tirto.id - Badan Anggaran DPR bersama pemerintah menyepakati target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp303,19 triliun dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2023. Jumlah ini meningkat Rp1,4 triliun dari kesepakatan awal RAPBN 2023 yang hanya sebesar Rp301,7 triliun.
Penerimaan cukai dan bea masuk pada tahun depan tidak berubah yakni tetap berada masing-masing Rp245,4 triliun dan Rp47,5 triliun. Sementara penyesuaian terjadi pada bea keluar ditetapkan Rp10,21 triliun dari sebelumnya Rp9,01 triliun.
Anggota Banggar DPR, Bramantyo Suwondo membeberkan, salah satu kebijakan teknis kepabeanan dan cukai yang akan ditempuh untuk menyokong penerimaan pada 2023 diantaranya, melakukan harmonisasi kebijakan barang larangan dan/atau pembatasan dengan K/L terkait dan optimalisasi kerja sama internasional di bidang kepabeanan dan cukai.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan intensifikasi cukai melalui penyesuaian tarif cukai dan ekstensifikasi cukai melalui penambahan barang kena cukai baru berupa produk plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Namun kebijakan ini diselaraskan dengan pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.
"Dalam rangka target penerimaan cukai dan menjaga sustainabilitas APBN 2023, pembahasan atas kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang dibuat Indoneia dan/atau eksensifikasi barang kena cukai baru dilakukan di Komisi XI paling lama 60 hari setelah APBN 2023 disetujui DPR dalam rapat paripurna," kata dia dalam Rapat Banggar bersama dengan Pemerintah, di Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, sebelumnya mengakui belum bisa memastikan apakah pengenaan cukai terhadap MBDK bisa dilakukan pada 2023. Karena kata Askolani, saat ini masih ada beberapa faktor yang perlu dibahas lebih lanjut sebelum kebijakan tersebut diterapkan.
"Kami akan melihat pada 2023, yang tentunya masih panjang perencanaan waktu dan bulannya. Pada 2023 tadi, kalau tanya mengenai pelaksanaan, maka tentunya pemerintah mempertimbangkan banyak faktor untuk bisa mengenai hal itu," kata Askolani dalam konferensi pers APBN Kita.
Dia menuturkan kebijakan cukai MBDK tentunya direncanakan dan dipersiapkan oleh pemerintah sesuai dengan mekanisme. Namun dalam implementasinya ada berbagai pertimbangan lain, seperti kondisi pemulihan ekonomi, kondisi ekonomi global dan nasional, kemudian dari sisi industri, sampai dengan inflasi.
"Dan juga termasuk mengenai concern kesehatan. Tentunya banyak faktor itu yang akan menjadi landasan apakah akan dilaksanakan atau belum dilaksanakan pada 2023 mengenai cukai MBDK," bebernya.
Sebelumnya, Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) mendorong pemerintah segera menerapkan cukai pada MBDK di Indonesia. Hal itu disampaikan Public Health Research Associate CISDI, Gita Kusnadi.
“Cukai MBDK perlu untuk segera diterapkan mengingat beberapa hal mulai dari aspek kesehatan, sosial ekonomi, praktik baik yang ditunjukkan oleh negara lain, pemenuhan aspek legalitas (MBDK sudah memenuhi kriteria barang kena cukai atau BKC), dan juga efektifitas dari kebijakan ini sendiri,” kata Gita Kusnadi kepada Tirto, Senin (19/9/2022) malam.
CISDI merekomendasikan pengenaan cukai dapat dilakukan secara komprehensif ke semua jenis produk MBDK. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergeseran perilaku masyarakat guna beralih ke produk yang tidak dikenakan cukai.
Seperti halnya produk yang memiliki dampak negatif yaitu rokok, CISDI menilai produsen MBDK perlu menginformasikan mengenai tingkat gula atau pemanis yang terkandung dalam produknya. Gita mengatakan perlu pelabelan yang lebih mudah dipahami oleh konsumen terkait kandungan gula atau pemanis dalam produk MBDK, seperti rendah, sedang atau tinggi berdasarkan rekomendasi batasan gula oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Hal ini mengingat dampak kesehatan dalam jangka panjang, terutama bagi anak-anak yang dapat diakibatkan oleh konsumsi MBDK yang berlebihan,” ujar dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang