lapangan. Setelahnya, muncul Football (Disorder) Act 2000, juga yang terbaru adalah Violent Crime Reduction Act 2006.
Agar dapat diimplementasikan dengan baik, udang-undang tersebut juga melibatkan FA, klub, organisasi, kepolisian, juga lembaga independen. Setiap pihak yang berwenang mempunyai tugas masing-masing.
Crown Prosecution Service (CPS), misalnya, salah satu lembaga independen yang dilibatkan dalam Football Offencens Act 1991(pelemparan ke dalam lapangan, nyanyian rasial, dan invasi ke dalam lapangan), Criminal Justice and Public Order Act 1994 (calo tiket), dan Sporting Events (Control of Alcohol etc) Act 1985, mempunyai tugas untuk memastikan bahwa polisi tidak salah tangkap orang dan memberikan keadilan hukum bagi sang pelaku.
Selain itu, faktor pendukung lain agar undang-undang tersebut dapat diterapkan adalah manajemen pertandingan yang sudah cukup baik di Inggris. Menurut Wisnu Prasetyo Utomo, pengamat media dari Remotivi, sistem ticketing di Inggris sudah terkoneksi. Para suporter diwajibkan membeli tiket secara daring dan mengisi data diri secara rinci. Data itu kemudian disimpan dalam database yang dapat diketahui pihak-pihak yang terlibat dalam regulasi.
“Di Inggris kalau beli tiket harus online, data kartu, data alamat, segalanya bisa terlacak. Terus di tribun nomor bangkunya juga terlacak siapa yang beli. Kalau di kita kan tidak terlacak karena banyak calo,” ujar Wisnu, seperti dilansir VICE.
Kekerasan Menurun
Dengan adanya undang-undang tersebut, kekerasan di dalam sepakbola Inggris memang masih sering terjadi. Menurut pemerintah Inggris, pada musim 2016/2017 (dalam hajatan sepakbola di Inggris dan Wales) sebanyak 1.638 orang ditangkap untuk kemudian dilarang datang ke pertandingan karena melanggar regulasi. Riciannya: 31% karena melakukan gangguan publik, 21% melakukan kekerasan, dan 16% karena penggunaan alkohol. Meski begitu, jumlah pelanggar regulasi di kalangan suporter Inggris berhasil mengalami penurunan yang sangat signifikan pada setiap musimnya.
Sepakbola Indonesia memang tak harus melakukan pendekatan seperti yang dilakukan Inggris. Menurut Anthony Sutton, orang Inggris yang sudah lama mengamati sepakbola Indonesia, kultur sepakbola Inggris jauh berbeda. Undang-undang di Inggris dibuat untuk menyelesaikan masalah hooligan sepakbola yang senang bergerombol, minum banyak bir, dan senang berkelahi dengan pendukung tim lawan. Sementara di Indonesia, berdasarkan pengalaman Sutton, masalah kekerasan biasanya hanya terjadi saat tim-tim dengan rivalitas intens, seperti Persebaya dan Arema maupun Persib dan Persija.
Sutton sendiri optimis bahwa masalah kekerasan itu dapat diselesaikan dengan edukasi yang diberikan terhadap para suporter. Di situ, mau tidak mau, tanggung jawab diberikan kepada pihak klub maupun kelompok suporter.
Pendapat Sutton tersebut ada benarnya. Selain karena perbedaan kultur suporter, kondisi sepakbola Indonesia jelas jauh tertinggal daripada sepakbola Inggris. Di sini, PSSI masih megap-megap mengurus diri mereka sendiri, apalagi membuat regulasi baru yang bisa membuat pertandingan sepakbola lebih aman untuk ditonton oleh siapa pun. Sistem ticketing juga masih acak-acakan. Menciptakan tiket terpadu tentu sulit, walaupun tak mustahil.
Editor: Ivan Aulia Ahsan