tirto.id - Selama ini, jargon tentang beragamnya masakan Indonesia terasa ‘hambar’ bagi saya. Alasannya, beberapa nama masakan hampir selalu muncul dan diulangi dalam leksikon kuliner Indonesia, sementara saya yakin masih ada lebih banyak masakan Indonesia yang layak untuk dikenal. Karena itu, dalam sebuah kesempatan saya mengunjungi Sumatera Utara selama empat minggu, saya berusaha untuk mencicipi sebanyak mungkin makanan yang belum pernah saya dengar dan cicipi sebelumnya.
Sebelum mengunjungi kota Medan, makanan yang saya kenal dari kota ini hanya sebatas soto Medan dan pancake durian. Kenyataannya, Medan menawarkan jauh lebih banyak opsi makanan yang senada dengan keberagaman masyarakat yang tinggal di kota ini, di antaranya masyarakat Tionghoa, Tamil, Batak, dan Melayu.
Di daerah sekitar jalan Zainul Arifin yang terkenal dengan nama Little India, kita bisa menemukan beberapa restoran yang menyajikan masakan India. Meski hampir semua restoran menawarkan menu generik seperti nasi biryani, mereka juga menyuguhkan hidangan khas Tamil, seperti dhosai dan sambar.
Dosai adalah roti tipis besar yang terbuat dari fermentasi gilingan beras dan urad dal; sejenis kacang-kacangan yang lazim ditemui di India Selatan. Banyak orang menyamakan dosai dengan crepe karena bentuknya yang bundar dan pipih. Rasanya gurih dan biasanya ditemani dengan tiga menu sampingan, seperti kuah kari dan chutney (saus gurih). Sementara itu, sambar adalah sop khas India selatan yang terbuat dari dal dan asam Jawa. Warnanya merah dan kuahnya asam, mengingatkan saya dengan sayur asam yang biasanya saya santap.
Menariknya, selain masakan Tamil, terdapat juga menu yang menandakan akulturasi budaya Melayu dan Tamil, yaitu Nasi Kandar. Bagi saya, Nasi Kandar mengingatkan saya dengan nasi Lemak. Komposisinya persis sama, hanya saja hampir semua bumbu dominan dengan masala; campuran rempah wajib yang ada di masakan India.
Sambil berkeliling di daerah Little India ini, saya penasaran dengan bagaimana komunitas Tamil di Medan memaknai identitas mereka. Saya sempatkan untuk bertanya tentang hal ini ketika saya bertemu dengan seorang pendeta muda dan dua teman keturunan Tamil dari Kuil Shri Mariamman; kuil Hindu tertua yang ada di Medan yang dibangun di tahun 1884.
Saya datang ketika pendeta tersebut menjalankan shift untuk memandu masyarakat yang lalu lalang melaksanakan pujha atau doa di kuil tersebut. Tidak jarang saya lihat ibu-ibu datang mengenakan salwar kameez; sejenis baju khas India yang terdiri dari atasan sepanjang lutut, celana panjang dan selendang. Tidak heran jika masyarakat Tamil di Medan memiliki ikatan kuat dengan ibu pertiwi mereka.
Masyarakat India tercatat sudah masuk ke Sumatera di tahun 717 Masehi, jauh sebelum Kuil Shri Mariamman dibangun. Di masa tersebut, perdagangan mendominasi munculnya komunitas Tamil di daerah ini. Namun selain itu, terdapat juga masyarakat Tamil yang datang ke Sumatera untuk bekerja di perkebunan di Deli.
Hingga kini, diaspora masyarakat Tamil di Medan masih didominasi oleh kaum pedagang. Hal ini bisa dilihat dari proporsi pekerjaan masyarakat di Kecamatan Madras Hulu; kecamatan dengan jumlah masyarakat Tamil terbanyak di Medan. Meskipun masyarakat Tamil telah berada di Medan dalam jangka waktu lama, generasi muda masyarakat Tamil acap kali tidak lagi fasih berbahasa Tamil. Dua teman yang saya temui, misalnya, masih harus belajar aksara Tamil dan orangtua mereka tidak selalu menggunakan bahasa Tamil ketika mereka ada di rumah.
Namun, keterikatan dengan akar kuliner mereka cukup kuat. Di keseharian, generasi orangtua mereka tidak jarang masih menggunakan resep turun-temurun untuk membuat masakan rumahan khas Tamil. Menariknya, tidak jarang mereka mencampurkan bumbu-bumbu khas India ke dalam masakan Indonesia.
Lepas dari Little India, saya memasuki pula Medan yang lekat dengan nuansa Hakka. Masakan Hakka rupanya juga cukup popular di daerah ini. Meskipun masakan ini tidak sulit ditemukan di Indonesia, terdapat beberapa masakan Hakka di Medan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Beberapa nama makanan yang saya cicipi bahkan masih menggunakan nama aslinya, alias tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Sebuah warung makan di Jalan Yose Rizal menyajikan lau su ban dan son phan ce. Butuh berapa pertanyaan hingga saya memutuskan memesannya. lau su ban adalah sejenis mie yang terbuat dari tepung beras berbentuk bantat dan pendek, sama sekali berbeda dengan mie kebanyakan. Teksturnya kenyal dan biasanya disajikan dengan kuah.
Sementara itu, son phan ce terbuat dari adonan keladi (sejenis ubi) yang dibentuk lingkaran kecil. Son phan ce lalu ditumis dengan jamur hioko, rebung, udang, ebi, dan daging babi. Son phan ce sengaja dibentuk menyerupai biji-biji sempoa yang berasosiasi dengan uang bagi masyarakat Tionghoa, sehingga hidangan ini biasanya tersaji di acara Tahun Baru Imlek, sebagai harapan bahwa di tahun yang baru mereka akan berlimpah cuan.
Selain lau su ban dan son phan ce, saya juga sempat mencicipi chai tow kway atau kue lobak, chai pau atau choi Pan, dan popiah. Chai Tow Kway terbuat dari parutan lobak putih, ebi dan tepung beras yang dikukus, lalu dipotong menjadi kotak-kotak kecil. Penyajiannya ditumis dengan saus tiram, kecap asin, dan ditaburi bawang putih goreng dan kecambah.
Sementara itu, chai pau adalah sejenis makanan ringan yang terdiri dari kulit dan isian dan dikukus; mirip dengan makanan-makanan yang bisa ditemui di restoran dim sum. Kulit chai pau terbuat dari ubi dan isiannya biasanya terdiri dari bengkoang, wortel dan buncis. Popiah sendiri mengingatkan saya dengan lumpia dari Semarang. Perbedaannya, isian popiah cukup berbeda dengan lumpia Semarang, yaitu bengkoang, wortel, daun ketumbar, kecambah, dan rebung.
Ibarat belajar kosa kata baru, di akhir kunjungan saya di Medan, saya merasa mendapat tabungan ‘rasa’ baru dalam kamus kuliner Indonesia. Saya pikir masakan yang berakar dari beberapa diaspora di Indonesia layak untuk mendapatkan sorotan, karena karakter kulinernya memperlihatkan betul perkawinan budaya yang semarak. []
Editor: Nuran Wibisono