tirto.id - Protes jalanan masih menjadi pemandangan lumrah di Sudan sejak akhir Desember 2018. Meski Omar al-Bashir telah diturunkan dari kursi presiden yang didudukinya selama 30 tahun terakhir, para massa pro-demokrasi tetap turun ke jalan.
Sebabnya, setelah Bashir digulingkan oleh militer pada 11 April 2019, kendali pemerintahan sampai detik ini masih dipegang oleh Dewan Militer Transisi (TMC) yang dikepalai oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan wakilnya, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti.
Massa pro-demokrasi terus menuntut secara damai agar dewan militer segera menyerahkan kekuasaan kepada sipil dalam transisi demokrasi. Namun, aksi protes damai tiba-tiba berubah menjadi petaka sejak pertengahan Mei 2019 saat korban jiwa mulai berjatuhan di pihak pengunjuk rasa.
Terbaru, pada Senin (10/6), Komite Dokter Sentral Sudan mengatakan ada empat orang yang tewas di Port Sudan dan satu di Khartoum. Jika ditotal, jumlah sipil yang tewas dalam aksi protes yang terus dibubarkan paksa oleh kekuatan militer mencapai 113 orang, dilansir dari All Africa. Sedangkan pemerintah mengatakan, jumlah korban tewas hanya 61 orang termasuk tiga personel keamanan.
Serangan paling mematikan terjadi pada 3 Juni 2019 saat pasukan paramiliter menghabisi para pengunjuk rasa yang terpusat di ibukota Sudan, Khartoum. Jason Burke dan Zeinab Mohammed Salih melaporkan untuk Guardian, para pembantai adalah kelompok bersenjata Pasukan Pendukung Cepat (RSF), sebuah kelompok paramiliter yang banyak beranggotakan milisi Janjaweed.
Dewan Militer Transisi kini menjadi majikan baru RSF. Lagipula, tak sulit mengendalikan RSF lantaran dikepalai langsung oleh Hemedti. Ia juga pernah menjabat sebagai komandan Janjaweed yang terkenal akan aksi brutal dan dituduh melakukan kejahatan perang di Darfur. Baik RSF dan Janjaweed sama-sama muncul dan dipelihara oleh rezim Bashir.
Tidak berlebihan jika Hemedti dituding sebagai sosok yang paling bertanggung jawab dalam kerusuhan di Khartoum baru-baru ini. Ia juga dipandang sebagai figur yang menolak tuntutan massa aksi yang menginginkan segera dijalankannya transisi demokrasi dengan melibatkan sipil.
Menurut para aktivis dan dokter, RSF berusaha menyembunyikan jumlah korban jiwa dengan cara melempar puluhan mayat para demonstran ke sungai Nil. Sejumlah warga dan aktivis yang mengambil sembilan mayat dari sungai menunjukkan balok beton yang diikat pada kaki beberapa mayat sebagai pemberat.
Tak hanya menembaki, mengejar, dan menyiksa para demonstran di jalanan, paramiliter RSF juga menyerang rumah sakit tempat para demonstran yang terluka dirawat dan dilaporkan memperkosa sejumlah warga. Khartoum lumpuh akibat aksi RSF.
Sementara itu, para pemimpin militer Sudan yang berkuasa, menolak disalahkan dalam kekacauan yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir. Mereka justru menyalahkan aksi para pengunjuk rasa pro-demokrasi sebagai ancaman besar bagi keamanan dan ketertiban nasional.
"Teknik menutup jalan dan membangun barikade ... adalah kejahatan sepenuhnya karena membuat orang tidak bisa menjalani kehidupan normal mereka," kata Letnan Jenderal Jamaleddine Omar, dari Dewan Militer Transisi.
Siapa dalang di balik kekacauan di Sudan?
Kontra-Revolusi Sokongan Tetangga
Sejumlah analis mengatakan aliansi tripartit yang terdiri dari Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi telah menyokong berdirinya pemerintahan junta militer Sudan. Mereka diyakini ikut memicu kekerasan di Khartoum yang melumat para pengunjuk rasa pro-demokrasi.
Dilansir dari Guardian, UEA dan Saudi menjanjikan gelontoran duit tiga miliar dolar AS sejak militer merebut kekuasaan. Baik Burhan dan Hemedti telah melawat ke UEA dan Saudi untuk membahas masalah kerja sama dan dukungan.
Putra mahkota UEA Mohammed bin Zayed bersumpah untuk membantu Burhan "menjaga keamanan dan stabilitas Sudan". Saat kekerasan pertama kali pecah, Hemedti terbang ke Saudi menemui Mohammed bin Salman (MBS), putra mahkota Saudi.
Hubungan dekat Sudan dengan negara-negara monarki teluk sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Dalam Perang Sipil Yaman, militer Sudan ikut membantu UEA dan Saudi. Sebanyak 14.000 milisi Sudan diterjunkan untuk membantu Saudi dan UEA memerangi milisi Houthi yang didukung Iran. "Sudan berdiri dengan kerajaan melawan semua ancaman dan serangan dari Iran dan Houthi," kata Hemedti setelah pertemuannya dengan MBS.
Bagi Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi, kerusuhan di Khartoum mengingatkan dirinya pada awal ia menancapkan kekuasaannya. Pada 2013, al-Sisi, yang saat itu seorang jenderal, memimpin serangan terhadap para pendukung Mursi di Kairo. Ratusan orang tewas dan lainnya luka-luka.
Kejatuhan Bashir juga persis dengan tumbangnya Husni Mubarak yang berkuasa di Mesir selama 29 tahun. Rakyat dari berbagai elemen menuntut mundur Mubarak lewat Revolusi Mesir 2011. Mirip Dewan Militer Transisi di Sudan, elite-elite militer Mesir lewat Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) mengambil alih sementara pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu yang akhirnya dimenangkan Muhammad Mursi dari kalangan Islamis.
Tapi pemerintahan sipil Mursi hanya berumur pendek. Al-Sisi dari kalangan militer yang diberi jabatan menteri pertahanan akhirnya melumat Mursi beserta kelompok pendukungnya, Ikhwanul Muslimin.
Meskipun al-Sisi secara terbuka berjanji menghormati kehendak rakyat Sudan, nyatanya ia tak bisa menyembunyikan rasa gerahnya terhadap gerakan pro-demokrasi yang sedang bersemi di Sudan. Berkaca dari kemiripan plot yang sedang berjalan di Sudan, ia khawatir bila si negeri jiran sukses menjalankan transisi demokrasi dan menularkannya ke rakyat Mesir.
Pada awal kejatuhan Bashir, Mesir menetapkan tenggat waktu 15 hari bagi militer agar segera menyerahkan kekuasaannya. Namun belakangan, setelah al-Sisi ikut campur tangan, batas waktu bagi Dewan Militer Transisi yang memerintah diperpanjang menjadi tiga bulan.
Al-Monitor mencatat, sejak kejatuhan Bashir, Burhan sering melakukan perjalanan ke tiga negara tersebut. Kairo adalah persinggahan pertamanya ketika pada 25 Mei 2019 sebelum akhirnya ia mengunjungi UEA dan Saudi. Burhan disambut hangat oleh al-Sisi dan kemudian mengadakan pembicaraan tertutup, diikuti diskusi yang dihadiri oleh Menteri Pertahanan Mesir Mohammad Zeki dan Kepala Intelijen Abbas Kamel.
Pengamat mengatakan kunjungan Burhan baru-baru ini menunjukkan bahwa dewan militer Sudan condong ke arah poros Saudi, UEA dan Mesir, sebagai lawan dari Turki dan Qatar, yang merupakan sekutu Bashir.
Laporan Associated Press pada 8 Mei 2019, aliansi tripartit telah memainkan peran sentral dalam meyakinkan jenderal-jenderal militer Sudan guna menyingkirkan Bashir yang bersekutu dengan Turki dan Qatar. Dampaknya terasa saat kantor media asal Qatar, Aljazeera di Khartoum ditutup oleh junta militer Sudan pada 31 Mei 2019, atau beberapa hari setelah Burhan mengunjungi Kairo dan Dubai.
Menurut Hassan Nafaa, profesor ilmu politik di Universitas Kairo, perjalanan Burhan menunjukkan persekongkolan tiga negara untuk mengorganisir aksi-aksi kontra-revolusi di Sudan. Nafaa yakin Burhan ingin menjiplak apa yang telah dilakukan al-Sisi di Mesir, termasuk menghajar kelompok-kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin yang mekar di Sudan dan pernah menyokong pemerintahan Bashir.
Bagaimana dengan sikap Amerika Serikat? Sampai saat ini, belum ada tanda bahwa Washington tidak setuju dengan kelakuan dua sekutunya, Saudi dan UEA, di Sudan. AS juga tak bergeming ketika kantor Aljazeera di Khartoum ditutup oleh militer Sudan. Ketika paramiliter Sudan menembaki para pengunjuk rasa damai di Khartoum, barulah AS mulai berkoar mengutuk, meminta Dewan Militer Transisi menghormati hak untuk menyampaikan pendapat secara damai dan segera mempercepat transisi demokrasi.
Editor: Windu Jusuf