tirto.id - Ada beberapa makanan yang lekat dengan pengalaman saya setiap mengunjungi pantai di selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di pesisir Gunungkidul. Itu adalah aneka gorengan hasil laut yang berjajar di sepanjang jalan dari parkiran ke pantai. Di sana, beragam hasil tangkapan laut tersaji dalam kondisi matang, siap dipilih untuk dibeli.
Penjualnya yang rata-rata ibu-ibu, selalu siap sedia memanggil para pengunjung agar mampir ke lapaknya. Tampaknya mereka saling bersaing sehat antar lapak, layaknya di pasar. Ini dapat dimaklumi karena barang yang mereka dagangkan sama, yaitu aneka hasil laut goreng. Tak perlu terlalu memilih lapak mana, karena umumnya harganya sama dan rasanya pun mirip.
Udang, wader, aneka ikan laut, baby crab, hingga rumput laut, dan undur-undur dijual di lapak-lapak yang saling berdempetan. Pengunjung dapat membeli dalam ukuran kiloan sesuai kebutuhan. Saya pun kerap tertarik, dan membawa beberapa plastik boga bahari yang digoreng itu. Biasanya saya membeli undur-undur dan wader goreng. Di kunjungan terakhir tahun kemarin, saya juga membeli rumput laut goreng yang renyah dan gurih.
Undur-undur laut ini sudah menjadi salah satu panganan favorit saya apabila berkunjung ke pantai. Saya akui, dulunya saya memandang panganan ini dengan sebelah mata. Bentuknya yang bulat dengan tempurung punggung yang "mengkilat" membuatnya tampak keras. Duh, membayangkannya kemlethak di mulut membuat nafsu makan berkurang. Karenanya saya lebih memilih membeli wader yang sudah terbukti cocok di lidah.
Tapi, hewan yang merupakan sebangsa krustasea ini rupanya tidak sekeras yang saya bayangkan.
"Coba dulu saja, Mbak," ujar Ibu Penjual di Pantai Baron saat pertama kali saya akan mencoba undur-undur laut.
Saat itu, saran sang ibu terdengar seperti tantangan. Akhirnya saya mengumpulkan keberanian, dan mengigit satu undur-undur goreng.
Mengejutkan.
Gigi yang sudah saya siapkan untuk menggigit dengan keras, menembus tempurung punggungnya dengan mudah. Tak urung saya kaget karena tak ada lapisan keras yang harus dikalahkan oleh gigi. Undur-undur goreng ini teksturnya empuk, seperti daging udang. Rasanya gurih dan lezat, cocok dibawa pulang untuk lauk di rumah.
Tak ada kemlethak di dalam mulut. Yang ada, justru tangan saya yang langsung menyodorkan plastik kosong ke Ibu Penjual.
"Beli seperempat kilo, Bu," ujar saya.
Ibu Penjual dengan cekatan langsung mengisi plastik saya, menimbang, dan menyerahkannya pada saya. Mungkin ia takut saya mengubah pikiran.
Undur-undur laut ini biasanya ditangkap di pinggiran pantai, tersembunyi di dalam pasir. Menurut orang sekitar yang hafal kebiasaan undur-undur, hewan ini suka membenamkan diri di pasir laut. Pada kisaran bulan Januari hingga Maret atau Juli dan Agustus, hewan-hewan ini bermunculan di pantai, mudah sekali didapatkan oleh masyarakat sekitar. Karena ia muncul di bulan-bulan tertentu, bisa dikatakan kalau undur-undur goreng ini merupakan makanan musiman.
Meski belum pernah ada kejadian para pedagang ini kehabisan undur-undur untuk dijual, pada bulan-bulan mereka keluar dari sarang, undur-undur goreng yang dijual di lapak-lapak melimpah ruah. Bersanding dengan aneka hasil laut lainnya. Yang cukup bikin saya takjub: undur-undur goreng rupanya memiliki banyak penggemar.
Dulunya, undur-undur ini tidak cuma dijual untuk dimakan. Sebelum dikenal luas, undur-undur tidak terlalu diminati karena banyak yang menganggapnya "makanan ekstrem". Apalagi melihat bentuknya yang sekilas tak lazim.
Padahal, bagi masyarakat setempat, undur-undur merupakan bagian dari makanan sehari-hari. Terkadang masyarakat mencarinya sendiri di pantai, tapi tak jarang juga membelinya dari nelayan setempat. Undur-undur laut ini biasanya juga disajikan dalam versi digoreng.
Undur-undur memang cocok dijadikan sebagai lauk dan sumber gizi. Dalam sebuah jurnal terbitan Institut Pertanian Bogor, disebutkan bahwa undur-undur memiliki nilai gizi cukup tinggi, terutama protein, omega-3, dan omega-6. Hartono et al. (2011) juga menyebutkan bahwa undur-undur laut punya kandungan protein 32,32% dan omega-3 12,49%.
Selain dikonsumsi di rumah, undur-undur laut rupanya memiliki manfaat lain. Masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan juga kerap menggunakannya untuk umpan berburu ikan plagis dari tubir pantai yang berpasir.
Sejak merasakan lezatnya undur-undur goreng, kini bertambah lagi alasan saya untuk mengunjungi deretan pantai di selatan Kabupaten Gunungkidul. Selain pasir putihnya yang lembut dan nyaman untuk bersantai, saya sekarang selalu mencari undur-undur goreng ini.
Di kawasan selatan pantai di Gunungkidul, seperti Pantai Baron, Pantai Krakal, hingga Pantai Kukup, undur-undur goreng memang banyak dijual. Selain di daerah pesisir, di Yogyakarta saya belum pernah menemukan undur-undur goreng. Bisa jadi karena bahan makanan ini harus segar saat akan diolah.
Cara pengolahan undur-undur sendiri sebenarnya cukup sederhana. Pengolahannya tidak jauh berbeda dengan pengolahan hasil laut lainnya. Sebelum diolah, undur-undur harus dibersihkan dan kemudian diberi bumbu sederhana, yaitu bawang putih dan garam. Setelah itu, undur-undur baru digoreng hingga matang dan berwarna kemerahan.
Menariknya, undur-undur ini kini tak hanya dijual dalam olahan digoreng. Ada juga undur-undur yang dijadikan peyek, bakwan, ataupun sate. Hanya saja, semuanya tetap melalui proses penggorengan. Sepertinya saya belum pernah menemukan undur-undur ini dimasak dg cara lain. Diolah balado, mungkin juga enak ya…
Biasanya, undur-undur ini memang saya beli kiloan untuk lauk di rumah, atau camilan saat mulut ingin bergoyang tapi perut masih kenyang. Atau, kerap pula sebagai oleh-oleh, dan juga titipan dari keluarga di rumah. Dalam kondisi matang dan kering, olahan undur-undur ini dapat bertahan cukup lama loh...
Akan tetapi, selain dijual untuk dibawa pulang, undur-undur ini juga dijual sebagai makanan untuk dikonsumsi di lokasi. Sajiannya sangat sederhana, tapi nikmat: undur-undur goreng, nasi putih, dan sambal bawang. Serta tak lupa sensasi suara deburan ombak, angin sepoi-sepoi, dan pemandangan laut yang tak terbatas.
Oh iya, jangan lupa pesan kelapa mudanya untuk menutup sajian. Nikmat betul.
Editor: Nuran Wibisono