Menuju konten utama
Melawan Stigma Tabu Menstruasi

Merayakan Menstruasi, Merayakan Pengalaman Perempuan

Alih-alih melihat menstruasi sebagai tabu, sudah waktunya kita bicara lebih terbuka tentang menstruasi sehat dan mengapresiasi perempuan yang mengalaminya.

Merayakan Menstruasi, Merayakan Pengalaman Perempuan
Header diajeng Merayakan Menstruasi. tirto.id/Quita

tirto.id - Apabila sunat pada anak laki-laki dirayakan dengan sukacita lewat pesta yang meriah, mengapa tidak halnya dengan pengalaman menstruasi pada anak perempuan?

Berbeda dengan rasa sakit saat disunat yang dirasakan satu kali seumur hidup, perempuan harus merasakan nyeri saat mengalami menstruasi selama nyaris separuh hidupnya.

Kira-kira begitulah gambaran perdebatan sengit yang mewarnai lanskap media sosial X baru-baru ini.

Meski ada warganet yang menilai sunat dan menstruasi tidak ‘setara’ (mimpi basah dianggap sebagai pembanding yang lebih pas untuk menstruasi), diskusi ini semua penting untuk mengingatkan kita pada pembahasan isu yang tak kalah krusial: stigmatisasi menstruasi.

Stigmatisasi Menstruasi

Pengalaman menstruasi kental dengan stigma kotor dan tabu, sebuah produk perkembangan zaman yang lekat dengan patriarki.

Menurut peneliti Rachael Gillibrand dalam artikelnya di The Conversation, stigma tersebut telah ada sejak ribuan tahun silam dan masih bertahan sampai sekarang.

Ia dilanggengkan melalui berbagai sumber, dari kitab suci, hasil penelitian oleh akademisi laki-laki dan buku rujukan kebidanan yang mengandung unsur seksisme, hingga iklan tampon modern.

Stigma ini juga bertahan hidup melalui eufemisme, penghalusan makna perihal yang tabu, tentang pengalaman seputar menstruasi.

Dalam kultur bahasa Indonesia, sering kita dengar eufemisme 'lagi dapet', halangan, datang bulan, atau sekonyol menyebut pembalut dengan ‘roti Jepang’.

Contoh-contoh ini menyiratkan betapa proses biologis menstruasi nyaris tidak mendapatkan ruang di ranah publik sehingga mesti disembunyikan rapat-rapat.

Seiring itu, sejumlah tradisi untuk menyambut pengalaman menstruasi juga diwarnai oleh bias patriarki, alih-alih fokus pada dukungan positif untuk anak perempuan di hari-hari awal pubertasnya.

Di India, misalnya, melansir studi oleh Ganguly dan Satpati berjudul “Menstruation and festivals: A historical retrospective” (2021), terdapat sedikitnya 12 tradisi terkait menstruasi pertama.

Sayangnya, sejumlah tradisi itu justru melibatkan praktik isolasi.

Menurut tradisi Tuloni Biya di negara bagian Assam, perempuan yang baru menstruasi harus diisolasi selama 5-7 hari, dilarang berinteraksi dengan laki-laki atau bahkan menyentuh siapa pun.

Tradisi lain, seperti Manjal Neerattu Vizha di negara bagian Tamil Nadu, malah menjadi ajang untuk mengumumkan bahwa seorang perempuan sudah bisa menikah.

Berbatasan dengan India, tepatnya di beberapa wilayah pedalaman Nepal, masih ditemukan ritual kuno Chhaupadi yang mengucilkan perempuan menstruasi di dalam gubuk minim jendela.

Perayaan Membahagiakan dan Memberdayakan

Di sejumlah tempat lain, dapat kita temukan pemaknaan positif tentang menstruasi dan perayaannya. Dalam konteks ini, selebrasi dilakukan untuk memberdayakan dan mengapresiasi perempuan yang tumbuh dewasa.

Di perbukitan Nagaland, India, beberapa suku memandang menstruasi sebagai tanda kekuatan dan kesuburan perempuan yang diyakini dapat membawa manfaat bagi makhluk hidup lain, seperti tanaman.

Ada pula ritual yang bertujuan menumbuhkan rasa percaya diri anak perempuan setelah mengalami menstruasi pertamanya, seperti The Flower Dance—Tarian Bunga—yang dilakukan oleh suku Hupa, penduduk asli Amerika.

Di Indonesia, perayaan menstruasi cenderung kurang lazim di kalangan masyarakat urban perkotaan. Meski begitu, praktiknya masih dapat ditemui di daerah-daerah yang kental dengan adat dan budaya tradisional.

Masyarakat Hindu di Bali menyelenggarakan upacara bernama Ngeraja Sewala atau Menek Kelih. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, anak perempuan yang menginjak remaja menjalani Upacara Tarapan.

Di Gorontalo, terdapat upacara adat Mome’ati. Prosesinya meliputi pengucapan syahadat oleh anak perempuan beragama Islam yang baru mulai menstruasi.

Di tengah kuatnya stigma tabu menstruasi, bukan berarti tidak ada kenangan berkesan dan membahagiakan yang dirasakan perempuan terkait pengalaman menstruasi pertamanya.

Mita (29), seorang ilustrator yang tinggal dan tumbuh dewasa di Padang, masih ingat jelas kepingan memori hari pertama menstruasinya. Kejadiannya berlangsung pada hari Sabtu. Kala itu, Mila masih duduk di kelas 6 SD.

Ditemani kerabat dekatnya, Mita menemui guru. Dia ingin memastikan apa yang sedang terjadi dengan tubuhnya. Setelah bel sekolah berbunyi, Mita pulang dan mengabari ibunya bahwa ia telah menstruasi.

Mendengar laporan putrinya, ibu Mita bergegas menelepon suaminya agar segera pulang ke rumah. Mita bercerita, setiba di rumah, ayahnya menunjukkan respons biasa-biasa saja, tidak ada perlakuan spesial.

Tak lama kemudian, kedua orang tuanya pergi ke luar rumah dan pulang dengan membawa nasi padang dan pembalut di tangan.

“Terdengar biasa banget ya nasi padang, tapi bagiku itu sesuatu yang spesial karena orang tuaku jarang sekali belikan aku nasi padang,” kenang Mita.

Dari pengalaman ini, Mita mengakui dirinya memiliki lingkungan yang suportif dalam menyikapi menstruasi.

Di keluarganya, meskipun topik menstruasi tidak dibicarakan secara kasual, ia juga bukan dianggap hal tabu. Mereka memiliki kesadaran tinggi mengenai menstruasi sebagai bagian dari pengalaman tubuh perempuan.

“Dulu adikku haid pertama saat kelas 4 SD. Mama kaget dan khawatir. Adikku dibawa konsul ke dokter dan dokternya bilang bahwa itu wajar,” katanya.

Kebahagiaan yang Mita rasakan juga dialami oleh Nura (22), mahasiswa asal Rembang, Jawa Tengah. Masyarakat Rembang masih memegang erat tradisi, terutama perayaan atau tasyakuran.

Dalam masyarakat Jawa, tasyakuran disebut juga sebagai “bancakan”, momen perayaan dengan membagikan makanan kepada tetangga, biasanya berupa nasi putih dengan lauk, urap, hingga tempe dan tahu.

Ada juga yang memaknainya dengan membagi-bagikan bubur merah putih sebagai simbol kehidupan baru. Hal inilah yang dimaknai oleh keluarga Nura

Sebelum membagikan bubur tersebut, ayah Nura terlebih dahulu mendoakannya sebagai tanda fase baru dalam hidupnya. Peran membagikan bubur itu diemban sendiri oleh Nura.

“Yang membagikan bubur harus anak yang haid, tidak boleh diwakilkan, tapi boleh dibantu jika kesusahan membagi banyak bubur,” jelasnya.

Nura membagikan buburnya langsung dari pintu rumah ke pintu rumah lainnya. Biasanya, para tetangga bakal menanyakan alasan melakukan bancakan.

“Kalau yang terima sesama perempuan, aku bilang sudah haid. Tapi, kalau yang terima laki-laki, aku cuma bilang ‘bancakan biasa’, anggap saja enggak ada alasan spesial untuk bancakan,” ujar Nura.

Pada waktu itu, Nura menjelaskan, menstruasi masih jadi pembahasan tabu. Maka ia merasa segan untuk menyampaikan hal tersebut secara gamblang kepada laki-laki yang bukan bagian keluarganya sendiri.

Pengalaman Nura tidak jauh berbeda dengan Dhita (42). Lahir dan besar di Medan, Dhita ingat bahwa kedua neneknya justru menjadi pihak yang paling bersemangat merayakan menstruasi pertamanya.

Nenek dari bapak, seorang keturunan Jawa, membuatkan Dhita bubur merah putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga di kampung.

“Nenek dari ibu, yang suku Batak Karo, juga membuatkan upah-upah, mirip nasi urap dan ada ayamnya.”

Dhita menjelaskan, “Upah-upah juga sebagai ritual untuk mendoakan anak yang memasuki fase remaja agar jiwanya mendapatkan kebaikan.”

Memutus Rantai Kecemasan Menstruasi Pertama

Generasi muda, yang saat ini lebih terbuka terhadap isu kesetaraan gender dan ketubuhan, bertekad memutus rantai kecemasan yang kerap mengiringi pengalaman pubertas.

Fayza (22), misalnya, merasakan dukungan yang luar biasa dari ayah dan ibunya, meskipun tidak ada perayaan khusus.

“Waktu itu Mama-ku enggak ada di rumah. Jadinya, aku kasih tahu Papa-ku. Beliau agak kaget dan rautnya excited, kayak bangga gitu. Papa-ku juga bukan yang menakutiku kalau sudah mens dosa ditanggung sendiri,” katanya.

Fayza sendiri sudah membayangkan bagaimana ia akan memperlakukan anaknya kelak.

“Kalau aku penginnya akan ajak dia bersenang-senang, entah itu belanja atau kulineran. Terus, aku juga akan kasih tahu dia jangan malu kalau mens-nya bocor dan jangan menyamarkan ‘pembalut’ dengan kata lain.”

Ebi (21), aktivis muda yang sekarang aktif terlibat di organisasi Social Justice Indonesia, berbagi kisah bahwa ia juga tidak merasakan perayaan apa pun ketika ia pertama kali menstruasi pada kelas 6 SD.

“Alih-alih ada perayaan atau sesuatu yang bikin senang, justru aku malah dapat banyak kekhawatiran dari ibu dan orang-orang di sekitarku.”

Kekhawatiran Ebi muncul dari perkataan ibunya yang menyayangkan mengapa dirinya sudah mulai menstruasi di usia yang masih dianggap terlalu belia.

Meskipun ibunya mengajarkan cara memakai pembalut dan memberikan banyak nasihat, rasa penyesalan itu tetap membekas di ingatan Ebi.

Ebi berharap, hubungan antara ibu dan anak perempuan bisa lebih erat dan dimaksimalkan pada momen penting seperti menstruasi pertama. “Mau quality time bareng anakku, staycation, nyalon, nail art bareng, belanja-belinji, dan menjadi centil seharian.”

“Yang jelas, pas first day period dia, aku akan terus menanamkan ke dia kalau jadi perempuan di Indonesia, akan serempong itu, hidup kita diatur sama kontruksi sosial dan itu bisa bikin membatasi cara bereskpresi dia sebagai perempuan,” ujar Ebi.

“Aku mau dukung anakku buat terus jadi diri dia semerdeka mungkin tanpa takut dan khawatir. Namun, tetap melakukan hal-hal dengan tanggung jawab penuh yang datang dari diri dia,” pungkas Ebi.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Haetami

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Ahmad Haetami
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih