Menuju konten utama
Miroso

Merindukan Gangan Ikan ala Belitung dari Jauh

Kuah gangan perpaduan rasa gurih, manis, asam, asin dan pedas. Disruput hangat-hangat, uh segar dan nikmat sekali.

Merindukan Gangan Ikan ala Belitung dari Jauh
Header Miroso Gangan. tirto.id/Tino

tirto.id - Saya pertama kali menginjakkan kaki di Belitung pada 2008 dalam rangka pemutaran layar tancap film Laskar Pelangi.

Bersama sang penulis, Andrea Hirata dan kru film, kami napak tilas ke semua lokasi syuting. Salah satunya Pantai Tanjung Tinggi yang begitu cantik dengan gugusan batu batu besarnya. Beristirahat sembari mengagumi keindahan karya Tuhan itu, kami disuguhi masakan ikan berkuah kuning segar bernama gangan. Duh, lidah saya langsung jatuh cinta.

Kuahnya perpaduan rasa gurih, manis, asam, asin dan pedas. Diseruput hangat-hangat, uh, segar dan nikmat menembus langit. Potongan ikannya besar, segar pula. Ada jejak kuat rasa manis alami khas ikan yang baru ditangkap. Sempurna!

Disantap begitu saja (digado) atau dicampur nasi? Enak dicampur nasi, tapi lebih nikmat digado menurut saya. Dijamin tak bisa berhenti menyeruput kuahnya hingga tetesan terakhir.

Lima tahun kemudian, saya berkesempatan pergi ke Belitung untuk kedua kalinya. Kebetulan salah satu teman dekat menikah dengan warga setempat dan mengundang saya liburan ke rumah mereka. Ketika ditanya makanan apa yang ingin saya cicipi di Belitung, tanpa ragu saya memasukkan gangan dalam urutan pertama daftar yang saya buat.

Kali itu saya dibawa ke beberapa restoran di kota yang menyajikan gangan. Sama-sama enak. Namun kepuasannya berbeda menurut saya. Entah karena tempatnya, suasananya, atau memang koki di warung pinggir pantai lebih fasih mengolah gangan.

Waktu berlalu, saya tak lagi pernah menikmati gangan. Satu, karena saya hingga sekarang tidak pernah lagi (atau belum ada kesempatan) pergi ke Belitung. Kedua, saya tidak pernah menemukan nama masakan ini di kedai kedai boga bahari maupun warung makan yang mengolah aneka menu perikanan di sekitaran Jakarta maupun Jawa Tengah.

Terpaksa rasa rindu terhadap gangan saya tahan-tahan.

Beberapa hari lalu saya merasa buntu hendak memasak apa untuk suami dan anak-anak. Bosan rasanya mengolah dan menikmati itu-itu saja. Tumisan, ca, sop, opor, semur, pasta, rica-rica, berputar begitu terus. Tak hanya saya sebagai juru masak yang bosan, yang makan pun pasti ikut bosan.

Dalam kegamangan, saya melihat salah satu foto pantai dengan sekelebat. Mendadak gambar itu memunculkan rasa kangen pada gangan ala Belitung. Langsung saya telusuri segala ragam resep gangan di internet. Terimakasih pada perkembangan internet serta hipnya dunia kuliner Indonesia, membuat jutaan resep dari siapa saja di mana saja dapat dicontek dengan mudahnya!

Dulu, untuk mencari resep masakan tertentu, kita harus berburu buku masakan, majalah, atau tabloid khusus yang mencantumkan resep. Itu juga belum tentu kita bisa pas menemukan resep yang kita cari. Sekarang, cukup menuliskan atau menyebut masakan yang kita mau di mesin pencarian, lalu segalanya kemungkinan besar bisa dihadirkan di depan mata.

Ketikan “gangan Belitung” membawa saya pada dua referensi resep. Pertama kutipan dari buku terbitan Gramedia berjudul Sajian Sedap Kuliner Daerah: Hidangan Khas Bangka-Belitung (2008) karya Irene Veronika Riva. Kedua, dari salah satu anggota komunitas memasak Cookpad yang berdomisili di Manggar, Belitung Timur, Bangka Belitung, dengan akun bernama VrA Nk. Pas, dia tinggal di daerah asal gangan.

Meski dua resep ini memuat makanan yang sama, resepnya sedikit berbeda.

Resep Irene lebih sederhana. Bumbu halus yang dibutuhkan untuk membuat sup ikan Belitung ala Irene ini hanya kunyit, cabai rawit merah, terasi, bawang merah, serai, dan lengkuas. Bahan pelengkapnya nanas setengah matang. Ikan yang disarankan Irene adalah kakap.

Sementara VrA Nk menyebut, ikan apa saja, baik ikan laut maupun tawar dapat diolah menjadi gangan. Menurutnya, ikan laut yang populer digunakan adalah ketarap, tengiri, dan ikan bulat. Bumbu halus dalam resepnya lebih beragam. Selain bahan yang sudah disebut di resep Irene, ada tambahan 1 butir bawang putih, kemiri, serta asam Jawa.

Infografik Miroso Gangan

Infografik Miroso Gangan. tirto.id/Tino

Anak-anak Pun Lahap

Sebelum memasak, saya berburu ikan ke tukang sayur yang mangkal di komplek. Saya menemukan setengah kilogram potongan kakap merah seperti dalam resep Irene. Beruntung si Bapak Sayur juga membawa nanas.

Sampai di rumah, saya cuci potongan ikan kakap tadi lalu saya kucuri jeruk nipis dan taburi garam. Saya diamkan kurang lebih 15 menit. Ini metode umum untuk menghilangkan aroma amis pada ikan. Nyaris tercantum dalam semua resep pengolahan ikan.

Untuk bumbu halus saya mengikuti resep VrA Nk, yakni bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, kemiri dan terasi. Kemiri saya sertakan karena ingat perkataan ibu saya. Menurutnya, rempah yang satu ini memberi efek gurih dan kental mirip santan. Ini hanya dalam ukuran kecil, karena bagaimanapun juga kemiri tak akan dapat menggantikan cita rasa santan.

Tapi, masakan gangan termasuk dalam kategori sop ikan. Karena itu, kuahnya memang harus encer dan tanpa minyak. Tak perlu kental, yang penting gurih.

Kembali ke masakan, saya tambahkan serai seperti dalam resep Irene, serta sedikit jahe. Cabainya saya masukkan utuh agar tidak terlalu pedas, karena ada anak-anak yang akan turut menikmatinya. Untuk menciptakan rasa asam, saya potong potong nanas setengah matang seperti dalam resep keduanya dan membubuhkan sedikit asam jawa seperti resep VrA Nk.

Cara mengolahnya: didihkan air dalam panci, kemudian masukkan bumbu halus beserta serai. Menurut Irene, serainya diambil bagian putih saja lalu diiris. Namun saya memilih teknik dimemarkan seperti yang biasa saya laukan pada masakan lain. Saya tambahkan daun salam yang sebenarnya tidak ada dalam kedua resep yang saya contek, hanya untuk menambah aromanya.

Setelah kuahnya kembali mendidih, masukkan ikan. Tunggu hingga kembali mendidih, lalu masukkan asam jawa dan nanas yang telah dipotong-potong. Tambahkan garam, gula dan penyedap jamur, lalu koreksi rasa.

Ketika masakan jadi dan dicicipi rasanya, saya takjub juga. Wow, ternyata saya bisa masak gangan! Sembari membuat tulisan ini, saya menyuruput kuah dan menikmati ikannya dalam mangkok kecil. Sama seperti dulu: tandas hingga tetes terakhir. Yang lebih menggembirakan, anak-anak dan suami pun lahap menyantapnya bersama nasi. Saya boleh bangga, dong!

Sekali lagi, terimakasih pada perkembangan teknologi yang membuat segalanya sedekat jari. Karenanya saya tak perlu jauh-jauh ke Belitung untuk menikmati gangan. Lebih hemat, higienis dan puas lagi!

Namun tentu saja, kalau ada kesempatan makan gangan langsung di Belitung, saya tak akan menolaknya!

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Kristina Rahayu Lestari

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Kristina Rahayu Lestari
Editor: Nuran Wibisono