tirto.id - Anda mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan pekerjaan? Mentok saat hendak merumuskan ide-ide presentasi? Tak sanggup menyelesaikan bagian penutup tulisan yang sudah dikerjakan berhari-hari? Jika demikian, Anda bisa mempertimbangkan satu hal: ayo jalan-jalan!
Peneliti Stanford University Graduate School of Education, Dr. Oppezzo dan Professor Daniel L. Schwartz, PhD., melakukan penelitian untuk membuktikan orang yang jalan-jalan memiliki sisi kreativ yang lebih baik.
"Kami ingin melihat apakah berjalan sederhana menyebabkan pikiran lebih bebas-mengalir dan kreatif,” ujar Schwartz seperti dikutip dari apa.org, Selasa (1/11/2016).
Penelitian yang melibatkan 176 mahasiswa yang terpilih secara acak ini mempergunakan dua kondisi untuk mencari tahu perbedaan tingkat kreatifitas seseorang: dalam kondisi duduk dan berjalan-jalan santai di dalam ruangan yang sudah difasilitasi dengan kursi, meja, dan audio rekam.
Masing-masing dibawa masuk ke dalam ruangan tersebut, masing-masing diberi tugas yang sama. Di dalam ruangan mereka menghadap dinding kosong. Selama beberapa detik mereka akan mendengar tiga kata yang disebutkan oleh tim peneliti, misalnya, “keju”, “tombol”, “novel”. Subyek lalu diberi instruksi untuk merespon kata-kata tersebut dalam waktu empat menit. Mereka harus menulis jawabannya ke dalam kertas kosong. Mereka harus menjawab hal-hal apa saja yang terkait dengan kata-kata kunci tersebut.
Metode pertama mereka menjawab sambil duduk di atas kursi dan menulis jawabanya di atas meja. Setelah itu, mereka diberi kesempatan untuk berjalan-jalan selama 30 menit di sekitar ruangan yang sama. Kemudian mereka kembali pada kertas kosong dan menuliskan hal-hal apa saja yang bisa mereka temukan selama 30 menit untuk menjawab pertanyaan yang sama.
"Meminta seseorang untuk mengambil kesempatan 30 menit berjalan untuk meningkatkan kreativitas, " kata Schwartz.
Hasilnya menakjubkan, 81-85 persen siswa yang mengikuti uji coba ini menunjukkan tingkat kreatifitas yang tinggi saat menjawab pertanyaan setelah berjalan-jalan dibandingkan sesi pertama yang menjawab sambil duduk. Dengan demikian, peneliti menyarankan agar siapa saja melakukan aktivitas jalan-jalan untuk menyegarkan pikirannya, sehingga kreativitasnya dapat mengalir kembali. Sebab, efek kreativitas yang terjalin dengan baik juga akan memungkinkan memperoleh efek baik dalam jangka panjang.
Berjalan kaki, tegas Schwartz, memiliki efek besar pada kreativitas. Sebagian besar peserta memperlihatkan peningkatan kreativitas yang amat kentara.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kreativitas bukanlah semata-mata kerja otak. Melulu menisbatkannya kepada otak itulah yang membuat duduk melamun berjam-jam dianggap sebagai kegiatan kreatif, mencari inspirasi, menggali ide-ide. Penelitian di atas memperlihatkan bahwa kreativitas bisa dihidupkan dengan menggerakkan anggota tubuh yang lain, tidak hanya memaksa otak berdenyut di dalam kepala.
Kreativitas bukan sesuatu yang serba halus, tak teraba, dan serupa wahyu. Kreativitas boleh jadi sesuatu yang sangat nyata, riil, yang bertaut dengan realitas, berkait dengan kenyataan. Salah satu kenyataan adalah manusia itu bertubuh, menubuh, karena melalui tubuhlah manusia merasakan dan mengendus dunia.
Berjalan kaki adalah cara tubuh kita berinteraksi dengan dunia, dengan alam, dengan segala kenyataan. Tubuh berinteraksi dengan udara yang bergerak, dengan suara yang berdengung-dengung, dengan bau-bau yang menyengat hidung.
Budaya Jalan-jalan
Socrates dikenal sebagai filsuf dengan penampilan fisik yang biasa saja, bahkan kadang dianggap buruk rupa, dan senang berpakaian sederhana, apa adanya. Ia sering mendatangi masyarakat Athena dengan berjalan tanpa alas kaki. Ia mengajak mereka berdiskusi macam-macam di berbagai tempat, di mana pun, di seantero Athena: pasar, pelabuhan, taman, amphitheater, agora, beranda rumah.
Socrates sering berjalan-jalan dan berinteraksi ke kota didasari rasa ingin tahu, siapa orang paling bijak di dunia ini? Socrates yang merasa tak bijak resah, ia berkeliling membuktikan kekeliruan anggapan tersebut. Ia datangi satu per satu orang-orang yang diangggap bijak oleh masyarakat pada saat itu. Ia pun mengajak mereka berdiskusi tentang berbagai masalah apa saja.
Ia menyebut metode berfilsafatnya sebagai metode bidan. Ia beranalogi seorang filsuf sama dengan bidan yang membantu kelahiran seorang bayi. Seorang filsuf, bagi Socrates, adalah orang yang membantu kelahiran ilmu pengetahuan dan itu dilakukan melalui dialog, diskusi, ngobrol-ngobrol, sambil berdiri, kadang bahkan sambil berjalan-jalan. Metodenya kadang seperti ini: seseorang -- katakanlah Socrates -- berbicara sambil berjalan, dan orang satunya lagi mendengarkan lalu balik bertanya (juga sembari berjalan).
Aristoteles, murid Plato, juga kerap menggunakan metode ini dan bahkan di kemudian hari menjadi nama bagi akademi yang melanjutkan pemikiran-pemikiran Aristoteles: Akademi Peripatos. Nama itu berasal dari ”peripatoi” yang berarti “tiang-tiang”, merujuk lokasi tempat pertemuan Aristoteles dengan murid-muridnya. Di kemudian hari, “peripatoi” menjadi “peripatetikos” yang merujuk tindakan berjalan-jalan, dan/atau "bergerak", berkeliling, atau berjalan di sekitar. Perubahan ini ditengarai sebagai dampak dari kebiasaan Aristoteles yang kerap mengajar atau berdiskusi, dengan murid-muridnya sembari berjalan-jalan.
Barangkali Socrates adalah salah satu sosok yang pada abad 19 dikenal dengan sebutan flaneur. Flaneur terkenal di Perancis, sebagai istilah untuk menandai orang-orang yang punya kebiasaan jalan-jalan, keluyuran, tanpa tujuan pasti. Orang-orang yang punya kebiasaan ini rata-rata orang-orang yang berada di dalam lingkup kaum cendekia, filsuf, penulis, fotografer, pelukis, atau seniman. Kebiasaan jalan-jalan mereka dihubung-hubungkan dengan dorongan untuk memperoleh inspirasi.
Konsep flaneur ini sebenarnya dilahirkan oleh Charles Baudelaire, namun Walter Benjamin-lah yang membawa konsep ini ke dalam diskursus akademik sehingga dikenal luas. Flaneur dirujuk sebagai salah satu ciri kebudayaan urban, modernisme, dan urbanisme.
Flaneur merupakan istilah untuk menyebut sosok-sosok modern di dunia urban yang dianggap sangat menyadari kesibukan kehidupan modern. Ia kerap dianggap juga sebagai pengamat amatir atau bahkan penyidik kota karena kerjaannya yang suka menelisik bagian-bagian kota tanpa tujuan pasti, namun pada titik tertentu orang-orang ini menemukan sesuatu dan membangkitkan temuan itu ke dalam karya. Meskipun demikian, kaum flaneur ini dianggap pula sebagai tanda kapitalisme menguasai kota.
Flaneur, ujar Benjamin, menghasilkan karya-karya yang bisa menjadi alternatif cara pandang dalam melihat kondisi kehidupan modernitas-urban, ketegangan kelas, kapitalisme, konsumerisme, dan lain sebagainya. Fenomena flaneur ini, bagi Benjamin, amat kentara dalam karya-karya Baudelaire yang nyaris sepenuhnya berbicara tentang Paris, Parisiens (orang-orang Paris), dengan segala dinamika dan pernak-perniknya.
Salah satunya penggalan puisi berikut ini:
On voit un chiffonnier qui vient, hochant la tête,
Butant, et se cognant aux murs comme un poète,
Et, sans prendre souci des mouchards, ses sujets,
Epanche tout son coeur en glorieux projets.
(Kami melihat pemuda tanggung yang datang, mengangguk,
Tersandung dan menabrak dinding seperti seorang penyair,
Dan tanpa mengurus mata-mata, rakyatnya,
Menuangkan seluruh hatinya dalam proyek-proyek yang mulia)
Charles Baudelaire: ‘Le Vin de Chiffonniers’ (‘The Ragpicker’s Wine’)
Baudelaire merupakan penyair Perancis dan dikenal pula sebagai penerjemah yang memiliki pengaruh mendalam pada kesusastraan Prancis. Penyair yang lahir pada 1821 ini telah meninggalkan sederet puisi untuk dunia sastra. Puisi-puisi Baudelaire banyak menggambarkan situasi kota, seperti yang tertera dalam puisi berjudul ‘Le Vin de Chiffonniers’ (‘The Ragpicker’s Wine’) di atas.
Menurut Benjamin, peran flaneurie atau orang-orang yang punya kebiasaan jalan-jalan tak jelas ini bisa memberikan 'jeda', sebuah eksplorasi intelektual ide-ide dan gaya hidup yang berbeda. Di abad kedua puluh bar, dan kafe di Perancis dihuni oleh kaum flaneur ini. Merekalah yang disebut sebagai bunga-bunga di atas aspal -- bukan di taman, hutan atau gunung, melainkan di atas aspal, di trotoar jalan-jalan di kota.
Menjadi bunga-bunga di atas aspal dengan berjalan-jalan, keluyuran tak tentu, sembari menangkap dan menghayati dunia yang bergerak cepat, juga penuh paradoks. Dari sanalah ide-ide ditangkap, diolah, lalu dituangkan ke dalam karya, melalui kerja-kerja kreatif.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Zen RS