Menuju konten utama
Misbar

Menyusuri Neraka Kekerasan Tak Berujung dalam Hopeless

Hopeless menjadi debut bagi sutradara Kim Chang-hoon dan bintang remaja Hong Xa-bin. Ditayangkan perdana di Festival Film Cannes 2023 pada Mei lalu.

Menyusuri Neraka Kekerasan Tak Berujung dalam Hopeless
Header Misbar Hopeless. tirto.id/Quita

tirto.id - Per 25 Oktober 2023 lalu, film Hopeless atau Hwaran telah tayang di jaringan bioskop CGV Indonesia. Sebelumnya, ia tayang perdana di Festival Film Cannes 2023 pada Mei lalu serta Busan International Film Festival di Busan, Korea Selatan.

Film ini mengusung beberapa nama besar di industri hiburan Korea, di antaranya Hong Xa Bin (sebelumnya dikenal melalui drama Moving dan Duty After School), penyanyi ternama BIBI (sempat membintangi drama Beyond Evil), dan Song Joong-ki. Ini adalah sebuah awal yang spektakuler bagi debut penyutradaraan Kim Chang-hoon.

Seperti judulnya, Chang-hoon yang juga menulis skenarionya menghadir pergulatah hidup seorang remaja di kota kecil yang kacau serta penuh konflik dan kekerasan. Di tengah nuansa suram tak berujung yang demikian itu, Chang-hoon dengan lihai menyajikan drama dan karakterisasi yang kuat. Hasilnya adalah saga neo-noir yang dramatis lagi berdarah-darah.

Hopeless mengikuti perjalanan Yeon-gyu (Hong Xa-bin) di kota kecil yang kacau. Dia yang masih berusia 18 tahun harus bertarung dengan kenyataan bahwa berjuang mati-matian adalah cara satu-satunya untuk bertahan hidup. Di samping itu, Yeon-gyu memiliki adik perempuan bernama Ha-yan (BIBI) yang harus dilindunginya.

Mereka hidup dalam keluarga berantakan, terjerat kesulitan ekonomi, dan harus berjuang dari teror geng kriminal. Untuk bisa lepas dari situasi sulit dan suram itu, Yeon-gyu lalu bergabung dengan organisasi kriminal. Saat itulah, Yeon-gyu berjumpa Chi-geon (Song Joong-ki) yang memiliki kedudukan cukup tinggi dalam kelompok preman tersebut.

Chi-geon adalah pria kejam yang mengeksploitasi pemilik toko kecil dan mengurus bisnis kotor bos besarnya. Namun, dia tidak bisa mengabaikan masalah yang menimpa Yeon-gyu, yang mengingatkan pada penderitaan masa kecilnya sendiri.

Sejak itu, Yeon-gyu dan Chi-geon seakan menjalin ikatan persaudaraan. Chi-geon pun memutuskan untuk mengajari Yeon-gyu cara bertahan hidup di dalam situasi yang sulit di dalam kelompok gangster Korea. Namun, tidak jelas apakah Chi-geon adalah penyelamat atau penghancur bagi Yeon-gyu.

Neraka Kekerasan Tak Berujung

Menyusuri kisah Hopeless serupa masuk ke lorong gelap penuh kekerasan yang hampir tak berujung. Beberapa adegan kekerasannya tampil disturbing dalam spektrum Korean Extreme berkelas seperti Old Boy atau Night in Paradise. Menurut saya, itulah resep utama Hopeless dalam menarik penonton arthouse ke dalam kisahnya yang berdurasi panjang.

Hopeless sebenarnya mengandung substansi yang berpotensi menjadikannya film noir populer dari Negeri Ginseng. Di awal film, penonton langsung disuguhi adegan-adegan brutal melalui adegan perkelahian Yeon-gyu dan teman sekolahnya yang mengganggu Ha-yan. Mereka seperti telah biasa menggunakan batu, tongkat baseball, hingga tang sebagai senjata.

Di momen lain, kita diperlihatkan Yeon-gyu mengalami dilema moral setelah melihat kejahatan yang dilakukan oleh geng terhadap orang miskin. Chi-geon dengan kejam mengingatkan Yeon-gyu pada aturan kelompok bahwa, “Perintah ada untuk diikuti, bukan untuk dipertanyakan.”

Namun, Chang-hoon malah kedodoran—atau sembrono—di paruh akhir. Alih-alih menyampaikan pesan atau katarsis, plotnya malah makin berlarut-larut dalam lingkaran setan kekerasan dan dampaknya terhadap jiwa-jiwa muda yang sedang bermasalah. Alurnya jadi kehilangan kepadaun dan membingungkan.

Cerita pun menjadi sangat membosankan karena perkembangan plot tidak diiringi adegan aksi spektakuler layaknya film gangster populer. Hopeless malah menampilkan kehidupan suram orang-orang miskin melalui adegan-adegan yang meresahkan berupa KDRT, perundungan di sekolah, dan kekerasan brutal yang dilakukan oleh rentenir.

Penonton yang terbiasa dengan film grindhouse mungkin dapat mentoleransi sentimen yang mendasari isu tersebut serta memikirkan dampak psikologis terkait ketidakstabilan keluarga dan paparan terhadap kekerasan yang terjadi dari konteks sosial dan ekonomi. Namun, bagi penonton film arthouse, hal-hal tersebut sangatlah berlebihan untuk sebuah drama keluarga berlatar gangster.

Pada paruh awal, alur Hopeless sebenarnya sudah menunjukkan gejala seperti berputar-putar. Ia kepayahan dalam mencapai klimaks yang sebenarnya tidak tercapai. Ia pun memiliki terlalu banyak subplotyang mesti diberiresolusi.

Banyaknya karakter yang berlalu-lalang di sepanjang film boleh jadi adalah penyebabnya. Padahal, Chang-hoon sebenarnya bisa lebih fokus mengulik satu atau dua karakter. Dengan begitu sang sutradara pastilah bisa menyediakan ruang yang cukup untuk memberi resolusi pamungkas yang lebih kuat.

Pada akhir babak pertama, plot mengungkapkan mengapa Yeon-gyu sangat membutuhkan uang. Penonton juga dapat melihat kenaifan dan tendendi impulsif yang membuatnya tidak cocok melakukan aksi gangster. Kebingungan dan kecemasan yang melambari karakternya juga membuatnya seperti badut yang bergerak kikuk di panggung sirkus.

Dalam plotnya, Yeon-gyu punya kesempatan untuk melakukan chaos guna menghidupkan klimaks film ini. Namun, karena naskahnya tidak memberikan ruang lebih, karakternya malah jadi gagal mengail simpati penonton.

Masa magang Yeon-gyu di bawah arahan Chi-geon adalah inti dari keseluruhan cerita. Penonton seperti dibawa pada konvensi saga wuxia dalam keseimbangan yin dan yang, antara anak muda kekar tapi impulsif dan sang guru yang ramping tapi mampu mengendalikan diri.

Namun, yang berlaku dalam Hopeless justru sebaliknya. Ini mungkin tampak aneh. Chang-hoon agaknya berusaha keras untuk keluar dari pakem standar film gangster populer. Dia berusaha membuat dunianya sendiri, tapi itu malah menjadi bumerang baginya.

Hopeless yang “Hopeless

Dari segi teknis, Hopeless tidak bisa menandingi film gangster Korea mana pun. Apa mau dikata, biaya produksinya memang rendah. Namun, Hopeless tak bisa dipungkiri masih mampu menyuguhkan adegan brutal yang realistis, latar musik suram yang intens, dan koreografi aksi yang cerdik.

Maka tak mengherankan simbolisme dan metaforanya juga menarik untuk ditafsirkan. Adegan langkah kaki yang menyeret dan suara barang pecah, misalnya, pasti menandakan kehadiran ayah tiri Yeon-gyu yang kejam. Meskipun film ini tidak bisa menghindar dari adegan-adegan berdarah yang eksplisit, beberapa adegan dramanya cukup menarik empati penonton.

Contoh lain, sinematografi Lee Jae-woo yang mengusung rona keabu-abuan cukup menguatkan kesan Myeongan sebagai kota fikni yang suram dan kumuh. Dipadu penyutradaraan Chang-hoon, Hopeless harusnya bisa menjadi film dengan efek yang luar biasa.

Namun, semua itu dilemahkan oleh gaya penyuntingan Kim Sang-bum yang canggung. Pemotongan mendadak di tengah adegan dan percakapan serta pemotongan kasar di antara alurnya membuat Hopeless jadi sulit dicerna secara naratif dan visual.

Maraknya adegan kekerasan yang sebenarnya tidak perlu dan cerita yang tidak memiliki jalan keluar menjadikan judul Hopeless jadi terkesan makin harfiah untuk menggambarkan filmnya. Isu sosial yang diangkat benar-benar meresahkan dan pesan yang disampaikan tidak terlalu berdampak. Meskipun premisnya memiliki potensi kuat, eksekusinya ternyata mampu memunculkan kekuatan itu.

Singkatnya, Hopeless menarik penonton ke dalam 133 menit penderitaan Yeon-gyu tanpa menawarkan banyak hal lain.

Nilai lebih yang menonjol dari film ini adalah performa akting Hong Xa-bin. Dia mampu mengolah peran sebagai remaja tanggung yang ingin membuktikan keberaniannya. Dari ledakan amarah hingga gejala PTSD.

BIBI dalam peran debutnya mencoba mengeluarkan potensi terbaiknya untuk memerankan Ha-yan. Namun, dia hanya bisa menjadi penyangga bagi Yeon-gyu dari segi pengembangan karakternya.

Jung Jae-kwang sebagai Seung-mu, bawahan Chi-geon, memiliki potensi untuk porsi komedi dan dinamika yang menegangkan dengan Yeon-gyu. Sayangnya, Chang-hoon tak memberi ruang lebih untuk perkembangan karakternya.

Ruang yang terlalu sempit untuk kedua karakter itu, menurut saya, malah mengandaskaskan harapan akan pengalaman sinematik yang khas. Hopeless terlalu menggali betapa buruknya kehidupan Yeon-gyun. Ini sangat merusak hubungan di antara karakter mereka.

Dengan menyajikan gaya yang tidak biasa dan cerita nontradisional, Hopeless sebenarnya bisa saja mengail banyak pengakuan internasional. Sayangnya, film ini malah benar-benar hopeless.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi