tirto.id - Enam perempuan itu berada dalam kerumunan di depan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Separuh dari mereka membawa balita. Namun, hal itu tak membuat mereka surut berteriak menolak reklamasi Teluk Jakarta. Saat dihampiri, mereka tersenyum malu dan ragu untuk bicara. Tapi saat ada satu ibu muda berani menjawab, yang lain semangat menimpali.
Sekumpulan perempuan ini bilang bahwa mereka memang berniat datang ke sidang gugatan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melawan pemerintah provinsi Jakarta pada 17 Maret 2016. Mereka datang bersama keluarga, juga sekitar lima puluhan tetangganya. Rombongannya berkendara ke pengadilan dengan menumpang tiga angkutan kota KWK Grogol-Muara Angke dan beberapa mobil lain. Dalam kerumunan itu, beberapa pria bergantian berorasi.
“Saya menolak [reklamasi], soalnya bapak saya nelayan. Supaya bapak saya masih bisa cari ikan dan biar nggak digusur juga,” ucap Irma yang berunjuk rasa sambil menggendong Wita, anaknya yang berumur 16 bulan. Suara perempuan ini tak kalah dari bunyi orasi yang berasal dari dua pengeras suara.
Meski repot karena harus membawa serta anaknya, Irma menganggap kehadirannya dalam persidangan dan aksi demonstrasi sebagai hal penting. Pasalnya gamblang: tempat pencaharian sang ayah dicaplok oleh pengurukan yang berlangsung di perairan sekitar Muara Angke. Urukan yang akan menjadi daratan itu bernama Pulau G, yang akan menjadi satu dari 17 pulau buatan bernama alfabetis A hingga Q melalui proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Pengurukan berlangsung setelah Gubernur Basuki menandatangani izin pelaksanaan reklamasi melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.2238/2014 pada 23 Desember 2014. Perusahaan yang diberi izin: PT. Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT. Agung Podomoro Land. Karena reklamasi ini, mereka tak bisa mencari ikan di area biasanya. Padahal, rata-rata kapal nelayan Angke hanya mampu menjangkau perairan yang tak terlalu jauh.
“Tempat kami mencari ikan mau diuruk! Kami menolak reklamasi Teluk Jakarta! Selamatkan Teluk Jakarta!” Seru seorang lelaki pemegang megafon di kerumunan Irma.
Di seberang kerumunan ini, ada kerumunan lain dengan orasi yang bunyinya tak kalah kencang. Mereka berteriak sambil memampang beberapa spanduk: “Kami nelayan asli tradisional mendukung reklamasi.” Ada pula ibu-ibu yang memegangi poster berbunyi “Perempuan Muara Angke mendukung reklamasi.”
Namun saat Tirto.id mendekat, kumpulan ibu-ibu ini buyar. “Nggak tahu, nggak tahu.” Mereka cekikikan. “Kami cuma ikut-ikutan aja.” Salah satu dari mereka membuka mulut sebelum semuanya menjauh.
Kaum Adamnya pun sama. Orang yang sedari tadi memegang megafon tak bersedia bicara. Ia malah menginstruksikan kerumunan itu berkumpul dengan bagian rombongan mereka yang sejak tadi duduk-duduk di taman. Tak lama kemudian, mereka semua masuk ke dalam empat bus pariwisata dan meninggalkan lokasi.
“Mereka itu orang bayaran, Bu! Bayangkan, mata pencahariannya mau hilang, tapi mereka malah mendukung reklamasi. Kan tidak masuk akal,” kata Saepudin, lelaki di kelompok pertama. Saepudin (34 tahun) adalah salah satu nelayan Angke yang memotori gugatan warga terhadap pemerintah provinsi karena memberi izin reklamasi. Ia merasa semua jalan yang dibolehkan hukum harus ditempuh demi kehidupan semua warga kampung nelayan.
Bersama KNTI, Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, YLBHI, KPI, ICEL, Kiara, WALHI, dan IHCS, warga kapung nelayan ini beraliansi menggugat izin pengurukan laut yang dianggap tak ada dasar hukumnya. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur zona dan tata ruang pesisir pantai utara ketika izin-izin itu dikeluarkan.
Iwan, warga Angke yang tahun ini berusia 55 tahun, tak habis pikir mengapa izin bisa dikeluarkan pemerintah provinsi. Baginya, reklamasi tak ada bedanya dengan menghilangkan mata pencaharian nelayan secara sengaja.
“Area atau lokasi yang dibuat daratan di tengah laut itu adalah area nelayan mencari ikan. Yang kena imbasnya di situ nelayan jaring kembung, nelayan jaring tembang, nelayan jaring rajungan, nelayan bondet, nelayan krakat, nelayan pancing rawe. Itu habitat ikan-ikan kecil di situ, wilayah nelayan-nelayan kecil,” paparnya.
Iwan menggambarkan, pantai mulai Pantai Kamal, sampai Pulau Onrust di Barat, Pulau Nirwana di Timur, dan Pulau Damar di utara, merupakan wilayah beroperasi nelayan-nelayan kecil. Dengan diuruknya wilayah perairan itu, usaha nelayan akan mati.
“[Reklamasi] ini kolaborasi antara pejabat sama pengusaha, yang jadi korban nelayan kecil. Masyarakat Muara Angke yang jadi korban,” seru Iwan.
Iwan lalu mengisahkan pengalamannya melaut sejak kecil. Dulu pada dekade 1970-an, ia kerap menjaring udang bersama kawannya di lokasi tempat Pulau C dan D sekarang berada. Kedua pulau di seberang Pantai Indah Kapuk. “Karena di pantainya banyak pohon bakau, itu banyak udangnya. Sekarang tempatnya sudah jadi pulau.”
Ia pun keberatan jika ada pejabat yang bilang bahwa di Muara Angke sudah tak ada nelayan. Memang dalam beberapa puluh tahun, nelayan Angke banyak berkurang. Menurut Iwan, itu disebabkan tercemarnya laut dari limbah yang bermuara dari sungai.
Mengapa sungai membawa limbah? Karena industri di Jakarta banyak membuang limbahnya ke sungai. Tapi ia menegaskan, yang tinggal di kampung nelayan adalah nelayan beserta anak-cucunya. Perkara keturunan kedua dan seterusnya tak melanjutkan profesi sebagai penangkap ikan, itu dikarenakan kondisi laut yang semakin tak mendukung.
Jika menilik hasil penelitian yang dilakukan Supartono, dkk, ahli bidang kelautan dari SMK Pelayaran Surabaya dan IPB, Laut Jakarta memang semakin tercemar. Data mereka menjabarkan gambaran yang dibicarakan Iwan. Pada 2004 saja, laut Teluk Jakarta yang layak untuk tempat mencari ikan sudah berkurang seluas 12.263,2 hektar, jika dibandingkan kondisi pada enam tahun sebelumnya. Wajar jika ada anak-cucu nelayan yang tak meneruskan profesi itu.
Namun, meski kondisi laut tak sebaik dulu, Iwan melihat kampung nelayan Muara Angke sudah punya ekosistem ekonomi yang baik. Ada nelayan, ada pula tempat lelang ikannya. “Kalau dapat ikan bagus, dijual segar. Kalau kurang bagus, diasinkan,” katanya. Kesejahteraan warga pun membaik karena sistem yang saling menunjang itu.
Oleh karenanya, mereka terhenyak dengan rencana pemerintah provinsi untuk merelokasi warga ke Kepulauan Seribu. Meski belum yakin benar dengan apa yang mereka dengar tentang relokasi, warga Angke yakin rencana itu salah satunya disebabkan oleh reklamasi.
Dalam satu kesempatan, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat memang pernah menyatakan soal relokasi itu. "Ada pulau kosong yang akan dibangun apartemen di Kepulauan Seribu. Tapi apartemen itu hanya buat relokasi nelayan yang terkena pembangunan di Pantai Utara Jakarta,” kata Djarot yang dimuat situs www.beritajakarta.com (18/1/2016).
Bagi warga Angke, itu akan menjadi pukulan berat. Nelayan di pantai utara Jakarta sudah direlokasi berkali-kali sebelum akhirnya menempati lokasi sekarang. Bagi Iwan dan teman-temannya, kampung nelayan sekarang sudah cukup memberi mereka penghidupan. Relokasi ke Kepulauan Seribu berarti akan memaksa mereka membangun dari nol lagi.
Kekhawatiran mengenai habisnya tempat mencari ikan dan ancaman relokasi inilah yang membuat nelayan berjuang. “Yang jauh-jauh aja peduli sama kita, masak ada orang Angke yang mendukung reklamasi. Kita kan berjuang untuk hidup kita sendiri di sini,” Saepudin menegaskan.
Maka, ia dan teman-temannya hadir di pengadilan hari itu meski ternyata agenda sidangnya ditunda. Bersama Iwan, Irma, dan kawan-kawannya yang lain, Saepudin menggugat pihak yang mereka anggap mengancam kampungnya: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. []
Berita Terkait: