tirto.id - Nasib Front Pembela Islam (FPI) masih menggantung. Kementerian Dalam Negeri tak juga mengeluarkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT)--dokumen legalitas organisasi--meski semua syarat sudah dipenuhi.
Karenanya, pengacara FPI Sugito Atmo Prawiro merasa kliennya sedang "dikerjain" pemerintah. Dia semakin geram karena FPI bahkan sudah menyatakan diri setia dengan Pancasila dan NKRI, dibuktikan dengan selembar surat pernyataan.
SKT milik FPI kedaluwarsa sejak 20 Juni 2019.
Ada beragam respons terkait persoalan ini. Ada yang menganggap pemerintah tak perlu repot-repot memperpanjang izin FPI.
Pernyataan ini misalnya keluar dari mulut politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohamad Guntur Romli. Lebih jauh dari itu, menurutnya FPI semestinya "dibubarkan seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), bukan malah diperpanjang SKT-nya."
Kepada reporter Tirto, Senin (2/12/2019), Guntur mengatakan FPI semestinya dibubakan saja karena mereka mencederai demokrasi. FPI, misalnya, kerap mengganggu hak-hak sipil minoritas.
"Mereka berdalih bebas bersuara dan berkumpul, tapi untuk menyerang kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai lawan," ujarnya.
Salah satu yang kerap mereka serang adalah kelompok Ahmadiyah. Ini misalnya terjadi di Depok pada 2017. FPI juga pernah beramai-ramai mendatangi kantor media Tempo karena tersinggung atas pemuatan karikatur yang dianggap menghina imam besar mereka yang kini ada di Arab Saudi, Rizieq Shihab.
Guntur menggunakan analogi penyakit yang masuk ke tubuh manusia lewat makanan. Makanan yang terkontaminasi penyakit adalah FPI, sementara tubuh adalah demokrasi.
Guntur makin yakin dengan pendapatnya karena petinggi FPI bermasalah dengan hukum. Dia, dalam hal ini, enggan memisahkan antara si individu dan organisasi tempat individu itu berada.
"FPI identik dengan kekerasan. Imam besarnya Rizieq sudah masuk penjara dua kali. Tokoh-tokoh lain seperti Bahar Smith, Novel Bamukmin, dan Munarman, semua pernah masuk penjara atas kasus kriminal kekerasan," Guntur menegaskan.
Sekretaris Dewan Syura DPP PKB, Maman Imanulhaq, juga merasa FPI identik dengan "perusakan, hate speech, dan dakwah-dakwah kebencian." Tapi berbeda dengan Guntur, dia tidak sampai pada kesimpulan kalau FPI harus dibubarkan.
"Saya berharap perpanjangan atau tidak, harus dilihat secara legal-formal atau persyaratan yang ditentukan pemerintah," katanya kepada reporter Tirto. Apabila pemerintah akhirnya memperpanjang izin FPI, Maman berharap mereka bisa "berubah."
"Itu harus diperbaiki FPI," katanya.
Kemudian, agar hal serupa tidak terulang, dia meminta jika suatu saat ada anggota FPI yang melakukan perusakan, "aparat harus bertindak tegas dan jangan tebang pilih."
Seret Ke Pengadilan
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan hak berorganisasi FPI "adalah hak konstitusional." Dia hanya bisa dibatasi "lewat pengadilan" dan bukan atas alasan-alasan administratif.
Kendati demikian, Asfin tidak menutup mata jika memang FPI kerap melakukan kekerasan. Kantor Asfin sendiri pernah diserang membabi buta oleh FPI pada 2017 lalu. Saat itu Kantor YLBHI dianggap jadi tempat penyelenggaraan acara berpaham komunis--yang sama sekali hanya pepesan kosong.
Namun segala kasus itu tetap tak bisa jadi alasan untuk membubarkan FPI. "Seharusnya orang-orangnya yang diadili. Sayangnya dulu banyak pembiaran," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino