tirto.id - Harga minyak mentah dunia tengah meroket tajam seiring terganggunya pasokan minyak akibat konflik Rusia-Ukraina. Pada awal Januari 2022, harga minyak acuan global Brent masih berkisar di angka 86 dolar AS hingga 88 dolar AS per barel, namun pada hari Jumat (22/4/2022), harga minyak mentah Brent mencapai 106,65 dolar per barel, merujuk data dari Yahoo Finance. Angka ini pun dapat dikatakan sudah turun dibanding Maret 2022, ketika harga minyak mentah Brent sempat menembus lebih dari 127 dolar per barel, tertinggi selama 10 tahun terakhir.
Level harga Brent ini juga sangat kontras dengan kondisi selama pandemi COVID-19 masih merajalela di tahun 2020, yang menurunkan permintaan minyak global secara drastis. Pada saat itu, harga minyak terus turun dan menembus titik terendah di 12,41 dolar AS per barel pada 28 April 2020.
Memang, mengutip Informasi dan Administrasi Energi Amerika Serikat (IEA), harga minyak mentah dan produk minyak dapat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang berpotensi mengganggu aliran minyak dan produk-produk minyak ke pasar, termasuk kondisi geopolitik dan cuaca.
IEA juga menyatakan, volatilitas dari harga minyak sendiri juga dipengaruhi oleh sulitnya suplai dan permintaan minyak untuk merespon perubahan harga di pasar dalam waktu dekat. Kapasitas produksi minyak cenderung punya jumlah tetap, dan mencari sumber suplai baru atau mengubah jumlah produksi bisa mencapai waktu bertahun-tahun, sementara konsumen juga tidak bisa begitu saja mencari sumber energi baru selain minyak.
Lantas, apa yang terjadi pada tahun ini, sehingga minyak berada di level saat ini? Apa dampaknya bagi Indonesia dan proyeksi tren harga minyak dunia ke depan?
Fluktuasi Ekstrem Akibat Konflik Geopolitik Rusia-Ukraina
Harga minyak mentah dunia tercatat mengalami tren peningkatan pada kuartal pertama 2022. Menurut Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC), harga minyak acuan Brent mencapai rata-rata 98 dolar AS per barel di kuartal pertama 2022, naik 18 dolar AS dari harga rata-rata kuartal 4 2021, mengutip Reuters. OPEC juga menyatakan kepada Komite Pengarah Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa melejitnya harga minyak sebagian besar didorong oleh krisis di Ukraina akibat invasi Rusia.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), invasi ke Ukraina oleh Rusia pada 24 Februari 2022, membuat pasar melihat kemungkinan adanya sanksi terhadap Rusia yang akan memutus ekspor energi dari negara tersebut.
Data IEA menunjukkan bahwa Rusia adalah produsen minyak terbesar di dunia di belakang Amerika Serikat (AS) dan Saudi Arabia. Pada Januari 2022, produksi minyak Rusia mencapai 11,3 juta barel per hari. Rusia juga merupakan eksporter minyak terbesar ke pasar global. Pada Desember 2021, ekspornya mencapai 7,8 juta barel per hari.
Melalui laporan Oil Market Report teranyar, IEA menaksir pasokan minyak Rusia turun sebanyak 1,5 juta barel per hari pada April 2022, dan diprediksi akan turun semakin dalam hingga 3 juta barel per hari mulai Mei. Penurunan suplai yang tajam ini mengerek naik harga minyak di pasar awal tahun ini.
Meski memperlihatkan tren kenaikan, data Yahoo Finance menunjukkan harga minyak Brent dan West Texas Intermediate (WTI) beberapa kali merosot seperti pada penghujung Maret. Hal ini disebabkan oleh peluncuran kebijakan lockdowndua tahapdi pusat keuangan Tiongkok, Shanghai untuk menekan laju penyebaran infeksi COVID-19. Tiongkok sendiri merupakan importir minyak mentah terbesar di dunia dengan jumlah impor mencapai 10,8 juta barel per hari pada Desember 2020, merujuk catatan CEIC.
Penurunan tersebut masih berlangsung hingga awal April kemudian perlahan menanjak jelang libur Paskah. Pada 12 April 2022, harga minyak Brent berada di atas 104 US dolar per barel didorong oleh persepsi trader akan adanya defisit pasokan global.
Lonjakan harga minyak itu berlanjut hingga Kamis (14/4/2022) seiring rencana Uni Eropa untuk melakukan embargo produk minyak Rusia sebagai sanksi atas invasi pada Ukraina dan rencana Rusia terkait serangan baru ke Ukraina Timur. Menukil dari The New York Times, tindakan tersebut memercik pertentangan utamanya dari Jerman sebagai negara yang bertopang pada minyak dan gas Rusia.
Selanjutnya pada 18 April 2022, harga minyak Brent juga mengalami kenaikan merespons seretnya negosiasi damai antara Rusia-Ukraina dan terus meluasnya serangan Rusia. Sehari setelahnya harga minyak kembali turun di tengah kekhawatiran permintaan setelah IMF memangkas pertumbuhan ekonomi dan mensinyalir inflasi yang lebih tinggi. Sentimen lain yang memengaruhi yakni gangguan pasokan minyak Libya lantaran adanya kerusuhan politik.
Namun, secara umum, laporan IEA bulan April menyatakan bahwa pasokan minyak global naik di bulan Maret sebesar 450 ribu barel per hari menjadi 99,1 juta barel per hari, dipimpin oleh negara-negara-negara di luar OPEC+, di tengah penurunan pasokan Rusia. Negara-negara OPEC+ dan AS juga disebut terus meningkatkan produksi minyak mentah untuk mengatasi masalah defisit suplai, sementara negara-negara anggota IEA sepakat pada 1 April untuk menggunakan stok minyak cadangan darurat mereka, hingga 120 juta barel.
Sementara itu, IEA telah memangkas prediksi permintaan minyak pada kuartal II 2022 dan sepanjang tahun akibat kebijakan lockdown di Tiongkok. Permintaan minyak diprediksi ada di kisaran rata-rata 99,4 juta barel per hari pada 2022, turun dari prediksi sebelumnya sebesar 99,7 juta barel per hari, tapi masih naik sebanyak 1,9 juta barel per hari dibanding tahun 2021.
Dengan penurunan ekspektasi permintaan minyak mentah tahun ini, IEA menyatakan benchmark harga minyak mentah kini kembali mendekati level sebelum adanya perang Rusia-Ukraina, namun masih terhitung tinggi dan merupakan ancaman serius bagi prospek ekonomi global.
Harga Minyak Mentah Indonesia Mencapai Level Tertinggi
Tingginya harga minyak mentah dunia berdampak pada harga minyak mentah Indonesia (ICP). Bahkan, harga ICP Maret 2022 menyentuh angka tertinggi sejak Februari 2013. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia menetapkan harga rerata ICP untuk bulan Maret sebesar 113,50 dolar AS per barel, meningkat 17,78 dolar AS per barel dari 95,72 dolar AS per barel pada bulan sebelumnya.
Bersamaan dengan gejolak harga minyak mentah, harga bensin di Indonesia turut menukik naik. Per 1 April 2022, Pertamina secara resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax dari Rp9.000 ke rentang Rp12.500 – Rp13.000 per liter. Kenaikan tersebut memicu melorotnya konsumsi Pertamax dan meningkatkan konsumsi BBM Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP) atau bensin subsidi.Selain itu, tarif listrik turut menjadi imbas dari melambungnya harga minyak dunia. Pemerintah sedang mengkaji pula penyesuaian harga BBM Pertalite dan LPG 3 kilogram (kg). Menurut Wakil Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara dalam konferensi pers APBN KITA edisi April 2022, pemerintah akan memperhitungkan dengan hati-hati terkait penyesuaian tersebut sebab peningkatan harga komoditas juga akan mengatrol besaran subsidi.
Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemerintah tak punya banyak opsi di tengah kondisi dunia yang tidak bisa diproyeksi. Fabby bilang, pilihan pemerintah hanyalah mengerek inflasi atau justru menanggung beban fiskal.
“Menurut saya karena ada dampak inflasi dan peningkatan orang miskin akan berdampak pada daya beli masyarakat menurun. [...] Tapi juga ada bahaya laten, yaitu kesenjangan sosial dan ketidakstabilan sosial. […] Di sisi yang lain kita bisa lihat bahwa harga energi, utamanya dalam hal ini listrik, minyak yang Pertalite, dan harga LPG kalau tidak disesuaikan maka akan menimbulkan beban bagi [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara] APBN,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Kamis (21/4/2022).
Prediksi Muram
Dwi Soejtipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan melalui konferensi pers Kinerja Hulu Migas Kuartal I Tahun 2022, Jumat (22/4/2022), bahwa harga minyak mentah global diprediksi akan berada pada kisaran 100 dolar AS per barel sampai 2023.
“Beberapa analisa masih melihat bahwa ini akan naik turun, dan bahkan kemudian ada yang menganalisa cukup tinggi kenaikannya dari sisi apa namanya, kalo kita melihat bull case-nya. […] Pandemi COVID-19 juga akan mereda sehingga travelling juga akan meningkat tajam, kegiatan bisnis juga akan meningkat tajam, ini juga akan memengaruhi demand-nya. Di satu sisi supply-nya sangat terganggu oleh krisis [di Ukraina] tersebut, sehingga harga masih diperkirakan cukup tinggi dalam 1 tahun 2 tahun ke depan,” pungkas Dwi.
Editor: Farida Susanty