tirto.id - Buku tebal berjudul Kronik Kalimantan Berdasarkan Catatan Pribadi dan Dokumen yang Dikumpulkan oleh Tjilik Riwut dibedah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada Rabu (29/5/2019) lalu. Buku yang di dalamnya termasuk menghimpun sejarah dan budaya Kalimantan ini disunting oleh Theresia Ambun Nila Triawati alias Nila Riwut, putri Tjilik Riwut.
Tjilik Riwut adalah putra Dayak asli, Gubernur Kalimantan pertama (1958-1967) yang oleh pemerintah RI telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Nila berusaha merampungkan penyusunan buku yang ditulis selama 9 bulan itu, dan akhirnya terbit bertepatan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Tjilik Riwut pada 2 Februari 2018 lalu.
Data-data yang digunakan untuk merangkai kronik menjadi buku itu semuanya didapat dari pencatatan dan pengumpulan oleh Tjilik Riwut semasa hidupnya. Nila berkisah, sebagai putra Dayak yang akrab dengan hutan, ayahnya kerap keluar masuk rimba bersama teman-temannya.
“Salah satu kegemaran Tjilik Riwut adalah mencatat dan mengumpulkan aneka peristiwa yang mengesankan dan dialami dalam kehidupan sehari-hari,” sebut Nila.
Setiap menemukan hal baru, Tjilik Riwut mencatatnya. Kebiasaan ini terus dilakukan sepanjang hidup, dari saat merantau ke Jawa, berjuang dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dan setelah masa-masa tenang.
Tjilik Riwut selalu mendorong Nila untuk menulis. Terlebih lagi, data yang dikumpulkan sudah teramat banyak dan menghasilkan beberapa buku. Sebagai puncaknya, Tjilik Riwut ingin agar seluruh data-data itu disusun menjadi buku kronik, termasuk tentang sejarah dan budaya Kalimantan.
Nila mengungkapkan, ayahnya berkali-kali berkata, “Budaya adalah perekat, dan sejarah adalah fondasi.” Menelusuri jejak sejarah suatu bangsa diperlukan untuk menentukan ke mana arah bangsa itu kemudian. Di posisi inilah, kronik Kalimantan seharusnya didudukkan.
Dalam acara bedah buku Tjilik Riwut tersebut, hadir pula Paschalis Maria Laksono, akademisi dari Departemen Antropologi UGM yang juga berperan sebagai narasumber pembedah.
Menurut Paschalis, Kalimantan adalah salah satu pulau di Indonesia yang paling banyak mendapatkan investasi, selain Papua, tetapi belum banyak penelitian tentang budaya setempat. Baginya, ini persoalan besar. Jika kebudayaan setempat tidak lagi dipahami oleh orang-orangnya, bagaimana mereka bisa mencintai identitasnya?
“Banyak eksploitasi, tetapi, jurusan di universitas setempat tidak ada yang mempelajari budaya setempat seperti antropologi, seni, budaya,” papar Paschalis.
Semestinya, imbuh Paschalis, seluruh perpustakaan di Kalimantan wajib memiliki buku Tjilik Riwut ini sebagai acuan dan referensi penulisan tentang segala hal yang berkaitan dengan Kalimantan. “Buku ini tentu bukan propaganda, ini adalah referensi,” tandasnya.
Pembedah kronik lainnya, Budi Subanar, pengajar di Universitas Sanata Dharma, mengatakan bahwa buku kronik ini tidak bisa dibaca secara mandiri. Ada beberapa buku lain yang disunting Nila dari data-data yang dikumpulkan Tjilik Riwut sebelum Kronik Kalimantan ini.
Buku-buku itu adalah Kalimantan Membangun Alam dan Budaya (1993), Tjilik Riwut Berkisah: Sumpah Setia Suku Dayak Pedalaman Kalimantan kepada Pemerintah RI (1996), Tjilik Riwut Berkisah: Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasi Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara RI (2003), serta Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (2003).
Tentang Tjilik Riwut
Tjilik Riwut berasal dari Suku Dayak Ngaju, dilahirkan di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada 2 Februari 1918. Semasa remaja, ia merantau ke Jawa untuk melanjutkan studi.
Pada periode itu, Tjilik Riwut tertarik dengan jurnalistik, kemudian menjadi wartawan di bawah bimbingan Sanusi Pane di Harian Pembangoenan. Setelah itu, Tjilik Riwut dipercaya mengelola keredaksian Soeara Pakat, surat kabar milik perhimpunan Pakat Dayak atau Sarikat Dayak.
Nila Riwut bercerita, ayahnya bergabung dengan laskar militer RI setelah kemerdekaan seiring masuknya kembali Belanda atau NICA -yang membonceng pasukan Sekutu- ke Indonesia.
Pada 17 Desember 1946, mewakili puluhan ribu orang Dayak, Tjilik Riwut bersumpah setia kepada pemerintah RI secara adat di hadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta.
Selama masa-masa genting itu, imbuh Nila, Tjilik Riwut terus mencatat segala hal yang dianggapnya penting. Bahkan, ia juga menulis laporan-laporan terkait NICA.
Setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Tjilik Riwut berkiprah di pemerintahan daerah. Selain sebagai Gubernur Kalimantan pertama, ia pernah menjabat Wedana Sampit, Bupati Kotawaringin, koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, hingga anggota DPR-RI.
Tjilik Riwut wafat pada 17 Agustus 1987, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI, setelah menderita penyakit hepatitis dan dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Jenazah Tjilik Riwut dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pemerintah RI kemudian menetapkan Tjilik Riwut sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1998.
Editor: Iswara N Raditya