tirto.id - Sosok Saddam Hussein dan Muammar Gaddafi pernah menjadi ancaman terbesar bagi kekuasaan dolar Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sebelum berakhir tragis, keduanya sama-sama pernah membawa Irak dan Libya ke barisan terdepan untuk menantang hegemoni greenback.
Pada November 2000 silam, Irak menempuh langkah strategis dengan meninggalkan dolar AS dan beralih ke euro sebagai mata uang sistem perdagangan minyak. Ini merupakan balasan Saddam atas sikap keras Washington yang sudah 10 tahun menjatuhkan sanksi bertubi-tubi kepada Baghdad.
"Pemerintah AS ingin menghancurkan Irak untuk mengendalikan minyak Timur Tengah, dan akibatnya mengendalikan politik serta kebijakan minyak dan ekonomi seluruh dunia," petikan surat Saddam dilansir dari The Guardians.
Mengingat nilai tukar yang sedang anjok-anjloknya – 1 euro setara US$0,82, peralihan mendadak saat itu terkesan konyol dan emosional. Bahkan, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan Irak soal potensi kerugian negara mencapai 270 juta dolar AS.
Namun Saddam punya perhitungan lain. Setidaknya ia sukses membuat jengkel Presiden AS Bill Clinton jelang akhir masa jabatan. Peralihan dolar AS ke euro terjadi saat geliat ekspor minyak Irak berupaya bangkit lagi melalui United Nations Oil-for-Food Programme. Sebelumnya, sektor ini sempat hancur lebur sejak Irak coba menginvasi Kuwait pada 1990.
Menurut laporan The Guardians, keputusan Saddam memberi keuntungan ratusan juta euro tiga tahun kemudian. Sejak 2001, PBB membayar sekitar 26 miliar euro atau setara 17,4 miliar pound sterling untuk 3,3 miliar barel minyak. Bukan hanya itu, rekening Irak di BNP Paribas juga mendapatkan tingkat bunga yang lebih tinggi.
Mimpi buruk Negeri 1001 Malam akhirnya benar-benar tiba setelah George W. Bush menduduki Gedung Putih. Selang tiga tahun usai mata uangnya dicampakkan, Pentagon bersama koalisi datang menyerbu Irak. Invasi ini dilancarkan dengan modus mencari senjata pemusnah massal serta menumpas terorisme sebagai balasan peristiwa 9/11.
Berbekal sumber daya perang yang lebih mumpuni, tak butuh waktu lama bagi AS menghancurkan Irak. Tepat pada 13 Desember 2003, mereka menemukan Saddam dari persembunyiannya di Kota Ad-Dawr.
Setelah nyaris sembilan bulan hidup lontang-lantung, kondisi lelaki kelahiran 28 April 1937 itu tampak memprihatinkan dengan janggut dan rambut yang tak terawat. Militer AS langsung membawa Saddam dan kemudian menyeretnya ke persidangan.
Sampai detik ini, tuduhan-tuduhan Bush tak pernah terbukti. Faktanya, Saddam sama sekali tidak menyimpan weapons of mass destruction apalagi terlibat jaringan teroris Al Qaeda. Namun penguasa Irak selama 24 tahun itu tetap divonis hukuman mati. Ia digantung pada Desember 2006 atas kasus pembunuhan 150 orang penganut syiah.
Saddam Takluk, Gaddafi Jadi Penantang Selanjutnya
Setelah melenyapkan Saddam, tantangan hegemoni dolar AS selanjutnya datang dari Gaddafi. Kekhawatiran Washington semakin meningkat saat Pemimpin Libya itu terpilih menjadi President of African Union pada Februari 2009.
Gaddafi terpantau semakin gencar menawarkan konsep-konsep persatuan revolusioner bagi bangsanya, termasuk pembentukan United States of Africa. Menurut laporan BBC, Ia juga membayangkan suatu saat Afrika memiliki militer, paspor, dan mata uang bersama yang disebut gold dinar.
Pada tahun yang sama, Mad Dog – julukan Gaddafi oleh mantan Presiden AS Richard Nixon – kembali menarik perhatian berkat pidato panjangnya pada United Nations General Assembly, di mana ia yang menyinggung soal kemunafikan dan ketidakadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tidak jauh berbeda dengan Saddam, mimpi buruk Gaddafi akhirnya datang selang tiga tahun sejak wacana pembentukan gold dinar mencuat. Di bawah komando Presiden Barack Obama, AS bersama North Atlantic Treaty Organization (NATO) menyerang Libya pada Maret 2011. Di sisi yang sama, media-media Barat mulai menyebarkan propaganda dan memoles sang kolonel sebagai sosok diktator.
Washington dan sekutu berdalih serangan brutal ini merupakan upaya mereka menyelamatkan warga sipil dari perang saudara dan kekejaman Gaddafi, yang selama 42 tahun memimpin telah menjamin kesejahteraan dengan memberi layanan pendidikan hingga kesehatan gratis bagi rakyat Libya.
Setelah Tripoli jatuh pada Agustus 2011, Gaddafi hidup lontang-lantung dan tetap bertahan di tanah airnya. Dua bulan kemudian, ia dan sejumlah loyalis kunci berniat keluar dari Sirte – benteng terakhir Gaddafi dari kepungan NATO dan pemberontak – demi mencari tempat perlindungan baru.
Pada pagi di pertengahan Oktober 2011, konvoi kendaraan yang ditumpangi Gaddafi buyar usai diserang pasukan udara Prancis. Ia berhasil selamat dan mencoba berlindung dalam lubang pipa drainase. Namun tak lama berselang, pasukan pemberontak datang dan menangkapnya.
Gaddafi sempat dihajar dan diperlakukan keji sebelum ditembak mati. Reaksi spontan Sekretaris Negara AS Hillary Clinton saat mendengar kabar kematian musuh sempat menuai kontroversi.
"Kami datang, kami melihat, dia mati,” ujar Hillary sembari tertawa kepada reporter TV di Baghdad, dikutip dari Dailymail.
Terlepas dari pro dan kontra di balik kematian Saddam Hussein maupun Muammar Gaddafi, faktanya dua tokoh tersebut sama-sama meregang nyawa secara tragis tak lama usai mengusik hegemoni dolar AS di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Bagaimana Dolar AS Mendominasi Dunia
Menurut Profesor Halina Nakonieczna-Kisiel dari Universitas Szczecin Polandia dalam penelitian berjudul US Dollar and Euro as Global Currencies (2009), emas dan perak menjadi mata uang dalam transaksi perdagangan internasional hingga akhir abad 18.
Sebelum dolar AS menguasai dunia, pound sterling Inggris adalah mata uang nasional pertama yang mendominasi transaksi global. Hingga Perang Dunia I meletus pada 1914, Inggris tetap memakai standar emas sebagai tolok ukur nilai pound.
Di tahun yang sama, dolar AS (USD) yang kita kenal sekarang baru pertama kali dicetak. Namun, sejarah greenback sudah bermula jauh sebelum itu. Kemenangan Barat dan Sekutu pada Perang Dunia II berperan besar membawanya kini menjadi mata uang terkuat sekaligus cadangan dunia.
Penggunaan uang kertas pertama yang terdokumentasi di AS berasal dari 1690 silam pada zaman kolonial Massachusetts Bay Colony, menurut The U.S. Currency Education Program (CEP). AS resmi menggunakan simbol peso Spanyol Amerika ($) pada 1785 setelah satu dekade sebelumnya pecahan 2 dolar AS diperkenalkan.
Pemerintah terus mengembangkan dolar hingga Undang-undang Federal Reserve disahkan pada 1913. Setelahnya, Federal Reserve atau yang populer ditulis FED resmi ditetapkan sebagai bank sentral dan bertugas menyediakan sistem perbankan nasional yang lebih responsif terhadap kebutuhan Pemerintah AS.
Pada masa itu, mayoritas negara maju mematok nilai mata uang dengan standar emas. Paritas itu mewajibkan mereka punya cadangan emas dalam jumlah besar. Tapi saat Perang Dunia I pecah, banyak yang mengubah standar tersebut demi membiayai operasi militer. Kebijakan ini tak ayal mendevaluasi mata uang mereka sendiri.
Inggris termasuk negara yang mati-matian mempertahankan standar emas setelah Perang Dunia I berakhir, setidaknya hingga 1931. Dalam hal ini, strategi AS terbukti lebih jitu. Mereka berhasil memanfaatkan situasi perang menjadi ladang cuan.
Seperti halnya Perang Dunia I, militer AS baru masuk ke arena Perang Dunia II jauh setelah pertempuran fisik sudah berlangsung. Sebelum terjun medan perang, mereka hanya bertugas memasok senjata dan logistik kepada Sekutu. Cerdiknya, AS menetapkan emas sebagai alat pembayaran.
Cara itu membuat jumlah cadangan emas AS berlipat ganda dan menjadi yang terbanyak di dunia setelah perang berakhir. Dalam studi berjudul Central Bank Gold Reserves: An Historical Perspective since 1845 (1999), Timothy Green mengungkapkan bahwa AS menguasai sekitar 40% cadangan emas dunia pada 1930. Jumlahnya melonjak menjadi dua per tiga atau sekitar 65% pada 1950.
Bagi mata uang lain, kenyataan ini adalah malapetaka. Sebab porsi cadangan menyebabkan mereka tidak mungkin lagi balik ke standar emas seperti semula. Dengan perlahan tapi pasti, dolar AS mulai menggeser posisi pound sebagai mata uang cadangan dunia.
Semua itu benar-benar terwujud saat Bretton Woods Agreement ditekan pada 1944, atau tepatnya jelang kemenangan besar Barat dalam Perang Dunia II. Melalui perjanjian ini, AS dan Sekutu sepakat jika mata uang dunia tidak perlu lagi dikaitkan dengan emas, tapi cukup dengan dolar AS.
Pertemuan di New Hampshire itu juga menjadi cikal bakal pembentukan aneka lembaga dan institusi internasional. Misalnya World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organisation (WTO) yang semula bernama International Trade Organisation (ITO). Kombinasi rangkaian sistem inilah yang berperan besar membentuk hegemoni dan dominasi AS di dunia.
Perjanjian Bretton Woods juga melembagakan sistem di mana dolar AS menjadi pusat ekonomi global yang kelak tak tertandingi setelah Perang Dunia II berakhir. Ringkasan ini terangkum dalam penelitian berjudul The US Dollar as The Global Reserve Currency: Implications for US Hegemony (2017) yang dilakukan Thomas Costigan dkk.
Di tengah perjalanannya, tantangan kemudian muncul saat mantan Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghapus standar emas dari dolar AS pada 1971 sekaligus mengakhiri Perjanjian Bretton Woods.
Langkah Nixon sempat menyulut keraguan bank-bank sentral asing. Namun berkat sistem yang telah mengakar kuat, mata uang AS tidak tergoyahkan. Lagi pula, tidak ada alternatif media pertukaran internasional yang layak selain greenback. Saat itu, AS merupakan satu-satunya negara yang memiliki kontrol politik lengkap.
Usai melepaskan diri dari emas, dolar AS mulai dikaitkan dengan nilai minyak. Keterkaitan ini tidak datang begitu saja. Tapi mengorbankan begitu banyak darah. Dulu, sejumlah negara di Timur Tengah pernah menerapkan embargo terhadap AS dan Sekutu imbas pencaplokan tanah Palestina oleh Israel pada 1973. Termasuk Arab Saudi.
Sekali lagi, AS membuktikan kepiawaiannnya. Dengan segala cara, mereka berhasil membalikkan keadaan. Arab Saudi bahkan tidak cuma menghentikan embargo. Namun juga bersedia menagih semua hasil penjualan minyak mereka dalam bentuk dolar AS sejak 1974.
Sekarang, seruan meninggalkan dolar AS kembali menggema. Gerakannya menyebar dari Asia Tenggara hingga Amerika Selatan. Apakah greenback dapat terus mempertahankan posisinya?
Editor: Dwi Ayuningtyas