tirto.id - Pemerintah berencana memasukkan komoditas kedelai dalam daftar larangan terbatas (lartas) yang memiliki konsekuensi pembatasan impor. Usulan ini muncul saat Indonesia masih bergantung pada pasokan kedelai impor sekaligus produksi yang tak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Kementan Momon Rusmono bilang lartas diperlukan untuk mengamankan produksi dalam negeri, menjaga kesejahteraan petani, dan menyeimbangkan pasokan dalam negeri. Kementan menarget kedelai, gandum, sampai tembakau. Dalam rapat Komisi IV DPR RI, Selasa (17/11/2020), Momon menyatakan, “Kementan akan mengusulkan beberapa kebijakan pengendalian impor.”
Sayangnya langkah ini hampir pasti sulit direalisasikan. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih bilang saat ini banyak petani kedelai terlibas oleh kebijakan pasar bebas tahun 1995. Awalnya produksi lokal bisa memenuhi 70-75% kebutuhan kedelai, tetapi kini terbalik. Ia memperkirakan sekitar 70-75% kini dari impor karena mudahnya proses impor dan murahnya komoditas itu di internasional.
Rencana lartas kedelai pun diyakini semakin sulit usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sebab beleid tersebut justru menghapus larangan impor bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik.
“UU Cipta Kerja saja semakin buka selebar-lebarnya impor,” ucap Henry kepada reporter Tirto dihubungi, Jumat (20/11/2020).
Selain kebijakan impor, tampaknya pemerintah sendiri kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton.
Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480.000 ton atau 16,4% dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton.
Salah satu sebabnya terkait gagalnya pengembangan area penanaman kedelai yang jauh dari target. Hingga Oktober 2019 hanya tercapai 115.318 ha dari target 616.105 ha. Per Desember 2019 luas lahan kedelai berkisar 446-614.000 ha alias tak banyak bertambah.
Pada 2018 Kementan sempat menarget luas area penanaman hingga mencapai 1,5 juta ha. Jika berhasil angka ini sanggup meningkatkan luas dari tahun 2017 yang hanya 355.799 ton. Namun menurut FAO hingga akhir 2018, total luas penanaman kedelai hanya tercapai 723.804 ha.
Melihat sulitnya mencapai target itu, maka target produksi kedelai tahun 2020 turun drastis menjadi 1,12 juta ton seperti perhitungan Musrenbangtannas pada Juni 2019. Data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan pada Februari 2020 memperkirakan produksi kedelai 2020 lebih rendah lagi di angka 420.000 ton.
Hingga 2020, tren impor kedelai pun tak berubah bahkan memburuk sejak Indonesia mengalami defisit kedelai pertama pada 1976 dengan impor 171.192 ton. FAO mencatat tren impor terus berlanjut tanpa henti. Per 1986 impor kedelai membengkak menjadi 359.271 ton, lalu menjadi 746.329 ton (1996), 1,13 (2006) dan 2,26 juta (2016). Selama 2015-2019, impor sudah konsisten di kisaran 2,2-2,5 juta ton.
Sementara itu, FAO mencatat produksi kedelai RI terus turun sejak mencapai titik tertinggi 1,86 juta ton di 1992 menjadi 1,01 juta ton (2000), 907.031 ton (2010). Data Kementan bahkan mencatat hanya 420.000 ton di 2020.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin menjelaskan ada kendala yang dihadapi petani sehingga mereka kurang tertarik menanam kedelai. Salah satunya rendahnya produktivitas kedelai.
Per 1 ha, tanaman kedelai hanya dapat menghasilkan 2-2,5 ton/100 hari padahal dengan luas serupa tanaman padi dapat menghasilkan 5-6 ton/100 hari. Alhasil potensi kedelai hanya mentok menjadi tanaman alih musim untuk memulihkan kesuburan tanah. Petani lebih tertarik menanam jenis pangan lainnya.
Kendala selanjutnya terkait kurangnya pembinaan petani kedelai dibanding tanaman pangan lain seperti padi. Ia mencontohkan petani kedelai Indonesia tak memiliki benih standar, panen masih dilakukan secara tradisional sampai hasil panen yang kurang baik seperti tercampur tanah hingga daun. Hal ini berkebalikan 100% dari petani kedelai Amerika Serikat yang jadi langganan impor Indonesia.
Lalu, kurangnya pembinaan juga menyebabkan kedelai dipanen dan dijual terlalu awal dalam kondisi masih sangat muda karena petani membutuhkan uang. Di sisi lain, kedelai petani kerap terlalu tua karena pembeli tak kunjung datang.
“Begitu dibikin tahu-tempe jadi kurang bagus,” ucap Aip kepada reporter Tirto dihubungi, Jumat (20/11/2020).
Jika persoalan ini dapat dibenahi, Aip bilang produsen pasti menyerapnya. Menurut dia produksi dalam negeri relatif aman dari risiko lonjakan harga komoditas internasional.
Ia pun mendukung langkah pemerintah meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, lantaran dapat berdampak positif bagi produsen dan harga tingkat petani ikut membaik. Secara jangka panjang dapat perlahan mengurangi impor.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan saat ini pemerintah juga terkendala data dan kebutuhan kedelai domestik masih simpang-siur. Alhasil pemerintah akan terus kesulitan menggenjot produksi dalam negeri, sementara pelaku usaha bisa terus berdalih mereka tetap memerlukan kedelai impor.
Rusli menyarankan pembenahan data dengan BPS seperti yang pernah dilakukan untuk beras. "Kalau mau lartas pastikan dulu datanya. Kan, kita gak bisa membatasi kuota. Toh, angka kebutuhannya aja masih enggak jelas,” ucap Rusli kepada Tirto dihubungi, Jumat (20/11/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz