Menuju konten utama
Periksa Fakta

Menilik Klaim Pemindahan Ibu Kota sebagai Program PKI Tahun 1955

Pemindahan IKN tidak pernah disebut oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai program yang dijanjikan jelang Pemilu tahun 1955.

Menilik Klaim Pemindahan Ibu Kota sebagai Program PKI Tahun 1955
Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 23 Januari 2022, muncul sebuah video viral di Facebook. Isinya, Alfian Tanjung berceramah melemparkan klaim soal perpindahan ibukota, dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

"Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam, Kalimantan Timur itu adalah program PKI tahun 1955," ujar Alfian di video itu.

Cuplikan video berdurasi 2:12 menit itu diunggah oleh akun Facebook bernama Salafi Tobat dengan tambahan deskripsi “Acara 'Ayo Hijrah' oleh Ust Alfian Tanjung. Pemindahan ibukota adalah program PKI tahun 1955.”

Hingga 7 Februari 2022, unggahan akun Salafi Tobat ini telah dilihat lebih dari 900 ribu kali dan dibagikan sebanyak 4.300 kali. Cuplikan video yang sama juga beredar di media sosial Twitter (tautan), dan YouTube seperti di sini dan di sini.

Namun, benarkah klaim bahwa pemindahan ibu kota sebagai program PKI tahun 1955?

Penelusuran Fakta

Kami menelusuri sosok Alfian Tanjung dan menemukan datanya di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Saat ini Alfian merupakan dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh H. Abdul Halim Hasan Al-Islahiyah Binjai, Sumatera Utara. Setahun yang lalu, nama Alfian Tanjung ditemukan pula sebagai Wakil Ketua dalam daftar Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Masyumi periode 2021-2025, mengutip laman berita Tempo.

Menurut catatan profil tokoh yang dikumpulkan Tirto, sebelumnya Alfian adalah dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA), Jakarta, sekaligus Wakil Komite Dakwah Khusus MUI Pusat. Alfian juga pernah menjabat pimpinan Taruna Muslim—sebuah organisasi yang kerap menyuarakan kewaspadaan terhadap bangkitnya PKI.

Alfian kerap menyinggung ihwal PKI dalam ceramah yang diunggah dalam kanal YouTube pribadi bernama Ustadz Alfian Tanjung, yang sudah aktif sejak Februari 2015.

Alfian memang gemar mengaitkan tokoh tertentu dengan PKI. Pada 2017 misalnya, ia menuduh kader PDI Perjuangan dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai PKI dan berujung ditahan oleh Mabes Polri. Sepanjang tahun itu, Tirto mencatat ada empat kasus dugaan ujaran kebencian dialami Alfian karena tuduhan PKI.

Riwayat kasus ujaran kebencian Alfian belum berhenti. Pada 2020, Alfian menyebut kader Ansor Barisan Serba Guna Nahdlatul Ulama (Banser NU) sebagai keturunan PKI. Alfian lantas meminta maaf secara terbuka kepada Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Banser, dan keluarga besar NU, seperti ditulis oleh Antara.

Narasi tentang PKI memang masih sering digaungkan kendati partai diberangus pada 1966. Pembubaran PKI tertuang dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Apabila menilik perjalanan PKI di masa silam, partai tersebut sempat berjaya setelah Pemilu Umum (Pemilu) 1955. Mengutip laporan Tirto pada 2019, saat itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu dan sukses menempatkan 39 wakil di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 80 wakil di Konstituante.

Tirto juga menuliskan 19 poin yang dijanjikan PKI jelang Pemilu 1955, di antaranya janji ke-3 yang berbunyi “Bagi kaum tani, memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah buruh-tani, pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan hapusnja rodi.” Janji itu disiarkan lewat koran Harian Rakjat tanggal 28 September 1955.

Tak hanya ditujukan kepada kaum tani, sejumlah janji lain juga ditujukan kepada kaum buruh, pemuda, pelajar dan mahasiswa, seniman, kaum perempuan, kelompok agama, dan pengusaha kecil. Dari 19 janji PKI tahun 1955, tidak ada satupun yang menyebut program pemindahan ibu kota.

Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) sendiri digagas sejak era Presiden pertama, Soekarno, terus menguap. Di periode pemerintahan Jokowi ini, realisasi pemindahan IKN dilakukan sebab beban Jakarta yang sudah terlalu berat. Mengutip pernyataan Jokowi dari laman resmi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia pada 26 Agustus 2019, Jakarta sudah sejak lama terbebani sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, pusat jasa, bandar udara, dan pelabuhan laut terbesar di Indonesia, .

Selain itu, beban Pulau Jawa juga semakin besar dengan jumlah penduduk mencapai 150 juta atau setara 54 persen dari total penduduk Indonesia.

“Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah, dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani,” ujar Jokowi dari laman yang sama.

Kesimpulan

Berdasarkan penelurusan fakta yang telah dilakukan, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dilakukan lantaran Jakarta dan Pulau Jawa sudah terlalu padat penduduk, penuh kemacetan, serta banyaknya polusi air dan udara. Pemindahan IKN juga tidak pernah disebut oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai program yang dijanjikan jelang Pemilu tahun 1955. Dengan demikian, klaim pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur sebagai program PKI tahun 1955 dalam unggahan akun Facebook Salafi Tobat bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Perlu menjadi catatan, artikel ini tidak mencerminkan pandangan atau dukungan Tirto terhadap PKI.

==============

Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Nuran Wibisono