Menuju konten utama
Kinerja Lembaga Legislatif

Menyoal DPR yang Hanya Kompak Perjuangkan Kepentingan Partai

DPR dinilai hanya mementingkan kepentingan fraksi atau partai politik, tanpa banyak memikirkan urusan masyarakat.

Menyoal DPR yang Hanya Kompak Perjuangkan Kepentingan Partai
Gedung DPR/ MPR RI, karya Dipl.-Ing. Soejoedi Wirjoatmodjo. (FOTO/William Sutanto)

tirto.id - Delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI sepakat meneken surat pernyataan sikap bersama menolak perubahan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017 terkait sistem pemilu proporsional terbuka. Apabila perubahan dilakukan, maka sistem pemilu akan berubah menjadi proporsional tertutup.

Bahkan dalam memperjuangkan kepentingan agar sistem pemilu tidak diubah, DPR mengajak lembaga survei agar mengampanyekan bahaya pelaksanaan sistem pemilu proporsional tertutup. Hal itu disampaikan Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin.

“Ayo lembaga survei ikut bergerak juga, jangan diam-diam saja. Masa kami 8 fraksi (DPR) kalah sama 1 fraksi,” kata Nurul Arifin dalam pemaparan lembaga survei Indikator Politik pada Rabu (4/1/2023).

Sayangnya, kekompakan para anggota dewan tersebut tidak tercermin dalam pembahasan regulasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Misal, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang butuh waktu lama agar disetujui menjadi UU. Contoh lain adalah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang hingga saat ini belum juga disahkan.

Terbaru adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Padahal aturan itu dinilai melangkahi DPR karena dikeluarkan pada masa reses dan menabrak ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun hingga saat ini, DPR hanya diam saja dan tidak menyatakan bentuk protes atas Perppu Cipta Kerja yang ditentang oleh koalisi masyarakat sipil.

Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad bahkan menyebut, pihaknya hanya bisa menunggu. Tanpa memberi komentar lebih lanjut mengenai isi Perppu Ciptaker.

“Jadi Perppu tentang Ciptaker yang sudah dikeluarkan oleh presiden. Kami belum mempelajari karena disampaikan saat masa reses. Dan kami baru akan aktif pada 10 Januari," kata Dasco di Gedung DPR RI pada Selasa (3/1/2023).

Tidak seperti rencana perubahan sistem pemilu yang ramai ditolak oleh fraksi DPR, hingga kini hanya dua partai yang sudah memberikan pernyataan resmi menolak dan mengkritik kehadiran Perppu Ciptaker, yaitu PKS dan Demokrat yang notabene di luar koalisi pemerintah.

Suara PKS dan Demokrat tentu tidak berbanding signifikan apabila dibandingkan dengan 7 fraksi lain yang ada di DPR. Sehingga sebagai institusi pengawasan sudah malafungsi dan hanya menjadi tukang stempel di setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Tanpa ada fungsi koreksi di dalamnya.

Akibatnya, masyarakat hanya bertumpu pada Mahkamah Konstitusi apabila ada aturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan kehendak masyarakat. Itu pun kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah dilucuti setelah adanya pencopotan Hakim Aswanto. Sebagaimana mengutip pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Pacul: “Tentu mengecewakan dong. Ya gimana, kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia.”

Pragmatisme DPR dan Ancaman untuk Demokrasi

Dengan diterbitkannya Perppu Ciptaker, seharusnya DPR merasa terhina, karena muruah mereka sebagai pembuat undang diinjak-injak oleh pemerintah, kata Legal and Human Rights Campaigner Trend Asia, Adhitiya Augusta saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada Kamis (5/1/2023).

Adhitiya melihat DPR bungkam tidak hanya saat ini saja. Ketika lahir Undang-Undang Minerba yang banyak ditolak masyarakat, sikap DPR juga hanya diam saja. Padahal dampaknya sangat besar kepada kehidupan masyarakat dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Ia menyayangkan DPR dengan segala kelebihan dan privilese yang mereka miliki untuk bersuara dan menentukan sikap, lebih memilih untuk bersuara mengenai wacana sistem pemilu yang akan diubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

“DPR seharusnya menggunakan haknya untuk mempertanyakan sikap pemerintah yang mengeluarkan Perppu. Bukan membahas wacana agenda pemilu,” kata dia.

Menurut Adhitiya, DPR sama seperti pemerintah tidak menghormati proses persidangan Mahkamah Konstitusi yang sedang berjalan. Seharusnya DPR tidak mengintervensi atau mengeluarkan komentar terkait proses judicial review Undang-Undang Pemilu.

“Situasi ini mencerminkan negara kita yang seharusnya ‘negara rule of law’ menjadi ‘negara rule by law,’” kata dia.

Hal serupa disampaikan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia sebut, DPR hanya mementingkan kepentingan fraksi atau partai politik, tanpa banyak memikirkan urusan masyarakat atau konstituennya. Hal itu berkaca dari kerja-kerja DPR pada saat mengesahkan sejumlah produk legislasi yang tidak banyak berpihak pada rakyat.

“DPR itu pasti pragmatis terhadap putusan atau kebijakan yang menguntungkan partainya atau tidak. Jadi jangan terlalu berharap pada DPR yang kurang jelas visi dan misinya. Karena orientasinya hanya keuntungan kelompok saja,” kata Fickar.

Agar sifat pragmatisme DPR tidak berkelanjutan, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan, sejumlah perbaikan harus dilakukan sejak dari partai. Salah satunya dengan revitalisasi internal.

“Partainya harus diperbaiki terlebih dahulu semuanya, karena DPR isinya kan dari partai. Salah satunya dimulai dari pemilihan ketua partai secara berkala dan dibatasi jabatannya hanya dua periode," terangnya.

Mekanisme pemilih calon legislatif yang akan diusung partai juga harus dibuat lebih transparan. Para kader harus dilibatkan sehingga kompetensi anggota fraksi di DPR lebih terjaga, kata Feri.

“Proses pencalonan legislatif, kepala daerah dan presiden dilakukan secara terbuka, dan melibatkan semua kader,” kata Feri menambahkan.

Baca juga artikel terkait DPR RI atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz