Menuju konten utama
11 Oktober 2017

Kematian Banu Rusman dan Kebrutalan Tentara di Arena Sepakbola

Menggebuk pilu.
Dosa serdadu dalam
gelayut ungu.

Kematian Banu Rusman dan Kebrutalan Tentara di Arena Sepakbola
Ilustrasi suporter sepakbola Indonesia. tirto.id/Sabit

tirto.id - Empat orang berbadan tegap dengan kaus dan celana olahraga berwarna cokelat, lengkap dengan topi dan penutup wajah (buff) hitam mengeroyok seseorang berbaju ungu yang telah tersungkur di aspal. Sabetan bambu diarahkan bertubi-tubi. Salah satu bambu terlihat reot, menandakan pukulan yang dilakukan sangat keras.

Beruntung korban berhasil lolos. Tepat sebelumnya, ia mendapat satu tendangan di rusuk kiri.

Di tempat yang sama tapi tak begitu jauh, seorang lelaki beratribut sama dengan empat orang tadi berlari mengambil sesuatu dari lapangan—mungkin batu. Ia kemudian melemparkan benda itu ke tribun stadion yang disesaki kerumunan orang sebanyak dua kali. Setelah itu, pria berbadan tegap ini mundur perlahan sembari menggerak-gerakkan tangan tanda menantang kerumunan.

Di pojok stadion, beberapa perempuan melarikan diri lewat pagar yang telah jebol. Mereka mendapat bantuan dari dua orang laki-laki yang dari seragamnya seperti anggota Satpol PP.

Para pelaku pengeroyokan ini adalah orang-orang yang terlatih untuk bertempur di medan perang. Mereka adalah tentara dari Divif 1 Kostrad Cilodong. Sementara yang dikeroyok adalah suporter Persita Tangerang. Kerusuhan terjadi setelah dua klub bertanding dengan skor akhir 1-0 untuk kemenangan Ayam Kinantan—julukan buat PSMS Medan.

"Bisa saya pastikan yang melakukan pemukulan ke saya itu aparat TNI dari ciri-cirinya. Mereka berseragam olahraga Kostrad dan mengenakan sepatu running, bercukuran cepak, dan dari perawakannya sepertinya tentara baru," kata Dani, salah satu korban pengeroyokan.

Tentara-tentara ini bisa hadir di tribun penonton sekaligus menjadi suporter PSMS karena Edy Rahmayadi. Edy adalah pembina PSMS Medan sekaligus Panglima Kostrad sekaligus Ketua Umum PS TNI sekaligus Ketua Umum PSSI. Hanya Pangkostrad jabatan yang telah tanggal, setelah ia jadi Gubernur Sumatra Utara.

Dimas Nur Setianto, Koordinator Wilayah Tangerang Selatan Viola Wayang Persita, mengatakan bahwa semua bermula ketika istirahat babak pertama. Tentara yang ada di tribun suporter PSMS mengejek persita dengan chant "ungu itu janda". Ejekan terus dilontarkan hingga pertandingan selesai.

Setelah wasit meniup peluit panjang, beberapa suporter Persita (Ultras Casual) masuk ke lapangan untuk memprotes manajemen. Hasil akhir 0-1 membuat tim kesayangan mereka gagal lolos ke babak perempat final Liga 2.

"Lalu di tribun selatan ada kejadian lempar-lemparan. Nah, di situ tentara mulai ngamuk membabi buta. Suporter ditonjok, ditendang, dan dipukul pakai bambu. Sampai-sampai pintu stadion mereka suruh ditutup agar kami tidak bisa keluar lapangan. Yang lolos ke luar lapangan pun ditonjok," ujar Dimas.

Dimas tidak bisa memastikan siapa yang melakukan pelemparan terlebih dulu. Tapi yang jelas, provokasi pertama kali dilakukan pihak lawan.

Belasan korban jatuh dalam peristiwa itu. Di antara mereka terselip nama Banu Rusman, pelajar kelas X di STM PGRI Serpong, usia 17 tahun.

Namun beda dengan yang lain, Banu tak bisa bertahan atau kabur. Dia meninggal dunia karena pendarahan di otak akibat pukulan benda tumpul di Stadion Mini Persikabo, Cibinong pada Rabu, 11 Oktober 2017, tepat hari ini satu tahun lalu.

Banu adalah penggemar berat Persita Tangerang dan tergabung dalam klub suporter La Viola Tangerang Selatan, demikian pengakuan Sri, kakak kandungnya.

Tak banyak yang bisa dijelaskan Sri tentang kejadian yang menimpa adiknya ketika reporter Tirto bertandang ke rumahnya di Gang Cempaka IC, Serpong, Tangerang Selatan, dua hari setelah kejadian. Saat pengeroyokan terjadi ia sedang berdagang tempe, di sekitar Serpong, 62 Kilometer dari tempat Banu dihajar.

"Saya baru dengar kabarnya jam 4 sore dari temannya, Poki. Poki bilang, 'Mbak Sri, Banu di rumah sakit. Kepalanya bocor'. Suami saya langsung ke sana. Saya di rumah," kata Sri dengan suara berat dan air mata yang tertahan.

Bagi Sri, Banu adalah adik yang penurut. Sebagai anak bontot dari lima bersaudara, Banu tak pernah berselisih paham atau melawan kakak-kakaknya.

Setiap hari sepulang sekolah, Banu selalu membantu Sri berjualan tempe. Meskipun Sri mengaku jarang meminta adiknya itu membantunya berjualan.

Banu mulai tinggal bersama Sri sejak ibunya meninggal delapan tahun lalu, dan bapaknya menikah lagi tiga tahun setelahnya. Ketika itu ia baru kelas 3 SD. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh Sri dan saudaranya yang lain.

Pukul 10 pagi tanggal 13 Oktober, jenazah Banu dikebumikan di Pekalongan, Jawa Tengah, bersanding dengan ibunya.

Beberapa Jam Sebelumnya

Poki adalah sahabat dekat Banu yang sama-sama tergabung dalam La Viola Tangerang Selatan. Mereka sudah berkawan sejak SD, rumah keduanya cuma beda gang. Pokilah yang jadi saksi jam-jam terakhir kehidupan kawannya.

Menurutnya, setiap menonton Persita berlaga, keduanya selalu berangkat bersama. Kecuali ketika hari nahas itu.

"Gue ajakin si Banu, 'Nu, yuk ngawal Pendekar' [kependekan dari Pendekar Cisadane, julukan lain Persita Tangerang]. Tapi dia bilang mau ujian. Gue berangkat sendiri. Eh, pas di sono dia udah foto-foto di tribun," kata Poki.

Tak ada firasat buruk yang dirasakan Poki. Menurutnya, selama pertandingan keduanya masih menyanyikan yel bersama.

Ketika kerusuhan terjadi, keduanya terpisah. Banu ada di luar stadion yang dipenuhi suporter berseragam, sementara Poki tertahan di dalam.

"Gue baru bisa nolongin waktu pagar udah jebol. Banu udah abis dihajar, terus kegeletak," kata Poki yang tak kuasa membendung tangisnya. Pria berbehel itu mengusap air matanya dengan jersey Persita yang dikenakannya.

Berulang kali ia menyebut kata "anjing" ketika menceritakan itu.

"Gue gendong dia ke ambulans. Topinya udah darah semua. Bajunya juga. 'Temen gue ini, woy. Bawa ke rumah sakit.' Gue teriak-teriak. Polisi diam ajatuh," kata Poki di rumah duka.

Di rumah sakit, selama Poki menemani Banu dalam perawatan, firasat kematian kawannya tak pernah terbesit olehnya. Banu, kata Poki, sempat siuman dan mengajaknya bercanda. Banu meminta sebatang rokok, tapi Poki melarang karena berada di rumah sakit.

Keduanya malah sempat membuat video. Dalam video tersebut, terlihat Poki bertanya pada Banu: "Santai bray?". "Santai lah," jawab Banu.

"La Viola sampai mati, Persita abadi," sambung Banu sambil mengacungkan jari membentuk tanda peace.

Lima jam selepas membuat video, Banu meninggal dunia setelah mendapat perawatan selama lebih kurang 15 jam.

Infografik Mozaik Korban Kerusuhan Persita vs PSMS

Tong Kosong Penuntasan Kasus

Ingatan Sri kembali kepada Banu setelah kasus pengeroyokan serupa menimpa Haringga Sirla, seorang Jakmania, yang tewas mengenaskan di Bandung, Ahad (23/9/2018) lalu dan cuap-cuap Edy di Mata Najwa.

Ia teringat kembali bagaimana sebelum Banu dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya ada tiga orang perwakilan PSSI datang ke rumah dan menawari uang kerahiman Rp2 juta, lalu jadi Rp10 juta dan disertai janji penuntasan kasus—yang hingga hari ini tak ada buktinya.

Pelaku pengeroyokan Banu Rusman faktanya memang tak terungkap. Mungkin sudah pindah divisi, atau mungkin juga telah naik pangkat. Yang jelas mereka masih bebas menonton bola dan mungkin merasa kebal hukum.

"Saya enggak berharap [pembunuh Banu bisa ditemukan dan ditangkap]. Malah kesal saya," kata Sri kepada reporter Tirto, setelah menyaksikan apa yang dikatakan Edy di Mata Najwa.

Ketika itu Edy, dengan nada bicara yang coba tegas, bicara: “Sangat sulit untuk dicari kebenarannya. Akhirnya kita serahkan kepada pihak keamanan. Dalam hal ini polisi dan dilakukan penyelidikan. Dan sampai saat ini belum dapat dibuktikan.”

Ariadin, suami Sri, juga tak kalah geram. Setelah menonton ulang omongan Edy via YouTube, dia pun berkomentar: "Itu kasus Banu diungkit-ungkit juga sama saja bohong. Enggak ada harapan itu [supaya pelaku tertangkap]."

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN SUPORTER atau tulisan lainnya dari Rio Apinino & Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Rio Apinino & Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan