tirto.id - Di penghujung 2023, rupiah menjadi kado manis setelah berhasil menunjukan keperkasaannya. Dalam penutupan pasar Jumat (29/12/2023), mata uang Garuda berhasil menguat 18 poin dari level Rp15.417 sebelumnya, menjadi Rp14.399 per dolar AS.
Jika diperhatikan, sejak awal tahun hingga di akhir 2023, rupiah sulit beranjak dari level psikologisnya di kisaran Rp15.000. Faktor sentimen global maupun domestik mewarnai perjalanan rupiah sepanjang tahun ini.
Hampir selama periode 2023, pergerakan rupiah jauh panggang dari api. Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, rupiah ditargetkan pemerintah berada di sekitar Rp14.750 per dolar AS. Namun terjadi perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Rupiah disesuaikan kembali menjadi Rp14.800 per dolar AS.
“Sebelum rupiah mengalami pelemahan, pemerintah sudah mengetahui bahwa kondisi global ini akan berpengaruh terhadap anggaran belanja negara, sehingga disesuaikan asumsinya,” ujar Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, saat dihubungi Tirto.
Sayang, pada kenyataannya rupiah justru tersungkur lebih dalam, jauh dari proyeksi. Mata uang Garuda melemah dan sering bertengger di atas Rp15.000 per dolar AS. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI) pada 2 Januari 2023, rupiah berada di kisaran Rp15.572. Rupiah sempat menguat di akhir Januari, namun tak bertahan lama.
Pergerakan fluktuatif nilai tukar rupiah sepanjang 2023, tidak terhindarkan dari melambatnya ekonomi akibat perang antara Rusia-Ukraina. Titik ini menjadi awal pelemahan rupiah.
Kondisi geopolitik menyebabkan terjadinya sanksi-sanksi ekonomi terhadap Rusia. Rusia kemudian berbalik memberikan sanksi kepada AS dan Eropa yang membuat indeks dolar saat itu menyentuh level tertingginya.
“Ini yang membuat rupiah ini berfluktuatif kemudian mengalami pelemahan dan bahkan waktu itu hampir mendekati di Rp16.000 tetapi turun lagi karena ada intervensi dari Bank Indonesia,” ujar Ibrahim.
BI memang melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas) dan pasar sekunder untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah. Selain itu, BI juga mengoptimalkan instrumen moneter SRBI, SVBI, dan SUVBI yang pro-market. Ini dilakukan dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik portfolio inflows.
“Kemarin-kemarin pada saat bank sentral menaikkan suku bunga, kemudian rupiah mengalami pelemahan. Di situlah cadangan devisa kita sedikit mengalami penurunan,” ujar dia.
Berdasarkan data BI, posisi cadangan devisa memang terus mencatatkan penurunan sejak Maret dan baru kembali tumbuh positif pada November.
Penurunan tersebut dipengaruhi pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Ini sebagai langkah antisipasi dampak rambatan sehubungan dengan semakin meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Tapi, bagi Ibrahim, penurunan ini adalah hal wajar. Karena kondisi arus modal asing bergeser ke AS lantaran suku bunga Federal Reserve atau The Fed naik tinggi dibandingkan negara-negara lain. Ada pun saat ini, suku bunga acuan The Fed berada di posisi 5,25 persen – 5,50 persen.
“Tetapi mendekati di Desember pada saat bank sentral AS mau menurunkan suku bunga di tahun 2024 ini yang membuat arus modal asing itu tidak kembali masuk [ke sana], ucap dia.
Sebab dan Akibat
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai ada beberapa sentimen yang mendominasi pergerakan nilai tukar rupiah, yakni kebijakan suku bunga Negeri Paman Sam dan tensi geopolitik.
Kebijakan arah suku bunga The Fed hingga Oktober 2023 cenderung agresif dengan disokong oleh data ekonomi AS yang solid. Ini membuat investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya pada aset dengan denominasi dolar AS.
Selain itu, meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah juga mendorong penguatan dolar pada bulan Oktober yang lalu. Meskipun demikian, dalam dua bulan terakhir ini, rupiah cenderung bergerak stabil setelah The Fed mempertahankan suku bunganya dan bahkan memberi sinyal untuk pemangkasan.
“Tensi geopolitik antara Israel dan Hamas pun juga cenderung menurun sehingga mendukung apresiasi mata uang Asia termasuk rupiah hingga saat ini,” ujar dia kepada Tirto.
Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan pelemahan rupiah sepanjang 2023 disebabkan karena surplus perdagangan makin tidak berkualitas.
Kinerja ekspor non migas anjlok 9,76 persen secara tahunan. Sementara rupiah tidak mampu menahan keluarnya dana asing dari bursa saham dan pasar surat utang.
“Fed rate yang naik agresif menyebabkan dana asing keluar Rp26,8 triliun dalam bentuk penjualan bersih saham dibanding posisi desember tahun lalu,” ujar Bhima kepada Tirto.
Argumentasi Bhima selaras dengan studi yang dilakukan Willem Thorbecke berjudul The Weak Rupiah: Catching The Tailwinds and Avoiding The Shoals.”
Hasil studi Willem menyebutkan bahwa pasar modal Indonesia sangat sensitif atas pergerakan rupiah terhadap dolar AS, di mana depresiasi 1 persen mengakibatkan penurunan sebesar 0,91 persen pada tingkat pengembalian saham agregrat.
Lebih lanjut, situasi geopolitik mulai dari berlanjutnya perang Ukraina dan perang Israel-Palestina juga timbulkan ketidakpastian bagi investor global di pasar indonesia. Efek pelemahan rupiah terlihat dari semakin mahalnya harga pangan terutama yang bergantung impor seperti beras dan gula.
“Selain itu pelemahan rupiah juga menyebabkan beban biaya impor bagi perusahaan naik tajam. Sementara cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah makin membebani anggaran,” ujar dia.
Di satu sisi, sejatinya pelemahan rupiah diharapkan dapat mendongkrak ekspor. Pasalnya, ketika terjadi depresiasi, maka harga barang impor akan menjadi lebih murah. Ambil contohnya, pemerintah Cina yang pernah sengaja melemahkan mata uangnya, yuan, untuk mendongkrak ekspor produk manufaktur mereka.
Namun, sayangnya asumsi ini tidak berlaku. Merujuk studi oleh Willem, hampir setengah produk ekspor Indonesia adalah produk primer (bahan baku), yang menggunakan denominasi mata uang dolar AS. Alhasil, pelemahan mata uang Garuda tidak akan menstimulasi ekspor.
Arah Pergerakan di 2024
Pengamat optimis bahwa mata uang Garuda mampu kembali menunjukkan keperkasaannya. Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah bisa kembali berada di bawah Rp15.000 pada 2024. Selain punya modal baik dari penguatan di akhir 2023, dinamika politik di Indonesia juga menjadi penopang rupiah untuk kembali perkasa.
“Kalau saya targetkan kemungkinan di Rp14.500-an. Itu kemungkinan besar ya karena bersama dengan tahun politik,” ujar dia.
Namun pergerakan di level tersebut, bisa terjadi dengan beberapa catatan. Pilpres diselenggarakan hanya satu putaran, hasilnya karena ini akan lebih baik bagi investasi.
Saat ini investor terutama investor sektor riil wait and see, dan menunggu siapa presiden yang bakal terpilih dan menunggu kebijakan apa yang bakal dikeluarkan.
Sementara itu, Josua Pardede memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan cenderung terapresiasi ke kisaran Rp15.100 – Rp15.300 pada 2024, atau menguat dari proyeksi di penutupan tahun 2023 yang sebesar Rp15.300 – Rp15.500.
Di luar dari proyeksinya, Josua juga menyoroti tantangan yang BI hadapi dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah pada 2024.
Tantangan utamanya masih bersumber dari eksternal dengan terus berlanjutnya risiko ‘higher-for-longer’ di mana suku bunga global masih dipertahankan tinggi. Ini karena inflasi global masih berada di atas target sasaran negara-negara maju
Inflasi yang sulit turun bisa disebabkan oleh berlanjutnya konflik di Timur Tengah, sehingga meningkatkan harga minyak dunia. Kondisi lainnya adalah El Nino berkepanjangan dan berlanjutnya restriksi perdagangan dari banyak negara. Imbasnya terjadi peningkatan harga pangan.
Di sisi lain, Cina masih akan terus menghadapi risiko ‘slower-for-longer’ sehingga menyebabkan outlook kawasan Asia Pasifik memburuk. Investor kemudian akan lebih berhati-hati yang berujung hambatan masuknya arus modal.
Akan tetapi, risiko ‘higher-for-longer’ sudah mulai mengecil. Hal ini sejalan dengan ekspektasi pasar yang melihat ruang pemotongan suku bunga acuan The Fed akan terjadi pada Maret 2024. Tentunya ini akan meningkatkan sentimen investor sehingga akan ada arus modal yang masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Kondisi di atas, juga didukung dengan prospek ekonomi Indonesia yang oleh banyak institusi internasional diproyeksi positif. Ekonomi Indonesia diprediksi mampu tetap tumbuh tangguh di kisaran 5 persen pada 2024 di saat ekonomi dunia diproyeksi mengalami perlambatan.
“Tentunya ini akan memberikan peluang yang cukup besar bagi rupiah untuk terapresiasi pada 2024. Hal ini terutama cenderung dapat terjadi pada semester kedua 2024 ketika pemilu sudah selesai sehingga aksi wait and see investor terkait tahun politik juga menghilang,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas