tirto.id - Hari-hari di antara 21 September hingga 2 Oktober merupakan saat untuk merayakan perdamaian. Tanggal 21 September dikenal sebagai Hari Perdamaian Internasional, sedangkan 2 Oktober diperingati sebagai Hari Nirkekerasan Internasional.
Peringatan hari perdamaian dan nirkekerasan ini masih dibayang-bayangi oleh maraknya kekerasan, khususnya terhadap perempuan sebagai salah satu kelompok paling rentan.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita memaknai perdamaian dan nirkekerasan? Apakah nirkekerasan hanya bisa diartikan sebagai pasrah dan tak bisa melawan?
Komunitas Needle n' Bitch punya jawabannya lewat strategi-strategi seperti belajar menyulam, self-defence, dan membuat pembalut perempuan.
Melalui hal-hal yang lekat dengan keseharian perempuan tersebut, Needle n' Bitch ingin mengajak perempuan untuk melawan kekerasan dengan strategi nirkekerasan sekaligus merebut kembali kuasa atas dirinya.
Merebut Kuasa atas Diri
Pada 26 September 2016 lalu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mengadakan workshop bersama komunitas IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) dan Needle n' Bitch. Materinya cukup sederhana tetapi menarik: tentang tips menggunakan make-up dan membuat kerajinan sulaman.
Pelatihan yang berlangsung di Selasar Barat Kampus Fisipol UGM Bulaksumur ini dibagi menjadi dua kelompok. Pelatihan menyulam didampingi oleh Needle n' Bitch, sedangkan make-up ditemani oleh kawan-kawan dari IWAYO.
Dengan mengambil tema “Make-Up Your Mind and Wear Your Ideas”, kegiatan ini ditujukan untuk menggali sisi-sisi lain yang dapat dimaknai dari hal-hal “kecil” seperti make-up dan kerajinan sulaman.
“Dandan itu pilihan kita. Pertama, kita bisa tentukan apa yang mau didandani : tubuh kita, pikiran kita, empati kita, dll. Kedua, berdandan dengan apa : produk komersil, produk ramah lingkungan, produk eksklusif dll. By the way, "produk" yang saya maksud bukan sekedar make-up, baju, buku, dan apapun yang material, tetapi juga hal-hal nonmaterial seperti ide,” ungkap Diah Kusumaningrum, pengajar studi perdamaian di Departemen Hubungan Internasional UGM sekaligus salah satu inisiator acara ini, dalam laman media sosialnya.
Prinsip serupa berlaku untuk workshop menyulam oleh Needle n' Bitch. Dalam kesempatan tersebut, Needle n' Bitch meminta para peserta untuk lebih berani mengungkapkan pikiran dan pendapatnya di depan umum.
Ajakan bagi perempuan untuk berani bersuara terpampang jelas dalam kain-kain yang digunakan dalam pelatihan.
Kain-kain itu bertuliskan ungkapan yang lugas meskipun terkesan vulgar : “Aku Bukan Properti!”; “Tubuh Wanita Bukan Tabu”; “Gender in Equality”; hingga “Awakku Iki Nggonaku “ (tubuhku adalah milikku).
“Perempuan di masyarakat kita kan masih sangat inferior, bahkan untuk bilang tegas “aku nggak mau!” saja sudah sesuatu yang berat, nah itu yang coba kita elaborasi,” tandas Mita, salah satu anggota Needle n' Bitch yang memimpin workshop menyulam kepada tirto.id.
Para peserta berjumlah sekitar 40 orang. Mereka duduk lesehan di lantai selasar kampus dan membentuk beberapa lingkaran besar. Para pendamping mengambil posisi berbaur di tengah-tengah peserta.
Peserta kedua wokshop ini—yang didominasi oleh mahasiswi—tampak sangat antusias mengikuti panduan-panduan dari para pendamping. Meskipun terlihat canggung, namun pelan-pelan mereka mulai membiasakan diri.
“Duh, aku kok selama ini kurang cewek ya,” celetuk seorang peserta workshop make-up berambut sebahu. Ia nampak terkejut saat bercermin dan melihat wajahnya yang selesai dirias. Kawan-kawannya yang duduk di sebelahnya pun hanya bisa cekikikan.
Salah satu di antaranya memaksa mahasiswa yang menyeletuk tadi untuk selfie. Dengan enggan, peserta berambut sebahu itu menuruti permintaan kawannya.
“Udahan ah...udah. Malu tauk!,” jeritnya.
“Susah juga nih, nggak rapi ” keluh seorang peserta berkacamata peserta pelatihan menyulam. Ia tampak kesulitan memasukkan jarumnya mengikuti pola—pola yang sudah tersedia di kain yang dipegangnya.
Kawan di sebelahnya tiba-tiba bertanya, “Itu apa tulisannya?”. Ia menunjuk ke arah kain yang dipegang si kacamata.
“Mbuh....(nggak tau),” jawab si kacamata. Karena penasaran, keduanya lalu merentangkan kain itu di hadapan mereka.
“Oh iki tulisane (oh ini tulisannya) : Aku Bukan Properti,” ujar si kacamata. Keduanya lalu tertawa sambil manggut-manggut.
Seusai pelatihan, para peserta dikumpulkan untuk melakukan refleksi, Tak disangka-sangka, para peserta yang awalnya canggung dan malu-malu ternyata cukup berani menyuarakan pendapatnya.
“Kita bisa kemukakan soal seksualitas ke semua orang, tidak hanya pada perempuan tapi juga ke laki-laki biar mereka itu sadar gender, sadar kekerasan yang ada di dalam sistem patriarki di masyarakat kita,” ujar seorang peserta bernama Viga.
Seorang mahasiswi berhijab bernama Mila bahkan berani bersuara lebih lantang.
“Vagina itu hakku!,” tandasnya. Para peserta langsung riuh bersorak dan bertepuk tangan.
Mita nampak cukup antusias mendengar refleksi-refleksi dari para peserta. Ia menutup sesi hari itu dengan sebuah pesan singkat.
“Perempuan yang patuh itu nggak pernah dicatat sama sejarah!,” tandasnya.
Perempuan dalam Belenggu Ancaman
Perempuan merupakan entitas yang sangat rentan terhadap berbagai jenis kekerasan, khususnya di negara dengan nuansa patriarkal yang masih kental seperti Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dimaknai sebagai tindakan-tindakan agresif yang mengancam fisik semata, namun dapat pula berbentuk hal-hal “remeh” seperti godaan verbal semacam siulan (catcall).
Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan cenderung menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir.
Angka kekerasan perempuan pada 2011 tercatat 119.107 kasus, 2012 sebesar 216.156 kasus, 2013 sejumlah 279.760 kasus, 2014 sebanyak 293.220 kasus, dan puncaknya pada 2015 yang menyentuh angka 321.752 kasus. Jika diperhatikan, kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 sudah naik lebih dari dua kali lipat dari 2011.
Data dari Statistik Kriminal yang dirangkum oleh tim riset tirto.id menunjukkan gejala yang cukup menarik. Di satu sisi, data ini menunjukkan penurunan dalam angka kekerasan fisik khususnya perkosaan. Dalam lima tahun terakhir, angka perkosaan berturut-turut adalah : 2.183 kasus pada 2011, 1.977 kasus (2012), 1.779 kasus (2013), 1.690 kasus (2014) dan 1.715 kasus pada 2015.
Ironisnya, data kasus pencabulan dalam kurun waktu yang sama justru melonjak pesat. Pada 2011 tercatat ada 2.236 kasus pencabulan. Angka ini secara naik secara konsisten menjadi 3.265 kasus pada 2012, 3.323 kasus (2013), 3.160 kasus (2014), dan 3.784 kasus (2015).
Meningkatnya angka pencabulan dapat disebabkan oleh pola pikir yang masih menafikan muatan pelecehan dalam kebiasaan sehari-hari. Sebagai contohnya, masih banyak gestur-gestur maupun perilaku verbal berbau pelecehan yang “dinormalisasi” sebagai bahan candaan dalam pergaulan. Salah satunya adalah perilaku catcall atau siulan-siulan bernada menggoda yang seringkali terjadi di tempat-tempat publik.
Needle n' Bitch berpendapat bahwa belum ada perubahan yang signifikan atas kekerasan terhadap perempuan dan seksisme di negeri ini. Namun, mereka cukup mengapresiasi tumbuhnya kesadaran atas kekerasan dari beberapa komunitas dan individu-individu tertentu.
“Kalau kalau parameternya adalah menurunnya kekerasan terhadap perempuan itu jauh banget, tapi melihat makin banyak inisiatif itu aku sudah cukup merasa lebih baik, walaupun pada kenyataannya kita masih berhadapan dengan itu (kekerasan) tiap hari seperti seksisme,” papar Mita.
Nirkekerasan dan Wanita
Strategi nirkekerasan yang digunakan oleh Needel n' Bitch sebenarnya berbasiskan kepada upaya membangun kesadaran perempuan untuk mengenali kekerasan-kekerasan apa saja yang bisa terjadi kepada mereka. Posisi perempuan sebagai korban selama ini tidak hanya terjadi karena ketidakberdayaan dalam melawan, tetapi juga karena perempuan tidak bisa mengenali pelecehan-pelecehan apa saja yang terjadi pada mereka.
Mita memaparkan, slogan “Wear Your Ideas” atau “pakailah idemu” merupakan strategi supaya perempuan lebih berani untuk menyuarakan pendapat dan hak-haknya. Hal ini pula yang menjadi ciri khas dari produk-produk karya Needle n' Bitch. Mereka selalu menyisipkan ungkapan-ungkapan perlawanan terhadap otoritas dan budaya patriarki.
“Kalau mau dilihat sebagai provokatif tidak apa-apa, aku sama teman-teman itu sadar kalau budaya kita sangat hipokrit dan takut bicara secara gamblang nah kita coba mewakili apa yang kita pikirkan, kita percaya, kita share lewat teks-teks itu,” paparnya.
Needle n' Bitch selalu menyisipkan waktu untuk berbagi dan berdialog secara terbuka di setiap kegiatannya. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk menyalurkan keresahan-keresahan para peserta sekaligus menyadarkan mereka atas segala hal yang berkaitan dengan perempuan.
“Pendekatannya sih control yourself, ya. Kita buat perpustakaan, studio jahit dan sablon yang bisa diakses teman-teman yang mau belajar, workshop pembalut kain, kelas self defence, kekerasan berbasis gender dan kehamilan yang tak direncanakan. Pernah ada acara ngobrol-ngobrol sambil bikin sesuatu, film screening, dan macam-macam lainnya,” papar Mita.
Selain belajar menyulam, Needle n' Bitch juga mengadakan pelatihan beladiri bagi perempuan untuk berjaga-jaga dari ancaman fisik.
“[Tujuannya untuk] Mengambil feedback control sama tubuh dan keamanan sendiri, jangan mengharapkan orang lain untuk melindungi diri kamu. Intinya itu, prevention dan mengambil alih kuasa tubuh perempuan, untuk keselamatan dan keamanan,” ujar Mita.
Kelas self-defence dari Needle n' Bitch pun diawali dengan dialog antara fasilitator dan peserta tentang isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Pelatihan teknis bela diri selanjutnya dilakukan setelah sesi dialog selesai.
“Kalau sekarang, kita ada dua, pertama coach mengusulkan basis martial art, kedua self defence, itu untuk saling melengkapi. Kemarin muay thai. Di workshop kita sebelumnya lebih banyak materi pendekatan mental dan psikologis, trus kita bisa maping siklus kekerasan itu bagaimana, tentang kewaspadaan, tentang postur tubuh, intonasi, gestur, semua itu kita pelajari,” jelas Mita.
Needle n' Bitch juga mempromosikan penggunaan pembalut kain sebagai alternatif dari pembalut sekali pakai buatan pabrik. Di satu sisi, pembalut kain buatan sendiri terbukti lebih praktis, murah, ramah lingkungan, dan higienis.
“Habisnya pembalut sekali beli itu selain tidak aman dan ramah untuk tubuh perempuan, mengandung banyak toksin, memperbanyak sampah karena pembalut sekali pakai tidak bisa fully recycled […] Kita pikir ngapain kita berkontribusi terus nambah-nambahi sampah dan meracuni diri pelan-pelan karena ada pengawet, perasa, pelembab apalah di dalamnya. Padahal itu kita pakai setiap bulan, misalnya sistem kesehatan di sini sudah ok si ok, tapi kenyataannya tahu-tahu udah stadium tiga cervic cancer, ya udah nggak bisa ngapa-ngapain,” paparnya.
Di sisi lain, pembalut kain dapat menciptakan kemandirian bagi wanita sehingga tak harus bergantung kepada industri. Ketergantungan terhadap sebuah pihak seringkali menjadi pintu masuk bagi penindasan dan kekerasan.
“Setiap kali pembeli beli pembalut kain kita kasih zine, karena kita coba untuk membuat barang yang dibeli punya fair juga, tidak serta merta ambil profit, kamu bisa dapat zine tentang menstruasi yang di dalamnya juga memuat info pola belajar untuk membuat pembalut kain sendiri. Kita si lebih senang kalau makin banyak orang bisa bikin pembalut sendiri. Itu goal-nya, “ pungkas Mita.
Selamat Hari Nirkekerasan!
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti