Menuju konten utama

Alasan BI Ajak Negara Lain Lakukan Dedolarisasi

Model sistem pembayaran LCT diharapkan negara tidak lagi melakukan konversi ketika melakukan transaksi perdagangan dengan negara tujuannya.

Alasan BI Ajak Negara Lain Lakukan Dedolarisasi
Petugas menunjukan uang pecahan Rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Nilai tukar rupiah kembali menembus level Rp15.300 pada perdagangan Selasa (4/10) siang, dimana sentimen yang mempengaruhi pergerakan rupiah adalah mulai melandainya nilai dolar AS. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) tengah gencar mengajak sejumlah negara untuk melakukan dedolarisasi atau proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan dalam perdagangan. Salah satunya melalui kerja sama transaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT).

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, dengan model sistem pembayaran LCT diharapkan secara bilateral suatu negara tidak lagi melakukan konversi atau nilai tukar ketika melakukan transaksi perdagangan dengan negara tujuannya. Kondisi ini otomatis akan memperkuat penggunaan mata uang lokal masing-masing negara.

"Dengan semakin luasnya penggunaan local currency, tentu saja stabilitas nilai tukar juga akan lebih terjaga. Dan juga ini juga akan lebih efisien, biaya transaksi kan lebih murah," jelas Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, dikutip Selasa (9/5/2023).

Perry mengatakan saat ini pihaknya terus mempercepat dan memperluas kerja sama penggunaan LCT ke beberapa negara ASEAN lainnya. Adapun saat ini yang sudah bekerja sama dengan negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan.

"Yang selama dulu kawan-kawan ke Thailand, atau orang Thailand ke sini, dari sini Rupiah, tukar ke dolar dulu. Dari dolar AS tukar ke Baht, kemudian beli oleh-oleh di sana. Sekarang kan cukup dengan HP saja, QR kita sudah menyambung dengan QR mereka. Secara cepat bisa selesai, biaya transaksi akan lebih murah," tuturnya.

Perry melanjutkan menurut data Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), saat ini banyak negara juga sudah mulai mengurangi ketergantungannya akan dolar AS dalam melakukan transaksi.

"IMF mengatakan, penggunaan dolar, yang dulu pernah 70 persen sekarang mendekati 50 persen penggunaannya. Ini diversifikasi currency yang mendukung," jelas Perry.

Sebelumnya, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, momentum Keketuaan ASEAN 2023 dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memperluas kerja sama penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Transaction (LCT).

“Saya pikir LCT adalah upaya yang cukup panjang dan Indonesia bisa memanfaatkan Keketuaan ASEAN 2023 untuk mendorong LCT bisa dipakai di banyak negara,” kata Bhima di Jakarta, Jumat (5/5/2023).

Menurut Bima LCT dapat memberikan dampak positif yang bersifat jangka panjang terhadap stabilitas mata uang bila terimplementasikan dengan baik. Sebab, ia berperan dalam mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, negara-negara yang terlibat dalam kerja sama LCT bisa menghindari risiko dari fluktuasi dolar AS.

Dia menilai inisiatif LCT merupakan opsi terbaik yang bisa dilakukan untuk memperkuat kerja sama keuangan di kawasan saat ini. “Saya kira itu yang paling rasional sebelum menggagas mata uang bersama di ASEAN, misalnya. Jadi, lebih baik fokus dulu pada pemanfaatan mata uang lokal,” jelas Bhima.

Dirinya pun merekomendasikan pemerintah untuk memberikan insentif kepada eksportir dan importir sebagai pelaku utama dalam transaksi perdagangan kawasan. Sebab, ia melihat penyerapan mata uang lokal di kalangan eksportir dan importir terbilang masih rendah.

Misalnya, dalam transaksi perdagangan antara Thailand dan Indonesia, porsi penyerapan penggunaan mata uang lokal masih berada di kisaran 4 persen. Hal itu menunjukkan perdagangan logistik masih lebih banyak yang mengandalkan pembayaran dengan menggunakan mata uang non-lokal, seperti dolar dan euro. Padahal, potensi ekspor-impor antara Indonesia dengan Thailand cukup besar.

“Perlu kesiapan dari sisi perbankan untuk lebih banyak menyerap mata uang, seperti ringgit atau won. Dengan begitu, eksportir dan importir bisa menggunakan mata uang lokal untuk bertransaksi,” jelas Bhima.

Baca juga artikel terkait LCT atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin