Menuju konten utama
Misbar

Di Ambang Kematian, Horor Ilmu Hitam nan Brutal

Belajar dari para pendahulunya, Di Ambang Kematian menghadirkan kisah horor yang tidak tipikal. Layak masuk jajaran film horor terbaik tahun ini.

Di Ambang Kematian, Horor Ilmu Hitam nan Brutal
HEADER Misbar DI AMBANG KEMATIAN. tirto.id/TIno

tirto.id - Di Ambang Kematian adalah sebuah penghormatan kepada film horor Indonesia klasik yang telah dikultuskan. Dengan karya terbarunya itu, Azhar Kinoy Lubis (Kafir: Bersekutu Dengan Setan, Duologi Mangkujiwo) boleh dibilang telah berhasil membuat para pendahulunya bangga.

Materi film ini berasal dari utas viral @jeropoint di X dan adaptasi skenarionya ditulis oleh Erwanto Alphadullah (Mangkujiwo, Ritual Series). Di atas kertas, film ini jelas cukup berpotensi. Azhar dan Erwanto sendiri sudah pernah bekerja sama dalam proyek film Mangkujiwo yang berhasil meletakkan dasar film horor lokal bergaya slow burn dan distrubing.

Menurut pengakuan @jeropoint, utas awal Di Ambang Kematian didasarkan pada kisah nyata dan ditulis dari sudut pandang seorang wanita bernama Nadya. Utas sebelumnya telah pula diterbitkan sebagai buku.

Di Ambang Kematian banyak meminjam unsur-unsur tertentu dari film horor klasik bertemakan ilmu hitam atau pesugihan dalam eksekusinya. Gaya penyutradaraannya pun meminjam dari sutradara gaek, seperti Liliek Sudjio, Sisworo Gautama Putra, Tjut Djalil, dan Dasri Jacob, yang usia filmnya rata-rata sudah mencapai 40 tahun.

Meski begitu, Di Ambang Kematian tetap memiliki ciri khasnya tersendiri. Ia memadukan unsur grindhouse (pemenggalan kepala, pengelupasan kulit, perusakan organ tubuh, dan monster) dan pahitnya drama kehidupan atas ambisi hidup sejahtera dengan cara instan.

Filmnya sangat brutal. Dengan durasi 1 jam 37 menit, ia menebar banyak adegan menyeramkan dan berhamburan darah. Meski begitu, adegan-adegan itu mampu menyatu dengan narasi besar yang hendak ia suarakan, bahwa praktik pesugihan bukanlah sebuah solusi.

Belajar dari Pendahulu

Ketika industri film eksploitatif di Indonesia meledak pada akhir dekade 1970-an hingga awal 1990-an, hanya sedikit sineas yang mau ambil jalan lebih independen. Dengan budget yang bisa dibilang terbatas, para sineas saat itu toh tetap mampu memberikan ketegangan dan kengerian yang pantas.

Itu tercapai berkat kreatifitas yang diterapkan pada penataan efek khusus. Teknik inilah yang dipakai oleh Azhar dalam menciptakan teror pada penonton dalam “Diambang Kematian”.

Suzzanna membintangi serangkaian film horor box office pada masanya yang memberinya karier luar biasa. Maka jangan heran dia dapat julukan Ratu Film Horor Indonesia dan belum tergantikan hingga saat ini.

Salah satu filmnya berjudul Ratu Ilmu Hitam masuk jajaran film horor classic-cult. Uniknya, Di Ambang Kematian punya kesamaan dengan film yang disutradarai oleh Liliek Sudjio itu. Yang utama tentu saja elemen-elemen ritus ilmu hitam yang epik.

Tema itu sebenarnya cukup sering dipakai oleh banyak sineas lokal. Namun, Liliek dalam Ratu Ilmu Hitam mampu menempatkan ritus yang menampakkan ketelanjangan pada porsinya, bukan sekadar mengumbarnya.

Sementara itu, Azhar dalam Di Ambang Kematian mengganti unsur ketelanjangan itu dengan kebiadaban. Itu dia lakukan dengan menyajikan adegan pemotongan kepala kambing hitam sebagai persembahan dan membagikan dagingnya.

Selain Ratu Ilmu Hitam, Liliek juga pernah membuat film dengan tema pesugihan berjudul Ngipri Monyet (1988). Azhar juga memakai tema ini dalam membangun cerita.

Azhar memodernisasi trope keluarga miskin yang ingin cepat kaya kemudian melakukan perjanjian dengan setan. Pembaruan jalan cerita, peningkatan kualitas efek khusus dengan bantuan tehnologi CGI, dan peran agama yang sudah tidak bisa lagi membantu, membuat Di Ambang Kematian menjadi film horor yang memberi kesan mengenaskan.

“Nurut Sama Bapak Jika Hidup Kalian Ingin Selamat.”

Begitulah pesan awal yang disampaikan oleh Ibu (Kinaryosih) kepada putri semata wayangnya, Nadya (Raya Adena Syah), sebelum ajal datang menjemputnya. Nadya yang masih kecil tidak paham apa maksud ibunya. Di satu sisi, sang kakak Yoga (Faras Fatik) mencurigai Suyatmo, ayahnya (T. Rifnu Wikana), sebagai dalang dari kematian ibunya.

Yoga melihat ada yang janggal dari sikap ayahnya. Maka pada suatu malam, dia membuntutinya dan menemukan rahasia mengerikan di salah satu ruangan rumah mereka.

Bagian pertama dari Di Ambang Kematian sudah cukup mengejutkan. Penonton diperlihatkan adegan Ibu yang menceburkan wajahnya ke dalam panci panas di atas kompor pada saat mereka merayakan datangnya tahun baru.

Sontak mereka terkejut dan membawa Ibu pergi ke rumah sakit. Ketika mereka berangkat dari rumahnya, samar-samar tampak makhluk besar bertubuh hitam berdiri di lantai atas rumahnya yang sedang direnovasi.

Sayangnya, nyawa Ibu tak terselamatkan.

Tidak Ada Jalan Pulang

Setelah mengetahui rahasia ayahnya, Yoga menjadi pendiam dan sering didatangi oleh makhluk halus. Dia semakin jauh dengan keluarganya. Hal ini berlangsung selama 9 tahun hingga Yoga dan Nadya tumbuh menjadi remaja.

Suatu hari, Nadya (Taskya Namya) menawarkan pada Yoga (Wafda Saifan Lubis) untuk pergi ke psikiater supaya mereka bisa hidup seperti dulu lagi. Namun, Yoga menolak dengan alasan dia tidak gila. Yoga kemudian menceritakan rahasia pesugihan ayahnya yang dipendamnya selama ini yang tidak diketahui oleh Nadya.

Pada bagian kedua film, Azhar tampaknya mulai melupakan apa yang sudah dia lakukan di film Mangkujiwo. Dia mulai banyak menggunakan elemen jumpscare seperti umumnya film horor lokal yang overrated. Untungnya, itu masih tepat sasaran, meski kadang agak melelahkan. Terutama, pada bagian Yoga yang sering didatangi oleh arwah ibunya.

Banyak orang menganggap pesugihan sebagai praktik berbahaya karena sering kali meminta tumbal orang terdekat. Itu pulalah yang dialami oleh keluarga Suyatmo.

Selang 10 tahun sejak kematian istrinya, tepat pada perayaan tahun baru pula, peristiwa yang sama terjadi. Yoga sang putra sulung mati secara tidak wajar. Untuk menutupinya, Suyatmo memohon pada tetangganya untuk tidak ikut dalam proses pemakamannya. Dia berdalih sudah ada anak buahnya yang mengurusi.

Bagian ketiga film lalu menjadi klimaks yang mengharukan. Setelah kematian Yoga, Suyatmo tidak peduli lagi dengan harta yang didapatkannya dari hasil praktik pesugihan. Dia menjual semuanya dan membagikannya pada yayasan sosial dan siapa saja yang membutuhkan.

Dengan melakukan itu, dia berharap keluarganya tidak lagi jadi korban. Selain itu, dia berkeliling Jawa bersama Nadya untuk menemui orang pintar yang bisa memutus perjanjiannya dengan iblis.

Namun, upayanya gagal. Suyatmo tidak kuat menghadapi ujian yang diberikan oleh sang iblis.

Untuk menghindari filmnya jadi horor yang tipikal, Azhar meningkatkan dramatisasi pada hubungan Suyatmo, Yoga, dan Nadya. Dia juga tidak menghakimi perbuatan dan pilihan Suyatmo. Komitmennya adalah menunjukkan perilaku manusia yang realistis.

Secara keseluruhan, aman untuk mengatakan bahwa Azhar berhasil membuat Di Ambang Kematian menjadi film horor yang segar dan berkesan. Karenanya, tak berlebihan pula jika film ini dinobatkan sebagai film horor lokal terbaik tahun ini—bersanding dengan Waktu Maghrib dan Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi