Menuju konten utama

Menjadi Sakit dari Limbah Berbahaya dan Beracun Rumah Sakit

Pengangkutan limbah medis secara ilegal dari rumah sakit ke pengepul sudah pasti tidak melalui proses pemilahan dan pengolahan terlebih dulu.

Menjadi Sakit dari Limbah Berbahaya dan Beracun Rumah Sakit
Tumpukan sampah medis berbahaya dan beracun (B3) di tempat pembuangan sementara Panguragan Wetan, Kab. Cirebon, Jawa Barat, Kamis (7/12/2017). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

tirto.id - Kasus gundukan limbah medis di sebuah desa di Cirebon, Jawa Barat, adalah anomali karena dalam aturan kesehatan dan lingkungan, sampah medis perlu perlakuan khusus, salah satunya: tak boleh begitu saja diparkir ke tempat pembuangan akhir sampah.

Menurut aturan kesehatan dan lingkungan di Indonesia, limbah rumah sakit kategori berbahaya dan beracun (B3) seharusnya dimusnahkan dengan cara dibakar, atau bisa pula dicacah tanpa bentuk semula demi menghindari pemakaian ulang.

Keputusan menteri kesehatan pada 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit menyatakan sampah dalam kategori limbah rumah sakit adalah semua "buangan" dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas.

Limbah padat merujuk jaringan tubuh manusia seperti organ tubuh, janin, darah, muntahan, urin, dan lain-lain. Ada juga limbah benda tajam, limbah farmasi, dan limbah sitotoksis (dari sisa obat pelayanan kemoterapi) yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup.

Selain itu ada limbah kimiawi, limbah yang mengandung logam berat tinggi, dan limbah radioaktif. Terakhir, limbah infeksius atau terkontaminasi organisme patogen. Jenis limbah ini dapat menularkan penyakit pada manusia yang daya kekebalan tubuhnya lemah.

Limbah-limbah ini dipisahkan dalam ragam warna kantong sampah. Hitam untuk limbah domestik dan kuning untuk limbah medis infeksius dan sitotoksik. Limbah kimia atau farmasi dalam kantong plastik coklat, dan limbah radioaktif dalam kantong merah.

Sayid Muhadar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menangani pengelolaan limbah B3 dan limbah non-B3, mengatakan pengolahan limbah medis berpedoman pada peraturan kementerian tahun 2015. “Limbah yang mengandung virus bakteri dan seterusnya tidak melebihi 1x24 jam harus dimusnahkan,” katanya.

Pemusnahan limbah medis bisa dengan dua cara. Pertama adalah pembakaran melalui insinerator atau sterilisasi dengan uap air desinfektan lewat metode pemanasan. Standarnya sudah diatur dalam keputusan menteri kesehatan tahun 2004. Ketentuannya: suhu minimum antara 1.000 dan 1.200 derajat celsius agar virus bisa terbakar dan limbah patologi tak menguarkan bau saat dibakar. Proses ini macam kremasi pada mayat. Pengawasannya dilakukan secara berkala saban tiga bulan sekali dan setahun sekali.

“SK untuk insinerator setiap 5 tahun sekali harus diperiksa secara berkala. Apabila ada permasalahan, kami akan mengevaluasi kembali,” kata Sayid.

Untuk limbah medis non-infeksius (tidak menular), prosedurnya tidaklah wajib dibakar tapi harus dikelola dengan disinfektan dan dicacah lebih dulu dari rumah sakit. Tujuannya agar tidak disalahgunakan dalam bentuk utuh. Sampah medis yang sudah dicacah ini bisa dijual kembali untuk tujuan ekonomi dan ekologi.

Cacahan limbah medis adalah bisnis legal yang ditangkap salah satunya oleh Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia. Limbah-limbah seperti jarum suntik, botol infus, jeriken, dan selang biasa dibeli Asosiasi dalam bentuk cacahan.

“Kami hargai Rp3 ribu - Rp4 ribu per kilo cacahan limbah. Tapi, kalau luar daerah Jawa seperti Sulawesi biasa Rp2.000 karena dibawa lagi ke Jawa jadi ada biaya transportasi,” kata Saut Marpaung dari Asosiasi.

Namun, jika rumah sakit enggan repot mencacah atau mengeluarkan biaya untuk membeli mesin insinerator, sampah-sampah medis ini bisa disalurkan lewat skema pihak ketiga untuk dibakar. Pihak ketiga mengumpulkan limbah-limbah dari beragam rumah sakit guna dibakar bersama. Syaratnya: pihak ketiga harus mengantongi surat izin dari kementerian lingkungan hidup.

Adapun izin pengolahan limbah cair yang berbahaya dan beracun sudah dialihkan ke pemerintah daerah sesuai peraturan kementerian lingkungan hidup tahun 2016 tentang baku mutu air limbah. Mutu lingkungan dan sanitasi di rumah sakit dapat dikelola dengan membuat instalasi pengolah air limbah yang bertujuan dapat menghasilkan air limbah ramah lingkungan.

Infografik Pengelola limbah RS

Limbah Rumah Sakit Berisiko Menular

Pengangkutan limbah medis secara ilegal dari rumah sakit ke pengepul—biasanya secara gelondongan seperti temuan kasus di Cirebon dan biasanya pula diangkut secara sembunyi-sembunyi—sudah pasti tidak melalui proses pemilahan dan pengolahan terlebih dulu.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) tahun 2015 menyebut sekitar 85 persen dari total limbah pelayanan kesehatan adalah limbah domestik. Sisanya adalah limbah berbahaya dan beracun (B3) yang bisa menular dan bersifat radioaktif.

Pada negara berpenghasilan tinggi, rata-rata menghasilkan 0,5 kg limbah B3 per ranjang pasien per hari. Sedangkan negara berpenghasilan rendah menghasilkan rata-rata 0,2 kg.

Di seluruh dunia, sekitar 16 miliar suntikan diberikan setiap tahun. Tapi tak semua jarum medis ditangani secara benar sehingga berisiko menyebarkan infeksi dan berpotensi dipakai lagi.

Pada 2010 suntikan non-higienis masih menyebabkan 33.800 infeksi HIV, 1,7 juta infeksi hepatitis B, dan 315.000 infeksi hepatitis C1 (menyerang hati). Seseorang yang memakai jarum suntik bekas pasien yang terinfeksi memiliki risiko 30 persen terinfeksi hepatitis B, 1,8 persen hepatitis C, dan 0,3 persen HIV.

Pengamatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 2015 terhadap 20-an rumah sakit di Jakarta menyimpulkan bahwa faktor biaya mahal menjadi salah satu penghambat pengelolaan limbah medis sesuai prosedur. Padahal 20-an rumah sakit ini membuang rata-rata sampah medis antara 140 kg - 400 kg per hari.

Di sisi lain, pengolahan limbah dengan pembakaran via mesin insinerator juga bukan keputusan yang tepat, menurut Walhi. Hasil emisi dari proses itu membentuk senyawa dioksin dan furan. Senyawa ini adalah kelompok bahan kimia tak berwarna dan tidak berbau. Molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen, dan klor. Proses pembakaran senyawa ini dapat menghasilkan gas metan berbahaya dan menimbulkan hujan asam.

“Mungkin secara kasat mata, volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan. Tapi, ketika dibuktikan secara kimiawi, hasil insinerasi menimbulkan banyak senyawa kimia yang sangat beracun,” kata Puput TD Putra, Direktur Walhi Jakarta, kepada Tirto

Dokter Edi Prasetyo, spesialis saraf dan neurologi, memastikan pemilahan limbah medis dapat memaparkan bahan-bahan berbahaya terhadap lingkungan sekitar. Penyebarannya bisa melalui kontak langsung dengan sentuhan maupun melalui udara. Padahal limbah-limbah ini membawa ragam virus, jamur, dan kuman yang kebal terhadap suhu tertentu dan mudah menyebar ke lingkungan melalui tanah dan udara.

“Apalagi jika pemilahannya tidak pakai perlindungan diri,” katanya kepada Tirto.

Virus, jamur, dan kuman memiliki waktu reaksi berbeda. Ada yang langsung bereaksi saat menemukan inang, ada juga yang butuh waktu. Lama reaksi bergantung jenis paparan dan kekebalan tubuh seseorang. Sementara limbah pantogen, seperti potongan tubuh atau darah, jika membusuk jelas dapat menimbulkan bau dan penyakit.

Rumah sakit memang memiliki tugas utama sebagai institusi pelayanan kesehatan. Namun, ketika pembuangan limbah medis mereka dinomorduakan, sudah barang tentu rumah sakit malah jadi sumber penularan penyakit.

Baca juga artikel terkait LIMBAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam