tirto.id - Transportasi berbasis online telah memunculkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi yang kontra, mereka menolak keras menjamurnya transportasi online. Kubu yang kontra ini terutamadari jasa angkutan konvensional, seperti taksi, ojek pangkalan dan sopir angkutan kota. Berdasarkan penelusuran Tirto, demo penolakan beroperasinya transportasi online berlangsung setidaknya di enam kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Makassar.
Bentrok maupun demo yang terjadi antara angkutan online dan konvesional ini tak lepas dari lambatnya respons pemerintah yang belum tegas mengatur aturan main jenis transportasi ini. Permenhub No 32 Tahun 2016 baru menjadi peraturan yang mendefinisikan apa itu transportasi online. Sayangnya, peraturan itu hanya mengatur masalah operasional bukan persoalan inti dari transportasi online seperti model bisnis mereka yang menjadi ancaman pemain lain.
Peraturan terkait transportasi online ini semakin dikuatkan dengan Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang merupakan revisi dari Permenhub No.32/2016. Berdasarkan peraturan baru tersebut, transportasi online/taksi online merupakan angkutan sewa khusus.
Dalam pasal 19, Angkutan Sewa Khusus merupakan pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan pengemudi, wilayah operasinya dalam kawasan perkotaan, dan pemesanan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi. Pada peraturan tersebut, diatur kewajiban angkutan sewa khusus dalam memenuhi pelayanan, seperti cara pemesanan layanan, tempat menaikkan penumpang dan tarif layanan.
Pengaturan soal tarif layanan transportasi online khususnya taksi online sudah lama ditunggu-tunggu untuk memberikan kepastian dan tak merugikan konsumen maupun pelaku usaha taksi konvensional. Penetapan tarif batas atas dan bawah taksi online akhirnya diberlakukan per 1 Juli 2017 yang mengatur tarif berdasarkan wilayah. Wilayah I yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Bali memiliki batas bawah Rp3.500 per Km dan batas atas Rp6.000 per Km. Sedangkan, untuk Kalimantan, Sulawesi hingga Papua yang termasuk dalam Wilayah II memiliki batas bawah sebesar Rp3.700 per Km dan batas atas Rp6.500 per Km.
Perbedaan tarif ini sudah disesuaikan dengan perhitungan biaya langsung dan tidak langsung, seperti asuransi dan alat komunikasi. Selain itu, biaya operasional lain yang dipertimbangkan dalam perhitungan tarif ini antara lain meliputi pembelian spare part dan ban. Berdasarkan penatapan tarif tersebut, Tirto melakukan ilustrasi perbandingan biaya penggunaan taksi online.
Bila diasumsikan rute perjalanan di Wilayah I, Jakarta, dari Terminal Bus Blok M menuju Monas sepanjang 9,5 km, maka estimasi biaya yang dibayarkan penumpang sebesar Rp33.250 hingga Rp57.000. Sedangkan, untuk Wilayah II, Makassar, dengan rute perjalanan Benteng Fort Rotterdam menuju Trans Studio Mall dengan jarak 5,3 km, maka estimasi biaya yang dibayarkan penumpang sebesar Rp19.610 hingga Rp34.450.
Pada dasarnya, penetapan batasan tarif ini memberikan keuntungan terbesar bagi konsumen. Dengan batasan tarif yang ditetapkan tersebut, pilihan alat transportasi serupa menjadi lebih banyak, yaitu antara menggunakan jasa taksi online atau taksi konvensional. Serupa karena perbedaan tarif antara taksi online dengan taksi konvensional menjadi tidak jauh berbeda.
Sebagai ilustrasi, untuk rute Terminal Bus Blok M – Monas sepanjang 9,5 km dan diasumsikan keadaan jalanan lancar, biaya menggunakan transportasi online dengan menggunakan tarif batas bawah sebesar Rp33.250. Sedangkan, bila menggunakan taksi konvensional, seperti Blue Bird, biayanya sebesar Rp39.750. Dengan kata lain, perbedaan tarif antara taksi online dan konvesional menjadi tidak signifikan, hanya Rp6.500.
Penetapan tarif baru ini juga melindungi konsumen dari mahalnya tarif taksi online yang terkadang tidak masuk akal saat waktu tertentu. Misalnya, pada saat rush hour (jam sibuk) ataupun hujan, saat permintaan menjadi tinggi, dampaknya tarif taksi online menjadi jauh lebih mahal ketimbang biasanya. Sebab, taksi online menerapkan perbedaan harga saat rush hour/permintaan tinggi dan non rush hour.
Bagi pengemudi taksi online, meskipun batasan tarif ini cenderung lebih tinggi dibandingkan tarif sebelumnya, tapi akan berdampak langsung pada jumlah pendapatan mereka. Pertama, meskipun biaya taksi online cenderung lebih murah daripada konvesional, tapi dengan perbedaan harga yang tidak signifikan, dipastikan jumlah penumpang taksi online akan terkontraksi. Apalagi dengan ketentuan dari Permenhub No.26/2017 yang memberikan batasan seperti taksi online tidak dapat menaikkan penumpang secara langsung di jalan.
Dampak lainnya adalah bonus yang diterima oleh pengemudi. Pendapatan pengemudi taksi online tak hanya diterima dari biaya yang dibayarkan oleh penumpang tetapi melalui bonus yang dihitung baik dari jumlah perjalanan (trip) hingga promosi yang diberikan oleh operator layanan. Dengan adanya kontraksi jumlah penumpang/perjalanan karena perbedaan harga yang tidak signifikan, maka akan berdampak pada jumlah bonus yang diterima oleh pengemudi.
Pada lingkup industri, kasus perang harga atau predatory tariffmelalui promo dan lainnya yang saat ini seringkali dilakukan oleh operator taksi online, dalam jangka panjang akan mematikan operasi operator lainnya. Sehingga, dengan adanya batas tarif bawah, perang harga dapat dikontrol sehingga operasional dan kompetisi antar operator layanan menjadi lebih sehat, pelaku usaha dan konsumen tentu merasakan dampaknya.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra