Menuju konten utama

Menimbang Ambisi Uni Eropa & AS Saingi Proyek Infrastruktur Cina

Melalui B3W dan Global Gateway, Amerika Serikat dan Uni Eropa ingin terlihat sebagai kompetitor yang lebih perkasa dan bermoral daripada Cina.

Menimbang Ambisi Uni Eropa & AS Saingi Proyek Infrastruktur Cina
Ilustrasi KTT G7. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Para pemimpin Uni Eropa tak mau kalah dari pemerintah Cina dalam menyokong pembangunan di negara-negara ekonomi berkembang. Delapan tahun setelah Negeri Tirai Bambu memulai Belt and Road Initiave (BRI), klub negara mapan yang mendaku sebagai penjaga nilai demokrasi dunia ini mengumumkan program kemitraan investasi serupa: Global Gateway.

Dalam peluncurannya pada 1 Desember lalu, Presiden Uni Eropa Ursula von der Leyen menyatakan Global Gateway merupakan strategi 27 negara Uni Eropa untuk “membangun koneksi lebih tangguh dengan dunia” yang sempat porak-poranda akibat pandemi COVID-19. Agenda Global Gateway sangatlah luas, mencakup sektor digital, iklim dan energi, transportasi, kesehatan, sampai pendidikan dan riset.

Proyek ini bakal memobilisasi dana investasi sampai 300 miliar euro atau Rp4.890 triliun. Global Gateway juga direncanakan untuk berjalan hingga 2027. Sebagai perbandingan, pemerintah Cina sudah mengeluarkan dana antara $1 sampai $8 triliun atau lebih dari Rp 14.500 triliun untuk proyek BRI.

Melalui Global Gateway, Uni Eropa akan menawarkan pinjaman, hibah, dan jaminan anggaran kepada negara-negara Eropa bagian selatan dan timur, Asia-Pasifik, kawasan Amerika serta Karibia, dan terutama Afrika sub-sahara. Pendanaan berasal dari kas Uni Eropa sendiri yang melibatkan lembaga finansial milik bersama, seperti European Investment Bank dan European Bank for Reconstruction and Development.

Global Gateway dideskripsikan secara heroik oleh von der Leyen sebagai kontribusi Eropa untuk “mendukung investasi cerdas dalam infrastuktur berkualitas, menghormati standar-standar tertinggi sosial dan lingkungan sesuai dengan nilai-nilai demokratis Uni Eropa dan norma internasional”.

Mereka juga berpegang pada prinsip good governanance dan transparansi, kemitraan yang setara, energi hijau, berorientasi pada keamanan, dan pemberdayaan sektor swasta.

Jargon-jargon Global Gateway itu terlihat kontras dibanding citra megaproyek infrastruktur BRI. Selama ini, BRI dikritik karena dampaknya yang merusak lingkungan, memarjinalisasi suku dan komunitas lokal, hingga dituding sebagai diplomasi jebakan utang.

Singkatnya, Global Gateway dikemas sedemikian rupa sebagai alternatif superior dari proyek infrastruktur Cina yang sampai hari ini telah berjalan di 100 lebih negara mitra.

Meski begitu, Global Gateway juga tak lepas dari kritik. Salah satunya datang dari ekonom lembaga Bruegel Maria Demertzis. Menurut Demertzis, apa pun motivasi Uni Eropa, proyek Global Gateway jangan sampai dijadikan alat kompetisi dengan Cina.

"Proyek itu tidak harus diarahkan untuk menekan Cina. Pasalnya, tak ada yang bakal menang dalam kompetisi itu," tutur Demertzis seperti dikutip Deutsche Welle.

Kritik juga datang dari The Economist. Menurut media propasaritu, Global Gateway tak lebih dari sekadar “omong kosong” hasil olahan elite politik Brussels. Pasalnya, substansi Global Gateway sekadar mengulang-ulang komitmen lama, alih-alih gebrakan Eropa untuk betul-betul membuat perubahan berarti.

Sebelum Global Gateway diluncurkan, Uni Eropa sebenarnya sudah mencanangkan beberapa program, di antaranya EU-Asia Connectivity Strategy (2018) serta Connectivity Partnerships dengan Jepang (2019) dan India (2021). Sayangnya, proyek yang digadang-gadang bakal membuat Cina bertekuk lutut itu tak begitu terdengar gaungnya.

Investasi dengan Prinsip Demokrasi dan Energi Hijau

Uni Eropa bukan satu-satunya entitas yang menantang proyek BRI-nya Cina. Adidaya Amerika Serikat sudah lebih dulu berkoar-koar akan mendukung investasi pembangunan di negara-negara ekonomi menengah ke bawah yang berbagi nilai-nilai demokratis dengan mereka.

Dalam pertemuan G7 pada Juni silam, Presiden Amerika Serikat Joe Biden bersama pemimpin negara-negara G7 lainnya mengumumkan inisiatif Build Back Better World atau disingkat B3W. Nama ini dipetik dari agenda domestik pemerintahan Biden, Build Back Better, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan kelas menengah di Amerika Serikat lewat tunjangan anak sampai teknologi hijau.

B3W diterangkan sebagai “kemitraan infrastruktur yang disokong nilai-nilai berstandar tinggi dan transparan yang dipimpin oleh negara-negara demokrasi besar”. Fokusnya meliputi iklim, kesehatan, teknologi digital, dan gender—ranah yang juga jadi perhatian Uni Eropa dalam proyek Global Gateway.

Proyek yang dipimpin Amerika Serikat ini akan melibatkan sektor swasta untuk mengerahkan dana investasi sampai ratusan miliar dolar selama beberapa tahun untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Namun, belum ada detil tentang dana atau jadwal pelaksanaannya.

Sedininya pada September, pemerintah Amerika Serikat sudah mengirimkan delegasi ke negara-negara calon mitra B3W, yaitu Kolombia, Ekuador, Panama, Ghana, dan Senegal. Di lima negara itu saja, B3W sudah merancang 50 proyek energi terbarukan. Negara-negara Asia Tenggara dikabarkan akan jadi mitra sasaran selanjutnya.

Kerjasama investasi yang sarat nuansa anti-Cina ini tidak hanya direncanakan dalam skala besar oleh organ multinegara. Persis satu bulan silam, bertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim COP26, Inggris Raya juga mengumumkan komitmennya untuk berinvestasi pada sektor teknologi hijau di negara-negara berkembang.

Anggaran yang dipersiapkan mencapai 3 miliar poundsterling atau lebih dari Rp57 triliun untuk 5 tahun ke depan. Proyek ini dinamai Green Industrial Revolution—versi ramah lingkungan dari Revolusi Industri yang dimulai pada pertengahan abad ke-18.

Di luar program itu, pemerintah Inggris juga menyokong proyek pembangunan lewat organisasi keuangan antarpemerintah, Private Infrastructure Development Group. Organisasi ini dikabarkan akan berinvestasi sampai 210 juta poundsterling (Rp4 triliun) untuk membuat kendaraan listrik di India dan pembangkit listrik tenaga surya di Burkina Faso, Pakistan, Nepal dan Chad. Ia juga menawarkan paket jaminan untuk bank-bank pembangunan multilateral yang mau membantu investasi pada proyek-proyek terkait penanggulangan masalah iklim di India dan Afrika.

Proyek Pembangunan Cina Kurang ‘Hijau’?

Apa kesamaan dari Global Gateway milik Uni Eropa, B3W dari geng G7, dan agenda teknologi hijau dari Inggris?

Salah satunya tentu saja menonjolkan pendekatan ramah lingkungan dan iklim yang kabarnya selama ini dikesampingkan dalam proyek-proyek infrastruktur Cina. Namun, benarkah demikian?

Menurut Jean-François Dufour dari firma konsultan DCA China-Analysis, kebanyakan skema investasi Beijing awalnya memang berpusar pada infrastruktur penunjang transportasi untuk distribusi komoditas—termasuk gas alam dan minyak bumi—ke daratan Cina.

“Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini, Jalur Sutra Baru [nama lain dari BRI] sudah menyesuaikan dengan prioritas-prioritas baru Xi Jinping di bidang energi terbarukan, jaringan digital, dan teknologi anyar,” ujar Dufour seperti dikutip FRANCE 24.

Data lain dari studi Boston University mengungkap bahwa mayoritas investasi Cina di sektor energi memang untuk batu bara. Namun, akhir-akhir ini mulai ada tren kenaikan pada proyek energi terbarukan.

Sebagai contoh, pada 2017 silam, bank-bank pemerintah Cina menyokong megaproyek pembangkit listrik tenaga air di Nigeria dengan nilai kontrak sampai $5,8 miliar (Rp83 triliun). Sementara itu di India, sebanyak 80 persen kebutuhan komponen panel surya dipenuhi melalui impor dari Cina.

Komitmen Cina terhadap energi terbarukan juga tercermin di dalam negerinya sendiri. Di Cina, tercatat ada 3,3 juta kendaraan listrik—jumlah yang sama dengan total yang dikendarai di Eropa dan Amerika Serikat. Cina juga merupakan penghasil listrik tenaga air terbesar di dunia dan kedua terbesar untuk energi surya.

Tidak Perlu Bersaing

Sejumlah pihak bertanya-tanya, bagaimana Amerika Serikat dan Uni Eropa kelak membiayai program-programnya. Seiring negara-negara Barat itu terengah-engah bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19, semudah itukah mereka akan menyalurkan dana investasi ke luar negeri?

Kita ambil contoh dari proyek B3W yang dimotori Amerika Serikat. Menurut Yan Liang dari Willamette University di East Asia Forum, pemerintahan Biden bakal kesulitan meyakinkan konstituennya untuk berivestasi dalam jumlah besar ke luar negeri. Paket keuangan senilai nyaris $2,2 triliun dalam RUU Build Back Better saja butuh berbulan-bulan untuk diloloskan oleh Parlemen Amerika Serikat. Pada waktu yang sama, negara-negara G7 lainnya tengah mengencangkan anggaran belanja masing-masing.

Yan juga menduga proyek-proyek B3W tidak akan berjalan semulus yang dibayangkan. Pasalnya, Amerika Serikat kemungkinan masih mensyaratkan negara-negara mitranya untuk “berbenah” terlebih dahulu apabila mereka dipandang melanggar prinsip demokrasi ala Paman Sam.

Menurut Yan, alih-alih membingkai B3W sebagai agenda pembangunan yang anti-Cina, pemerintah Amerika Serikat perlu mengedepankan kerja sama dengan Cina. Amerika Serikat bisa juga menempatkan B3W sebagai pelengkap untuk proyek-proyek yang sudah dimulai Cina.

Hal senada juga disampaikan David Dodwell dari think tank Hong Kong-APEC Trade Policy Study Group. Dalam opininya yang terbit di South China Morning Post, Dodwell menyebut pemerintah Amerika Serikat dan para sekutu G7 seharusnya bekerja sama dengan Cina untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang biasanya muncul dalam proyek-proyek infrastruktur jangka panjang.

Pasalnya, mayoritas proyek macam itu pasti menyedot anggaran sangat besar di awal pembangunan. Padahal, dibutuhkan puluhan tahun sampai mereka betul-betul dapat keuntungan.

Terlebih, situasi politik di negara-negara mitra cenderung kurang stabil dan performa ekonominya relatif rendah. Tantangan-tangangan itulah yang harusnya jadi fokus negara-negara investor besar macam Amerika Serikat. Menurut Dodwell, Amerika Serikat jelas keliru jikamenganggap investasi Cina sebagai ancaman.

Infografik Proyek Ambisius Eropa dan G7

Infografik Proyek Ambisius Eropa & G7. tirto.id/Fuad

Kritik yang mirip juga disuarakan terhadap Global Gateway. Dalam tulisan yang terbit di EU Observer, Jonathan Holslag dari Free University Brussels meminta para petinggi Uni Eropa untuk tidak bersikap naif. Megaproyek BRI harus diakui sudah melahirkan infrastruktur penunjang distribusi produk ekspor-impor Cina. Artinya, peranan Cina memang semakin dominan dalam rantai produksi global. Lalu, apa yang bisa Uni Eropa jagokan?

“Sepanjang Eropa tidak berusaha menciptakan industri barunya sendiri, Cina akan tetap jadi yang terdepan,” tulis Holslag.

Masih menurut Holslag, terkait nilai-nilai demokrasi yang Global Gateway elu-elukan, kebanyakan negara mitra mungkin tidak akan terlalu menggubrisnya. Pasalnya, pada hari ini, tak ada yang lebih diinginkan suatu negara selain otonomi.

Kalau pun mereka mau menerima bantuan kredit dari Benua Biru, tak lain karena potensi keuntungannya lebih banyak daripada yang ditawarkan Cina, Amerika Serikat, bahkan Rusia dan Turki.

Singkatnya, seperti Holslag tulis, “Mereka [negara-negara berkembang] mau mengambil uang kita, namun tidak akan serta-merta menyerap nilai-nilai dan aturan kita.”

Holslag juga mengungkap banyak perusahaan Eropa pada dasarnya menikmati kerja sama dengan kontraktor-kontraktor Cina. Mereka bisa menjual keahlian teknis atau kecakapan terkait teknologi tertentu, sementara pihak Cina membantu mewujudkannya.

Kalangan pengusaha Amerika Serikat juga sama belaka lebih senang berbisnis dengan korporat Cina. Salah satu sebabnya karena pajak perusahaan di sana lebih murah, berikut upah tenaga kerja dan biaya listrik yang bisa ditekan.

Pada intinya, bekerja sama dengan Cina jauh lebih menguntungkan daripada “adu jotos” dengan mereka. Semangat inilah yang sayangnya tidak ditemukan dalam B3W dan Global Gateway. Elite politik penggagasnya di Brussels dan Washington justru memolesnya sebagai proyek tandingan anti-Cina dengan citra yang lebih perkasa dan bermoral.

Bisakah mereka memenuhi ambisi dan menjaga nilai-nilai yang diusungnya? Kita lihat saja nanti.

Baca juga artikel terkait INVESTASI CINA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Fadrik Aziz Firdausi