Menuju konten utama

Menjadi Penonton di Industri Halal

Indonesia merupakan negara konsumen produk halal terbesar di dunia. Sayangnya, dari sisi produksi, Indonesia masih kalah dari negara tetangga. Salah satu permasalaha adalah tidak adanya dukungan untuk sertifikasi halal.

Menjadi Penonton di Industri Halal
Pramusaji menata makanan halal untuk delegasi pejabat tinggi saat pertemuan pejabat tinggi OKI di JCC, Jakarta. Antara foto/OIC/M Agung

tirto.id - Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Mengacu data BPS tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam mencapai 207 juta jiwa atau sekitar 87 persen. Dengan jumlah penduduk muslim yang sangat besar tersebut, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk produk halal.

Laporan State of The Global Islamic Economy Report 2015/2016 yang diterbitkan oleh Thomson Reuters bekerja sama dengan Dinar Standar menyatakan, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai konsumen produk makanan halal terbesar di dunia. Pengeluaran masyarakat Indonesia untuk makanan halal mencapai 157 miliar dolar pada 2014. Peringkat kedua dipegang oleh Turki dengan pengeluaran 109 miliar dolar dan Pakistan 100 miliar dolar.

Meski menjadi konsumen makanan halal terbesar di dunia, Indonesia ternyata masih belum mampu menjadi produsen utama. Indonesia ada di peringkat ke-10 dalam daftar negara produsen makanan halal terbesar dunia. Malaysia ada di peringkat pertama.

Dengan jumlah populasi muslim terbesar, harusnya pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan potensi tersebut sebagai pemasukan negara. Apalagi pendapatan ekonomi global pada 2014 mencapai 1,8 triliun dolar di sektor makanan dan penunjang gaya hidup. Potensi pendapatan di sektor ini ditargetkan meningkat pada 2020 yaitu mencapai 2,6 triliun dolar. Sedangkan, pendapatan di sektor perbankan syariah mencapai 1,35 triliun dolar pada 2014. Jumlah tersebut akan meningkat pada 2020, yaitu 2,6 triliun dolar.

Mengapa Indonesia begitu tertinggal dalam hal perkembangan pasar makanan halal, meski menjadi konsumen terbesar? Osmena Gunawan, Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-0batan dan Komestika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengatakan, besarnya permintaan produk halal di dunia tidak diiringi dengan dukungan pemerintah Indonesia.

“Bukan kurang dukungan tapi memang tidak ada dukungan (pemerintah-red). MUI yang bergerak sendiri dan pergerakan kita terbatas,” kata Osmena ketika ditemui di kantornya.

Berkebalikan dengan Indonesia, pemerintah Malaysia memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan industri halal. Negara serumpun tersebut mendukung sepenuhnya produk halal, baik dari pengembangannya, sosialisasi, dan produksi. Hal ini berdampak positif pada posisi Malaysia sebagai jawara tiga sektor produk halal yakni makanan halal, keuangan syariah dan travel halal. Sementara, farmasi dan kosmetik halal, Malaysia menduduki peringkat kedua di dunia.

Osmena menjelaskan bahwa produk halal di Indonesia memiliki sejumlah persoalan, antara lain terkait pembinaan, pelatihan, dan pendampingan kepada pelaku usaha. Sebagian besar produk UMKM di Indonesia merupakan usaha sampingan atau sambilan, jadi bukan usaha yang proporsional seperti perusahaan.

“Usaha sambilan itu, harusnya didukung serta komitmen pemerintah. Mereka kadang-kadang iseng, tapi hasilnya bagus dan potensi pasarnya ada. Karena itu perlu dukungan pemerintah,” kata Osmena.

Osmena mengklaim permasalahan utama pada pelaku usaha adalah belum sepenuhnya memahami pelaksanaan sertifikasi halal dan manfaatnya bagi mereka ke depan.

Dalam hal sertifikasi halal untuk UMKM ini, Osmena berpandangan inti permasalahan tidak terletak pada masalah anggaran. Beberapa daerah seperti Dinas UMKM DKI Jakarta memiliki anggaran besar untuk sertifikasi halal. Akan tetapi anggaran yang tersedia hanya terserap 20 persen.

Sementara itu, Kasubdit Produk Halal Kementerian Agama Siti Aminah mengatakan, untuk masalah sertifikasi halal, instansi pemerintah tidak akur. “Kita ini belum menyatu antar pemerintah, Kementerian Agama mau halal tapi Kementerian Kesehatan tidak mau,” kata Siti kepada tirto.id.

Sementara negara lain sudah lebih maju sertifikasi halal dibandingkan dengan Indonesia. Menurut Siti, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, dan Thailand lebih banyak sertifikasi halalnya. Perkembangan halal mendapatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, serta para akademisi karena memiliki dampak yang besar, yakni nilai tambah produk.

Indonesia saat ini memiliki sekitar 57 juta UMKM. Dari jumlah itu, yang mengantongi sertifikat halal masih sangat minim. Data MUI mengungkap, pada periode 2014-2015, lembaga tersebut hanya menerbitkan sertifikat halal nasional untuk 6.231 perusahaan dan UMKM. Sedangkan perusahaan luar negeri, MUI telah menerbitkan sertifikat halal sebesar 683 perusahaan. Artinya masih ada jutan UMKM yang belum melaksanakan sertifikasi halal.

Osmena mengatakan, untuk meningkatkan sertifikasi halal di Indonesia, pemerintah harus menyokong dan membina para UKM. Pasalnya, saat ini sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Maka, suka tidak suka, pemerintah harus siap menghadapi MEA dan harus bisa mengendalikan itu. “Sekarang, kalau kita enggak menahan (sertifikasi halal-red) dengan baik maka masyarakat Indonesia hanya sebagai konsumen saja,” ungkap Osmena.

Baca juga artikel terkait HALAL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti