Menuju konten utama

Mereka Meninggalkan Akmil Yogyakarta dan Bergabung dengan Belanda

Kisah dua orang anak bupati yang sempat menyeberang ke Belanda meski telah menjadi taruna Akademi Militer Yogyakarta.

Mereka Meninggalkan Akmil Yogyakarta dan Bergabung dengan Belanda
Ilustrasi Dua Taruna Akmil Ikut Belanda. tirto.id/Fuad

tirto.id - Di Jawa Tengah dan sekitarnya, beberapa bupati memakai nama Tjondronegoro dan nama itu menjadi nama trah. Salah satunya adalah Bupati Semarang, Raden Mas Soetioso Tjondronegoro, yang menjabat pada tahun 1949. Nama lainnya adalah Soetioso Sosroboesono. Dia menikah dengan Soemilah, keturunan trah Arungbinang.

Menurut Sediono Tjondronegoro--dikenal sebagai pakar pertanian Indonesia--dalam autobiografinya, Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua (2008:4), perkawinan Soetioso dengan Soemilah melahirkan Sasongko, Srini, Sisworini Hartini, dan Sediono, sebagai anak ketiga. Keluarga ini terkait dengan keluarga Raden Ayu Kartini dan Raden Mas Sosrokartono dari Jepara. Sosrokartono yang pernah tinggal di Bandung itu terhitung masih pakde bagi anak-anak Soetioso dan Soemilah.

Sebelum menjadi bupati, Soetioso sempat bertugas sebagai pegawai negeri kolonial di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekolah anak-anaknya pun berpindah-pindah. Setidaknya keduanya pernah sekolah di Malang dan Jakarta. Waktu masih sekolah, Sediono dan Sasongko pernah disuruh masuk kepanduan Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Di kepanduan itu, Sasongko pernah menjadi kepala regu.

Sasongko adalah anak laki-laki tertua Soemilah dan Soetioso. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:406), Sasongko kelahiran 24 Desember 1924. Pada awal revolusi kemerdekaan, dia aktif di Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah itu, dia termasuk pemuda yang dididik dalam Akademi Militer Yogyakarta, yang direkturnya dijabat oleh Memet Rachman Ali Soewardi--bekas kapten KNIL. Menurut Bouman, di Akademi Militer Yogyakarta, Sasongko hanya bertahan hingga pertengahan 1947, yakni ketika terjadi Agresi Militer Belanda I.

Sementara Sediono, adik Sasongko, bergabung dengan tentara pelajar dan pernah terkena pecahan mortir. Sediono terlibat di front Porong, dekat Surabaya. Ketika Malang diduduki Belanda, banyak tentara pelajar yang mundur ke Blitar, namun dirinya diminta orangtuanya untuk kembali bersekolah, kali ini ke Sekolah Menengah Tinggi di Jakarta. Di sana dia berhubungan lagi dengan kaum Republiken.

Pada 23 Juli 1949, Sasongko tiba di Bandung dan dilatih di School Reserve voor Infanteri Officier (SROI). Lalu pada akhir November 1949, dia dikirim ke Belanda. Para pemuda yang dilatih di SROI atau lembaga pelatihan calon perwira lainnya, biasanya hendak dijadikan sebagai perwira tentara federal binaan KNIL.

September 1950, Sasongko mendapat pangkat sersan taruna di Akademi Militer Breda. Namun setelah KNIL bubar, Sasongko masuk lagi TNI. Kali ini bukan di Angkatan Darat seperti pada awal revolusi, melainkan di Angkatan Udara. Dia pernah menjadi staf dari Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Soeriadarma. Sasongko tidak sampai level jenderal, dia keluar dari Angkatan Udara dengan pangkat kolonel. Dia tutup usia pada tahun 1990.

Infografik Dua Taruna Akmil Ikut Belanda

Infografik Dua Taruna Akmil Ikut Belanda. tirto.id/Fuad

Anak Bupati Cianjur

Sebelum Agresi Militer Belanda II, Daud Hyngersa Natawiyogya adalah taruna Akademi Militer Yogyakarta. Dia anak Raden Ateng Sanusi Natawiyogya, Bupati Cianjur yang menjabat dari tahun 1948 sampai 1950.

Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:406), Daud Hyngersa lahir pada 15 Januari 1929. Setelah Agresi Militer Belanda II, dia menjadi anggota pelatihan perwira alias Opleiding Centrum voor Officieren (OCO) pada tahun 1949. Mereka diproyeksikan untuk menjadi perwira tentara federal. Di Negara Pasundan misalnya, sebagai salah satu negara boneka bikinan Belanda, dibentuk batalion federal yang para prajurit bawahannya dipimpin oleh perwira lokal.

Dari OCO, Daud Hyngersa kemudian dijadikan letnan muda di dalam jajaran tentara federal binaan KNIL. Namun setelah negara federal dan KNIL bubar, dia kembali masuk TNI hingga berpangkat kolonel.

Daud Hyngersa terkait dengan sejarah penerbangan Angkatan Darat. Dia disebut-sebut sebagai perwira yang dikirim belajar jadi penerbang ke Amerika Serikat pada tahun 1962. Tiga tahun kemudian, seperti dicatat Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia (2007:159) Daud Hyngersa menerbangkan helicopter Mil Mi-4 dalam operasi pengamatan udara atas lereng Merapi terkait penumpasan Partai Komunis Indonesia.

Baca juga artikel terkait AKADEMI MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi