tirto.id - Doa bersama jelang pernikahan atau midodareni putri habib Umar Assegaf hampir selesai pada Sabtu (8/8/2020) petang. Acara itu hanya dihadiri 20an orang keluarga dekat.
Saat tengah makan malam, dari luar terdengar teriakan. Terdengar suara “Allahu Akbar” bahkan “Syiah laknatullah”, “kafir”, dan “bunuh”. “Itu keluar semua,” kata perwakilan keluarga, Sayyid Memed, kepada reporter Tirto, Senin (10/8/2020). Memed memperkirakan suara itu berasal dari sekitar 50-100 orang.
Peristiwa ini terjadi di rumah Almarhum Segaf bin Jufri, Jalan Cempaka, Mertodranan, Pasar Kliwon Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Konsentrasi massa membuat polisi turun tangan. Saat itu Kapolsek Pasar Kliwon meminta izin keluarga untuk masuk ke rumah dan berbicara. Kata Memed, polisi bertanya soal kegiatan keluarga yang sedang berlangsung. Memed waktu itu menjelaskan kalau ini adalah acara “lamaran atas pernikahan adik perempuan kami, dan pembacaan doa untuk kelancaran pernikahan besok paginya.”
Kapolresta Surakarta juga datang. Ia lalu mengatakan bila ada anggota keluarga yang hendak keluar, maka akan dikawal polisi. Namun mereka tak mau karena pada 2018 lalu pernah ada kejadian serupa. Ketika itu, saat melaksanakan haul, mereka dikawal polisi tapi tak terhindar dari persekusi massa.
“Dulu persekusi terhadap perempuan, anak-anak. Pemukulan terhadap yang laki-laki. Anak-anak pun ada yang ditendang dan dipukul helm,” katanya.
Kepada polisi, keluarga bilang hanya akan keluar jika massa membubarkan diri.
Setelah itu Kapolresta Surakarta kembali ke dalam rumah dan bilang bahwa situasi tambah tegang, massa makin banyak, dan tidak mau membubarkan diri. Keluarga mau tidak mau mengikuti arahan. Tidak ada gangguan berarti saat satu motor dan satu mobil keluar dikeluarkan. “Tapi mobil kedua yang keluar itu dikerubuti massa. Dipukul dan ditendang. Kaca mobil dipecah.”
Keluarga kemudian mengurungkan niat karena takut mendapatkan perlakuan sama. Namun, polisi bersikeras meminta mereka cepat keluar dengan alasan massa makin tak terkendali. Polisi bilang saat itu masih kekurangan personel.
Anggota keluarga yang lain mencoba keluar lagi. Kekhawatiran mereka terbukti: tiga orang yang keluar mengendarai motor dikeroyok massa.
Pertama Husein. Ia dipukuli hanya beberapa meter dari rumah. “Pukulan di kepala, tendang di perut. Massa mengerubuti, beliau terjatuh mencoba berdiri dan melanjutkan perjalanan, namun kembali dihantam batu dari depan ke kepalanya.” Husein terjatuh hingga tak sanggup berdiri lagi dan masih dipukuli, sampai kemudian polisi mengevakuasi dan membawanya ke rumah sakit.
Umar Assegaf, kakak Husein yang mengendarai motor, juga tak luput dari amuk massa. “Pak Umar juga kena aneka pukulan dari kanan kiri [ketika] berusaha melajukan motor. Sampai kemudian seperti yang ada di rekaman video oleh warga itu ia kena pukulan di dagu dan motor ditendang hingga ia jauh,” katanya.
Umar berusaha melindungi putranya, masih berusia 15 tahun, yang dibonceng. Umar yang menjadi tameng terus dipukuli di sekujur tubuh. Ia berteriak karena kakinya terjepit motor. Umar berteriak, “kaki saya patah, tolong, kaki saya patah.”
“Dengan teriakan itu polisi yang ke lokasi segera menghalau massa dan membawa ke rumah sakit,” kata dia.
Massa yang beringas ini, kata Memed, sejenis dengan kelompok yang menyerang mereka pada 2018 lalu. Memed bilang alasan massa menyerang karena “[kami] berbeda hingga mereka menyesatkan, mengkafirkan, menghalal darah.”
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, mengecam keras penyerangan ini, juga alasannya.
“Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif,” kata Alissa lewat keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (10/8/2020) pagi.
Ia mengatakan peristiwa tersebut menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, peristiwa serupa juga terjadi pada masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat. Ini mencoreng muka Presiden Jokowi, sebab ia “pernah menyerukan bahwa tak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia,” kata Alissa.
Alissa mendesak kepolisian setempat untuk menuntaskan kasus. “Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku,” kata Alissa.
Ia juga mendesak Pemerintah Kota Surakarta untuk menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus kelompok rentan. “Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga.”
Pelaku Ditangkap
Polresta Surakarta menangkap dua orang, BD warga Solo dan HB warga luar daerah, Minggu (9/8/2020) petang, dibantu oleh Polda Jateng dan Mabes Polri.
Kapolresta Surakarta Kombes Pol Andy Rifai mengatakan baik BD dan HB ada di tempat kejadian perkara. Belum jelas apa peran mereka. “Masih didalami,” katanya di Solo, mengutip Antara.
Polisi hanya menyebut inisial, tanpa menjelaskan siapa sebenarnya kelompok yang melakukan penyerangan ini.
Perburuan terhadap penyerang masih terus dilakukan. “Kami berharap pelaku-pelaku lain bisa segera ditangkap.” Ia mengatakan Polresta Surakarta juga sudah memeriksa sembilan saksi yang melihat kejadian. Dari sana diharapkan pelaku lain bisa diidentifikasi. Ia mengatakan telah mengantongi beberapa nama lain.
Ia menegaskan akan memberikan kesempatan untuk pelaku-pelaku lain agar menyerahkan diri. “Namun, pelaku yang belum ditangkap jika tidak mempunyai itikad baik untuk menyerahkan diri dalam waktu dua kali 24 jam, kami akan melakukan penangkapan dengan cara kami,” katanya menegaskan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendukung polisi mengusut kasus penyerangan ini. Seperti dilansir Antara, Senin (10/8/2020) Ganjar mengaku telah berkoordinasi dengan Polda Jateng.
Ganjar meminta aparat penegak hukum tidak ragu untuk menindak para pelaku. Siapa pun yang merusak atau melanggar regulasi sudah sepatutnya ditindak tegas, apalagi jika pernah melakukan hal serupa sebelumnya.
“Kesepakatan dulu baik-baik, mau melakukan dan seterusnya, tetapi faktanya tidak, ya sudah, ditindak saja pelakunya. Tidak usah ragu-ragu soal ini," kata Ganjar.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino