Menuju konten utama
Mengenang Gorbachev

Mikhail Gorbachev, Dia yang Sulit Disayang di Tanah Kelahiran

Di Rusia, Mikhail Gorbachev dituding sebagai biang keladi kejatuhan Uni Soviet dan karut-marut sosioekonomi yang mengiringinya pada dekade 1990-an.

Mikhail Gorbachev, Dia yang Sulit Disayang di Tanah Kelahiran
Mikhail Gorbachev. FOTO/Reuters/Jose Luis Gonzalez

tirto.id - Mikhail Sergeyevich Gorbachev, pemimpin terakhir Uni Soviet, adalah figur yang sulit disayang di tanah kelahirannya sendiri. Hal ini tampak jelas ketika media massa mewartakan kematiannya pada 30 Agustus silam. Media yang berafiliasi dengan pemerintah tidak sungkan menunjukkan sikap yang dingin.

Jaringan berita daring yang pertama menyampaikan informasi tersebut, RIA Novosti, menyebut betapa niat baik Gorbachev untuk memperbaiki situasi negeri kala menjabat justru “mendatangkan neraka ke Bumi untuk satu negara.”

Contoh lain adalah stasiun televisi Channel One. Mereka menyayangkan sikap Gorbachev yang terlalu percaya pada Amerika Serikat dan kurang tegas mengambil keputusan—karakter yang biasa disematkan pada masyarakat tani di Rusia selatan, komunitas tempat Gorbachev lahir dan dibesarkan.

Ada pula talk show terkenal “60 Minutes”. Di sana pembawa acara Olga Skabeeva mengkritik media asal Inggris, Jerman, dan AS yang seakan mendewakan Gorbachev atas kontribusinya “mempersatukan Eropa.”

Di bawah pemerintahan Gorbachev, Tembok Berlin yang jadi simbol perpecahan ideologis antara blok Barat dan Timur diruntuhkan dan Perang Dingin berhasil diakhiri tanpa memakai senjata nuklir. Bagi Skabeeva, pandangan demikian terlalu dangkal karena seakan-akan melupakan sisi negatif dari kebijakan-kebijakan reformis Gorbachev terhadap keseharian rakyat Rusia.

Yang menggelikan, meskipun menunjukkan ekspresi sebal, Skabeeva berkata bahwa dia tak patut bicara buruk tentang orang yang baru saja meninggal.

Patriarch Kirill of Moscow, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia yang ajarannya dianut oleh mayoritas rakyat Rusia, bahkan tidak merilis ucapan dukacita. Sikap yang ditunjukkan oleh sekutu sekaligus pendukung Presiden Vladimir Putin ini tampak kontras dibanding pemuka agama lain yang terang-terangan mengenang baik Gorbachev karena dia berkontribusi membuka lebar keran kebebasan beragama.

Putin sendiri menyampaikan pernyataan belasungkawa, tapi terasa dingin. Isinya disusun secara hati-hati tanpa mengandung kata sifat bermakna positif—sebatas deskripsi kaku tentang Gorbachev, yaitu seorang “politisi dan negarawan yang memberikan dampak besar pada jalannya sejarah dunia.”

Gejolak Perestroika dan Glasnost

Apa sebab Gorbachev begitu tidak disuka?

Gorbachev tidak lain dianggap sebagai biang keladi keruntuhan Uni Soviet pada 1991 berikut karut-marut politik dan ekonomi yang menyertainya sepanjang dekade tersebut. Pandangan ini terutama tampak dalam diri politikus dan generasi yang terdampak langsung kekacauan domestik.

Namun pemimpin Soviet yang berkuasa pada 1985-1991 ini sebenarnya tidak pernah bermaksud bikin kacau apalagi memecah belah negeri sendiri.

Salah satu buktinya adalah peristiwa pada Maret 1990. Ketika itu Gorbachev justru menentang kemerdekaan Lituania dengan mengirimkan tentara. Reaksi ini berujung pada 14 kasus kematian dan 700 orang luka-luka. Aksi damai menuntut kemerdekaan dari rakyat Georgia pada 1989 juga ditanggapi dengan represi bahkan mengakibatkan sedikitnya 20 demonstran meninggal.

Ambisi Gorbachev sebenarnya sesederhana meng-upgrade sistem Soviet agar jadi lebih canggih, efektif, dan manusiawi dengan serangkaian reformasi yang dikenal dengan istilah perestroika dan glasnost.

Melalui perestroika atau 'restrukturisasi', Gorbachev ingin memperkuat ekonomi yang rapuh, korup, dan tidak efisien setelah tujuh dekade nonstop dikelola sepenuhnya oleh pusat. Caranya dengan mendistribusikan kekuatan ekonomi atau desentralisasi.

Reformasi ini berusaha mendorong swasta, dari mulai yang kelas kakap sampai produsen setingkat petani, agar lebih berani mengambil keputusan bisnis, termasuk menentukan jenis dan volume komoditas untuk diproduksi sampai harganya—yang selama ini dikontrol pemerintah.

Sementara glasnost atau 'keterbukaan' bertujuan membuat struktur Partai Komunis lebih transparan. Harapannya, mereka bisa dikritisi dan dievaluasi sehingga kinerjanya jadi lebih efisien.

Dengan dasar glasnost, Gorbachev membebaskan tahanan politik yang dipenjara karena tuduhan melakukan “agitasi dan propaganda anti-Soviet.”

Dunia pers juga diberi ruang untuk lebih bebas berekspresi. Dampaknya adalah berkembangnya diskusi dan perdebatan publik terkait kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini represif dan otoriter, terutama tentang borok sejak era kediktatoran Joseph Stalin.

Di samping itu, kebebasan beragama juga dijamin setelah sekian dekade praktiknya direpresi oleh negara.

Reformasi Gorbachev turut membuka jalan untuk pemilu yang lebih sehat. Kongres Wakil Rakyat Uni Soviet pada 1989 diikuti oleh ribuan kandidat yang tidak hanya berasal dari Partai Komunis, meskipun pemenangnya tetap didominasi kubu mereka (87 persen atau 1.957 wakil rakyat berasal dari partai itu).

Perubahan heboh lain yang didorong oleh reformasi Gorbachev berlangsung pada 1990. Saat itu, McDonald’s, waralaba makanan cepat saji asal AS yang menyimbolkan kapitalisme, pertama kali hadir di Moskow. Kala itu warga rela mengantre berkilometer untuk menjajal BigMac—yang harganya setara paket langganan tiket bus selama satu bulan.

Semua transformasi ini berlangsung secepat kilat, drastis, dan masif. Akibatnya jauh dari yang Gorbachev bayangkan. Prosesnya jadi tidak efektif dan malah menimbulkan beragam konsekuensi liar.

Contohnya adalah konsekuensi dari kebebasan berekspresi. Derasnya arus informasi, terutama hujan kritik terhadap dosa-dosa kepemimpinan Soviet lama dan kebobrokan sistem pemerintahan terpusat, justru perlahan menggerus otoritas Kremlin dan keutuhan yang berusaha dijaga Gorbachev.

Tak butuh waktu lama, sentimen-sentimen nasionalis berkembang pesat di negara-negara anggota. Pada awal 1990, Estonia, Latvia, dan Lituania menjadi kelompok pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan dari Soviet.

Contoh lain adalah dampak ekonomi. Adopsi pasar bebas yang dinamis membuat proses produksi dan distribusi barang justru tersendat. Harga komoditas—yang sebelumnya dikontrol seutuhnya oleh pemerintah—jadi kacau.

Saat itu terjadi, Gorbachev mencari pertolongan ke luar negeri. Bantuan datang dari Jerman Barat yang sejak 1990 tercatat telah memberikan pinjaman sedikitnya 5 miliar mark atau setara 2,5 miliar euro hari ini. Soviet juga menerima surplus daging ayam dari AS di bawah administrasi Presiden George H. W. Bush. Bantuan ini bahkan punya sebutan populer: “Kaki Bush”, merujuk pada bagian spesifik ayam yang diberikan, kaki-paha.

Memasuki 1991, kondisi Soviet semakin kacau dengan meletusnya demontrasi antipemerintah yang dilakukan oleh 70 ribu buruh tambang batu bara di Kazakstan. Aksi yang berlangsung sejak Maret tersebut diwarnai dengan beragam tuntutan: kenaikan gaji sampai seruan agar Gorbachev mengundurkan diri.

Pada akhirnya pemerintah gagal meredam inflasi. Dalam sekejap mata, tabungan warga yang dikumpulkan bertahun-tahun jadi tak bernilai. Sejak April, ekonomi Soviet resmi remuk redam.

Kala itu antrean warga mulai rutin muncul, bukan lagi untuk beli BigMac melainkan roti yang harganya jadi 300 persen lebih mahal. Harga daging sapi per kilogram juga naik 400 persen, sementara satu liter botol susu 350 persen. Di sisi lain upah pekerja cuma naik 20-30 persen.

Beberapa bulan kemudian, faksi garis keras dari Partai Komunis yang gusar dengan kebijakan Gorbachev dan khawatir dengan perpecahan Soviet melakukan percobaan kudeta. Upaya selama tiga hari pada Agustus itu gagal total, dan semenjak itu justru semakin banyak negara Soviet mendeklarasikan kemerdekaan.

Ketika umat kristiani merayakan natal, 25 Desember 1991, Gorbachev akhirnya memutuskan undur diri dari pucuk kepemimpinan Uni Soviet.

Infografik Mikhail Gorbachev

Infografik Mikhail Gorbachev. tirto.id/Fuad

Sentimen kekecewaan terhadap Gorbachev dipupuk sekian dekade di Rusia. Itu bisa menjelaskan sikap dinginlah yang muncul saat kematiannya.

Puncak dari ekspresi masa bodoh atau ketidaksukaan terhadap Gorbachev adalah saat Rusia tidak menyelenggarakan upacara pemakaman untuknya. Rusia rutin menggelar upacara resmi untuk pemimpin Soviet lain seperti Joseph Stalin, Leonid Brezhnev, Yuri Andropov, Konstantin Chernenko, serta Boris Yeltsin.

Nama yang disebut terakhir tidak lain adalah musuh politik Gorbachev sekaligus Presiden ke-1 Federasi Rusia (1991-1999).

Yeltsin meninggal pada 2007 atau ketika Putin nyaris menyelesaikan periode keduanya sebagai presiden. Kala itu Putin bahkan mendeklarasikan hari berkabung nasional dan datang ke pemakaman Yeltsin bersama mantan Presiden AS, Bill Clinton dan George H. W. Bush.

Putin tidak memberikan penghormatan yang sama untuk Gorbachev. Tidak ada hari berkabung nasional. Putin pun menolak hadir pada pemakaman Gorbachev dengan alasan karena super sibuk (meskipun beberapa hari sebelumnya ia dikabarkan sudah meletakkan setangkai mawar merah di samping peti jenazah di rumah sakit).

Sikap Putin tersebut tentu tak terlepas dari pandangannya terhadap kepemimpinan Gorbachev.

Ia memang mengatakan bahwa Gorbachev punya “pemahaman mendalam tentang pentingnya reformasi dan berusaha mengajukan solusi-solusinya sendiri untuk mengatasi berbagai masalah.” Namun Putin juga sudah dikenal luas sebagai orang yang menyayangkan perpecahan Uni Soviet.

Putin pernah terang-terangan menyebut pecahnya Soviet sebagai “malapetaka geopolitik terbesar pada abad [ke-20] ini.”

Baca juga artikel terkait MIKHAIL GORBACHEV atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino