tirto.id - Membicarakan sejarah Nusantara tentu tidak bisa tidak menyebut Majapahit. Kerajaan yang berpusat di Jawa Timur ini sering kali dirujuk sebagai inspirasi—sebuah kerajaan yang kebesaran dan kegemilangannya diharap bisa diulang di masa kini.
Meski kekuatan dan pengaruh politik riil Majapahit masih menjadi perdebatan para ahli, Majapahit terang telah mencapai tingkat kebudayaan yang tinggi pada masanya. Berdiri selama dua abad lebih (1293-1527), kerajaan yang didirikan oleh Sanggrama Wijaya ini meninggalkan tengara-tengara budaya yang tersebar luas di Jawa Timur.
Yang langsung dapat ditengok adalah candi-candi bercorak Hindu-Buddha. Beberapa candi tersebut antara lain, Candi Panataran di Blitar, Candi Jabung di Probolinggo, Candi Tikus, Candi Brahu, Gapura Bajang Ratu, dan Gapura Wringin Lawang di Mojokerto.
Lain itu, Majapahit masih mewariskan pada kita serbaneka prasasti, kakawin, dan bahkan reruntuhan kota kuno yang spektakuler. Yang disebut terakhir ini dapat kita telusuri jejaknya di Kecamatan Trowulan, Mojokerto.
Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 260/M/2013 tentang Satuan Ruang Geografis Trowulan Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional, disebutkan bahwa kawasan Trowulan memiliki tinggalan yang amat variatif, mulai dari candi, gapura, kolam, waduk, jaringan kanal, unsur bangunan, ribuan peralatan rumah tangga dari terakota, dan keramik.
Banyaknya temuan arkeologis yang didapatkan dari Trowulan membuat situs ini istimewa.
“Situs Trowulan adalah satu-satunya contoh situs dari masa Hindu-Buddha yang sisa-sisa pemukimannya masih dapat kita lihat sekarang (bandingkan dengan sejumlah situs-kota yang sampai saat ini masih belum diketahui seperti dari kerajaan masa Hindu-Buddha lain),” tulis tim peneliti Universitas Indonesia yang dipimpin Mundardjito dalam “Pemukiman Masa Majapahit di Situs Trowulan, Mojokerto” (1998, hlm. iv).
Terkuak di Masa Raffles
Eksistensi Trowulan sebagai kawasan arkeologis dimulai sejak awal abad ke-19. Lebih tepatnya, ketika Inggris menguasai Jawa di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Informasi-informasi awal tentang temuan arkeologis di Trowulan dilaporkan oleh Letnan H.G. Jourdan pada 1813. Bagian laporan itu dikutip oleh Amrit Gompers, Arnoud Haag, dan Peter Carey dalam “Mapping Majapahit: Wardenaar’s Archaeological Survey at Trowulan in 1815” yang dimuat jurnal Indonesia (Vol. 93, 2012, hlm. 178).
“Kawasan ini sekarang menjadi hutan bambu yang lebat. Dari reruntuhan kota ini ditemukan beberapa arca yang jadi bukti ketinggian budayanya. Masih ada pula sisa-sisa bangunan yang tampaknya merupakan konstruksi Hindu. Masyarakat sekitar tidak mengetahui mengenai tinggalan itu tapi mereka yakin jika tinggalan itu memiliki kekuatan gaib,” demikian tulis Letnan Jourdan.
Dua tahun kemudian, Raffles mengirim seorang juru survei militer untuk menindaklanjuti laporan Letnan H.G. Jourdan tersebut. Dialah Kapten Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar.
Seperti halnya Borobudur atau Prambanan, reruntuhan kuno di Trowulan sebenarnya tidaklah benar-benar hilang dari sejarah dan baru ditemukan saat itu. Namun, Kapten Wardenaar bisa dikatakan sebagai orang pertama yang melakukan survei dan penelitian sistematis di bekas kota era Majapahit itu.
“Menurut tanggal pada gambar-gambarnya, Wardenaar berada di Trowulan antara 5-7 Oktober 1815. Namun, dia pasti menghabiskan waktu setidaknya beberapa minggu untuk mensurvei kawasan Trowulan yang luas,” tulis Gompers dkk.
Dari surveinya, Wardenaar berhasil menghasilkan peta, legenda peta yang berisi deskripsi singkat dari monumen yang ditemukan, dan beberapa gambar situasi.
Insinyur militer yang cakap berbahasa Jawa ini kemudian mengirim semua berkas aslinya kepada Raffles pada akhir 1815. Dia sendiri tidak tidak menyimpan salinan petanya. Sayang sekali, peta kawasan bikinan Wardenaar ini kemudian dianggap hilang.
Yang tersisa dan sampai pada kita adalah salinan legenda peta dan tiga lembar gambar goresan Wardenaar sendiri yang diserahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1879.
Teks legenda dan catatan Wardenaar yang tertera pada gambar-gambarnya kemudian diterbitkan oleh insinyur pertambangan dan pelopor vulkanologi modern Hindia Belanda Rogier Verbeek.
Mendorong Riset Lanjutan
Kapten Wardenaar merupakan seorang juru survei militer yang cakap. Dia telah beberapa kali terlibat dalam survei terhadap tinggalan Hindu-Buddha. Sebagai seorang ahli survei dan pembuat peta, Wardenaar mempunyai keunggulan dibanding kolega dan bahkan arkeolog masa itu.
“Wardenaar memiliki kelebihan dibandingkan Raffles atau beberapa pensurvei lain, yakni ia memiliki kemampuan untuk berbahasa Jawa, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di sekitar reruntuhan Trowulan," tulis Adrian Perkasa dalam “Majapahit di Antara Dua Penguasa Kolonial: Inggris dan Belanda” yang terbit dalam bunga rampai Sandhyakala Ning Majapahit, Pembelajaran dari Pasang Surut Kerajaan Majapahit (2021, hlm. 43).
Dalam laporan surveinya, Kapten Wardenaar menyebut beberapa ragam tinggalan purbakala yang berhasil dia temukan selama berada di Trowulan. Di antaranya Makam Putri Champa, Kolam Segaran, beberapa candi, reruntuhan bangunan yang diduga istana, alun-alun, beberapa arca, serta dua gapura (kini dinamai Wringinlawang dan Bajangratu).
Salah satu tengara yang unik dalam temuan Wardenaar adalah struktur yang dia identifikasi sebagai reruntuhan kediaman Patih Gajah Mada. Reruntuhan ini berada di sekitar Gerbang Wringinlawang.
“Dari interpretasi topografi atas deskripsi Prapanca tentang Majapahit di Nagarakrtagama, kami menyimpulkan bahwa kediaman Gajah Mada terletak di dekat Candi Wringinlawang,” tulis Gompers dkk.
Seturut penelusuran Sugeng Riyanto dalam “Trowulan sebagai Historic City: Mengkonstruksi Citra Melalui Pengelolaan Informasi” dalam jurnal Berkala Arkeologi (Vol. 24, No.1, 2004), Wardenaar tidak hanya sekali itu meneliti Trowulan.
Pada 1889, Wardenaar kembali mengunjungi kawasan Trowulan. Kali ini, tujuan utamanya adalah membuat denah dan gambar-gambar pendukung untuk merekonstruksi keraton Majapahit.
Wardenaar pun dikenal sebagai pelopor untuk penelitian arkeologi yang lebih serius terhadap kawasan Trowulan.
“Sejak Wardenaar, […] dorongan untuk meneliti situs ini semakin besar, bahkan hingga saat ini. […] Bukan hanya itu, kegiatan arkeologis yang lain, yaitu konservasi, juga terus dilakukan, juga hingga saat ini,” tulis Riyanto.
Riyanto mencatat pula beberapa ilmuwan yang turut meneliti kawasan Trowulan selama masa Kolonial. Di antaranya adalah dua riset lapangan penting yang dilakukan oleh Henry Maclaine Pont. Pada 1924, Pont menyusuri Trowulan untuk melakukan rekonstruksi keraton dan kota Majapahit berdasarkan kakawin Nagarakrtagama.
Pada tahun ini, berdiri pula Oudheidkundige Vereeniging Majapahit. Lembaga ini dibuat untuk fokus melakukan riset terhadap situs-situs tinggalan Majapahit sekaligus melakukan konservasi.
Pont kembali lagi pada 1926. Kali ini, dia mendata 18 waduk besar tinggalan Majapahit di seantero Mojokerto.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi