tirto.id -
Padahal, penurunan harga BBM bisa jadi stimulus tambahan di tengah wabah COVID-19. Ia juga mengingatkan bahwa sebagai Badan Usaha Milik Negara, Pertamina punya peran dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Pertamina sebagai BUMN dia kan ingin meraup laba sebesar-besarnya, tapi tugas utama Pertamina itu kan tidak semua mencari profit ya. Ada tujuan lain yang ingin dicapai," ujarnya kepada Tirto, Jumat (17/4/2020).
Apalagi, penurunan harga minyak dunia juga sudah berlangsung sejak Desember 2019. Berdasarkan data Bloomberg, per pukul 15.38 WIB hari ini, Jumat (17/4/2020), harga minyak mentah golongan West Texas Intermediate untuk kontrak Mei 2020 berada di angka 18,34 dolar AS per barel.
Sementara harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak Juni berada di angka 27.76 dolar AS per barel. "Mestinya Pertamina itu sudah menurunkan harga BBM, khususnya yang non-subsidi. Karena harga BBM non-subsidi itu penetapan harganya itu kan berdasarkan mekanisme pasar," tuturnya.
Desakan menurunkan harga BBM sebelumnya juga sempat disampaikan Anggota komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio kamis lalu. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama BUMN sektor energi, Primus mempertanyakan harga acuan minyak dunia yang digunakan Pertamina untuk menentukan harga BBM.
Sebab, berdasarkan data yang dimilikinya, saat ini harga minyak dunia berada di kisaran 27 dolar AS per barel barel. "Harga yang ibu berikan dengan harga di BBM itu harganya itu masih saat di 70 dolar AS per barel," kata Primus dalam kesempatan tersebut.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, perubahan harga BBM belum bisa dilakukan saat ini karena sebagai BUMN pelat merah pihaknya harus menunggu koordinasi dengan regulator yaitu Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM).
Sementara yang dapat dilakukan Pertamina saat ini, kata Nicke, hanya menyalurkan subsidi kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan seperti diatur dalam Undang-Undang APBN 2020.
"Kami tiap bulan mengikuti formula ditetapkan ESDM. Penetapan harga oleh pemerintah. Saat ini belum ada perubahan. Secara korporasi kami bisa diskon, mengubah harga bukan kewenangan Pertamina. Kami akan melangkah secara korproasi. Kami berikan kredit dan diskon pada beberapa pelanggan," tuturnya.
Antisipasi Harga Naik
Instruksi untuk menyesuaikan harga BBM non-subsidi sebenarnya sudah disampaikan Presiden Joko Widodo pada 18 Maret lalu. Namun, kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan sebelum harga BBM dipangkas.
Pertama adalah waktu transaksi kontrak pengadaan BBM. Untuk pengadaan minyak bulan April, misalnya, kontrak pengadaan sudah dilakukan 3 bulan sebelumnya. Sehingga, wajar bila Pertamina masih menggunakan harga acuan lama dalam menentukan harga BBM saat ini.
"Itu kan harga minyaknya berdasarkan harga 3 bulan terakhir dan itu ada komposisinya untuk dihitung termasuk perubahan kurs dan lain-lain kan itu harus dihitung," ucapnya kepada Tirto.
Kalau pun dipaksakan menggunakan nilai acuan saat ini, Pertamina harus menghitung ulang risiko nilai tukar rupiah yang tengah melemah terhadap dolar Amerika Serikat. "Harus dipertimbangkan karena harga minyak turun, tapi nilai tukar naik," terang Fabby.
Faktor kedua adalah rendahnya konsumsi BBM saat Pembatasan Sosial Berksala Besar (PSBB) di berbagai kota di Indonesia diterapkan. Berdasarkan paparan Pertamina di komisi VI DPR, Kemarin (16/4/2020), terjadi penurunan permintaan BBM hingga 34 persen sepanjang Maret 2020.
Dengan harga yang ada saat ini pun, perusahaan penyedia BBM seperti Pertamina belum tentu untung mengingat minimnya volume penjualan imbas rendahnya konsumsi BBM oleh masyarakat di tengah PSBB tadi.
"Orang juga konsumsi minyak enggak besar kok. Jadi kalau kata saya enggak usah menurunkan harga rendah-rendah. Kalau saya menyarankan lebih baik harganya mungkin turun tapi tidak terlalu besar," jelas dia.
Faktor lainnya adalah peluang kenaikan harga dalam waktu dekat. Menurutnya, meskipun saat ini harga minyak turun sangat dalam, bukan berarti harga itu akan bertahan selamanya.
Perusahaan energi, khususnya Pertamina sebagai perusahaan energi pelat merah, perlu melakukan saving atau menyiapkan simpanan cadangan untuk mengantisipasi lonjakan harga yang tiba-tiba.
Ia mencontohkan kondisi harga minyak di tahun 2009 yang dalam waktu 1 tahun menyusul tanda tanda peningkatan pemulihan ekonomi global. "Misalnya nih harganya sekarang di bawah 25 dolar AS/barel, kemudian nanti di bawah 3 bulan nanti tiba tiba dari 25 dolar AS/barel naik ke 50 dolar AS/barel naik ke 70 dolar AS/barel itu bagaimana?" ujarnya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, pemerintah lewat Pertamina harus menyusun strategi untuk mengantisipasi lonjakan minyak dunia. Tujuannya, agar harga BBM di dalam negeri tak langsung ikut terdampak karena sudah memiliki tabungan berupa cadangan minyak murah dalam jumlah besar.
"Pertamina diizinkan untuk menabung. Karena bisa jadi dalam 6 bulan ke depan itu ketika permintaan minyak itu naik itu kan harganya bisa naik lagi. Jadi harga minyak itu bisa sedemikian dinamis," urainya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana