Menuju konten utama

Menjaga Rumah Bubungan Tinggi Warisan Budaya Banjar

Rumah adat Banjar makin jarang ditemui seiring laju zaman. Rumah Bubungan Tinggi di Teluk Selong Ulu tetap jadi kebanggan orang Banjar.

Menjaga Rumah Bubungan Tinggi Warisan Budaya Banjar
Header Mozaik Rumah Tradisional Banjar. tirto.id/Ecun

tirto.id - Masyarakat Banjar punya banyak jenis rumah tradisional. Di wilayah Kalimantan Selatan yang menjadi basis komunitas ini, sebutan “rumah Banjar” mengacu pada beragam tipe rumah tradisional yang bentuk dan fungsinya berbeda-beda seturut strata sosial dan ekonomi penghuninya.

Namun, rumah-rumah adat berarsitektur vernakular ini semakin jarang ditemui. Pasalnya, masyarakat Banjar kini—juga di mana pun—lebih lazim membangun rumahnya dari semen dan bata. Demikianlah perkembangan zaman.

Rumah tradisional Banjar umumnya berbentuk panggung dengan bahan utama kayu ulin. Seiring zaman berkembang, material kayu ulin dirasa lebih rentan terhadap kerusakan—baik karena faktor ulah manusia, cuaca, maupun faktor biologis.

Menilik kecenderungan ini, upaya pelestarian rumah tradisional Banjar tentu amat mendesak dilakukan. Karenanya pula, sebuah rumah adat Banjar yang terletak di Jalan Martapura Lama, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar punya posisi istimewa.

Terlebih, rumah adat itu bertipe bubungan tinggi—tipe yang tak bisa dihuni oleh sembarang orang.

Seturut peribahasa Banjar, “Bubungan tinggi wadah raja-raja, palimasan wadah emas-perak, balai laki wadah penggawa mantri, balai bini wadah putri gusti-gusti, gajah manyusu wadah nanang-nanangan atau gusti nanang.”

Selain menjadi rumah bagi raja-raja Banjar, menurut Wafirul Aqli dalam “Anatomi Bubungan Tinggi Sebagai Rumah Tradisional Utama dalam Kelompok Rumah Banjar” (terbit di jurnal Nalar, vol. 10 (1), 2011), rumah bubungan tinggi juga merupakan representasi budaya Banjar dan Kalimantan Selatan secara umum.

Rumah Bubungan Tinggi juga merupakan jenis rumah Banjar yang paling tua,” tulis Aqli dalam studinya.

Cerminan Adaptasi Orang Banjar

Seturut informasi dari platform kebudayaan Indonesiana, rumah bubungan tinggi mendapat namanya dari ciri khas atap pelananya yang menjulang tinggi dan lancip dengan membentuk sudut sekitar 45 derajat.

Aqli menyebut bahwa atap menjulang itu merupakan perlambang pohon hayat. Ia juga menyimbolkan payung sebagai tengara kebangsawanan. Pada zamannya, raja memang lazim menggunakan payung kebesaran di hadapan publik.

Rumah adat bubungan tinggi pada mulanya hanya dibangun dengan denah persegi panjang. Seiring zaman berkembang, ia disumbi atau ditambahi bangunan sayap di bagian samping kiri dan kanan agak di belakang.

Dalam tradisi Banjar, bangunan sayap tambahan semacam itu dikenal dengan istilah pisang sasikat alias pisang sesisir. Ia juga biasa disebut sebagai anjung’. Karenanya, rumah adat ini juga disebut dengan nama rumah baanjung.

Ira Mentayani dan Dila Nadya Andini dalam “Tipologi dan Morfologi Arsitektur Suku Banjar di Kalsel(terbit di jurnal Info Teknik, vol. 8 (2), 2007) menjelaskan bahwa berbagai tipe rumah Banjar umumnya punya pembagian ruang yang sama. Tak hanya sekadar nama, fungsinya pun mirip.

Meski begitu, rumah bubungan tinggi punya beberapa ruang khusus, di antaranya adalah ruang panampik kacil, panampik panangah, dan panampik bawah. Ketiga ruangan ini berkait dengan fungsi sosial khusus, seperti penerimaan tamu terhormat atau tempat menggelar hajatan atau kenduri.

Ketiga ruangan ini umumnya tidak dimiliki oleh jenis rumah tradisional lain. Alasannya tentu berkait dengan status tinggi pemilik rumah bubungan tinggi ini.

Hal ini kemungkinan disebabkan fungsi ruang tersebut lebih cocok bagi tipe Bubungan Tinggi (dihuni oleh raja atau pangeran) yang menuntut fungsi ruang tersebut ada, sedangkan pada tipe-tipe lainnya kegiatan yang ada tidak seformal pada tipe Bubungan Tinggi sehingga ruang-ruang tersebut tidak diadakan,” tulis Ira dan Dila.

Rumah bubungan tinggi juga merupakan cerminan adaptasi masyarakat Banjar atas lingkungan mereka. MenurutWafirul, struktur rumah bubungan tinggi yang dibuat panggung merupakan adaptasi atas kondisi lahan rawa pasang surut.

Lingkungan berawa juga tidak memungkinkan adanya halaman rumah. Karenanya, rumah bubungan tinggi memiliki ruang terbuka tanpa dinding dan beratap sebagian yang disebutpalataran sebagai pengganti halaman.

Bentuk adaptasi lain adalah penggunaan material kayu yang diambil dari alam sekitarnya. Rumah bubungan tinggi—juga tipe rumah lainnya—lazim dibangun dengan material kayu ulin, kayu galam, kayu lanan, kayu damar putih, bambu, juga daun rumbia.

Dengan kekayaan akan bahan kayu yang dimiliki tanah Kalimantan, maka bangunan rumah Banjar khususnya Bubungan Tinggi didominasi oleh hasil alam tersebut,” tulis Wafirul dalam studinya.

Tak hanya itu, penelitian Ira Mentayani yang lain juga mengungkap bahwa keletakan rumah-rumah tradisional orang Banjar juga berkait dengan “budaya sungai”. Pola pemukiman orang Banjar mengikuti alur sungai atau pesisir karena di situlah urat nadi aktivitas mereka.

Situs Rumah Bubungan Tinggi Teluk Selong Ulu adalah bukti akan hal itu. Situs rumah ini berada di tepian sungai, tepatnya Sungai Martapura. Dari nama daerah tempatnya berdiri pun kita dengan cepat bisa mengasosiasikannya dengan lingkungan air.

Penggunaan nama teluk, anjir, sei, dan juga nama-nama lainnya yang masih berhubungan dengan air/sungai/laut dalam penyebutan nama daerah diindikasi merupakan bagian dari memori kolektif masyarakat di daerah Kalimantan Selatan. [...] Bukti-bukti tradisi ini merupakan warisan bentuk kehidupan yang sudah muncul sejak sebelum berdirinya Kerajaan Banjar,” tulis Ira dalam “Analisis Asal Mula Arsitektur Banjar: Studi Kasus Arsitektur Tradisional Rumah Bubungan Tinggi” (terbit di jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, vol. 10 (1), 2008).

Infografik Mozaik Rumah Tradisional Banjar

Infografik Mozaik Rumah Tradisional Banjar. tirto.id/Ecun

Situs Teluk Selong Ulu

Situs Rumah Bubungan Tinggi di Teluk Selong Ulu merupakan salah satu rumah tradisional Banjar yang berhasil diselamatkan melalui pemugaran. Rumah Bubungan Tinggi itu merupakan satu dari sedikit situs bersejarah yang tersisa di Kabupaten Banjar.

Teluk Selong Ulu dulunya adalah bekas pusat Kesultanan Banjar. Sebelum 1912, namanya adalah Kayu Tangi. Adalah Sultan Musta’in Billah (berkuasa 1595-1642) yang memindahkan keratonnya dari Banjarmasih ke Kayu Tangi pada 1612 gara-gara serangan armada VOC.

Seturut studi Hartatik yang terbit di jurnal Naditira Widya (vol. 10 (2), 2016), arsitektur rumah-rumah tradisional Banjar diperkirakan muncul saat kesultanan ini diperintah oleh Sultan Sulaiman Al-Mutamidullah di awal 1800-an. Ada pula versi lain yang menyebut ia telah eksis sejak Suriansyah—sultan pertama Kesultanan Banjar—berkuasa pada pertengahan abad ke-16.

Namun, karena pengaruh perang dan faktor alami, rumah-rumah Banjar dari era itu nyaris tak tak bersisa. Kebanyakan rumah-rumah tradisional Banjar yang masih eksis—dan dilindungi—kini berasal dari era setelah runtuhnya Kesultanan Banjar pada 1860.

Sejak saat itu, pembangunan rumah bubungan tinggi bukan lagi monopoli raja dan pangeran.

Terkait hal ini, Wafirul Aqli dalam studinya menulis, “Pada perkembangannya Bubungan Tinggi menjadi bentuk rumah yang paling banyak diadopsi (karena kemegahan dan prestisenya) dalam hunian-hunian biasa yang dimiliki oleh warga non-keturunan raja yang cukup berada secara ekonomi.”

Rumah Bubungan Tinggi di Teluk Selong Ulu pun bukanlah tinggalan Kesultanan Banjar. Seturut laman Indonesiana, rumah bersejarah ini diperkirakan berdiri sejak 1867. Pendirinya adalah saudagar kaya bernama Haji Muhammad Arif.

Meski begitu, Rumah Bubungan Tinggi di Teluk Selong Ulu tentu tetap bernilai sebagai cagar budaya. Bagaimana pun ia adalah representasi dari budaya masyarakat Banjar.

Dalam penelitiannya, Hartatik mencatat bahwa masyarakat Banjar masih mengapresiasi eksistensi rumah tradisional Banjar. Betapa pun mereka tak lagi mengaplikasikan model rumah tradisional untuk hunian pribadi karena satu dan lain sebab.

Terkhusus situs Bubungan Tinggi di Teluk Selong Ulu, mereka juga merasa situs itu perlu dilestarikan sebagaimana bentuk aslinya. Pasalnya, situs itu menjadi kebanggaan karena ciri khas arsitektur Banjar yang dimilikinya.

Pada sisi lain, rasa khawatir juga muncul seiring ramainya pengunjung yang berperilaku kurang baik,” tulis Hartatik.

Baca juga artikel terkait BANJAR atau tulisan lainnya dari Ary Sulistyo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ary Sulistyo
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi