tirto.id - Ruas Jalan M.H. Thamrin, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sesak dengan orang-orang. Panggung rigging dengan suguhan musik mengiring langkah mereka yang berseliweran di depan Gedung Jaya. Gerimis tipis turun, tak menjadi soal bagi mereka yang bersiap menyambut tahun baru 2020.
Keriuhan itu memudar di pelupuk mata Wirdayati yang sedari pukul 18.00 WIB sudah tampil necis dengan celana panjang hitam dan kemeja putih yang ditutup vest hitam. Di kepala wanita berusia 60 tahun itu, bertengger bandana kuning bertuliskan 'Happy New Year'. Tak ketinggalan pula, senyumnya yang ramah.
Ia berdiri di depan pintu masuk Jaya Pub (sebuah pub legendaris DKI Jakarta yang sudah eksis sejak 1976) menanti satu per satu pengunjung datang. Kendati nyaris seluruh meja telah direservasi.
"Kalau tahun baru begini, yang datang sih biasa saja. Masih ramai saat weekend," kata Wirda kepada reporter Tirto, Selasa (31/12/2019).
Wirda menjadi pramusaji di Jaya Pub sejak 1993. Ketika itu suaminya yang bekerja di Hotel Indonesia merekomendasikan nama dia untuk bekerja di pub milik pasangan selebritas kondang, mendiang Frans Tumbuan dan Rima Melati.
Meski tak memiliki pengalaman sebelumnya bekerja di bidang food and beverage dan tak memiliki ijazah, Wirda kekeuh bisa beradaptasi dengan pekerjaan tersebut.
Menjadi pramusaji di Jaya Pub diakuinya tak mudah meski punya koneksi orang dalam. Ia harus menjalani serangkaian tes, terkhusus mampu berbahasa Inggris. Maklum, pengunjung Jaya Pub memang didominasi ekspatriat.
"Sedikit-sedikit aku bisalah Bahasa Inggris. Welcome sir, gitu-gitu mudahlah," ujar dia.
Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, satu per satu pengunjung berdatangan. Wirda menyambut mereka dengan senyum ramah dan sedikit berbasa-basi seputar kabar hari ini. Sembari mengantarkan mereka yang datang ke meja prasmanan.
Imaji saya soal Pub yang berisi pemuda-pemudi gang motor gede atau para Cowboys berantakan. Lantaran ketika itu pengunjung Jaya Pub, mayoritas orang-orang yang berusia lanjut dan terlebih ada yang datang berkeluarga.
Alih-alih nampak sangar, Jaya Pub seperti sedang mengadakan acara kumpul ceria karyawan kantor yang intim.
Lambat laun Jaya Pub mulai ikutan riuh menginjak pukul 23.30 WIB, meski tak sepadat kondisi di luaran sana. Meja-meja reservasi sudah dihuni pemesannya. Wirda sibuk berkeliling dari meja ke meja, memastikan semua tamu dapat terlayani dengan baik. Serta dalam keadaan stabil, maksudnya tidak gontai karena kebanyakan menenggak alkohol.
Wirda si pramusaji senior, menjelma juga sebagai orang tua bagi para pengunjung. Ia memastikan tidak ada pengunjung yang terlalu mabuk berat. Bahkan ia tak segan-segan menghentikan pengunjung jika sudah dirasa terlalu banyak minum alkohol.
"Aku tidak mau mereka pulang dan kenapa-kenapa. Aku masih mau bertemu mereka lagi besok. Makanya aku bisa tegas melarang mereka tambah minuman kalau sudah mabuk banget," kata dia.
Usai melayani para tamu, ia ujug-ujug memperlihatkan foto pria dan wanita muda kepada saya. Usia pria itu 30 tahun dan yang wanita berusia 28 tahun. Keduanya adalah anak Wirda.
"Ini anakku yang perempuan, cantik yah? Dia dijadikan model oleh Bu Rima. Kalau abangnya pekerja IT," kata dia.
Ia merasa beruntung memiliki kedua anak yang tidak pernah mempersoalkan pekerjaan orang tuanya. Bahkan sejak kecil keduanya sesekali Wirda ajak berkunjung ke Jaya Pub berkenalan dengan rekan kerja yang lain.
"Pergaulan anakku luas. Mereka tidak protes ibunya bekerja begini. Mereka cuma protes sekarang-sekarang ini saja, aku diminta pensiun," ujar Wirda.
26 tahun bekerja sebagai pramusaji dengan jam kerja yang selalu dimulai dari sore hingga menjelang pagi, memang dirasa Wirda cukup melelahkan.
Namun rasa lelah itu luntur dengan iklim kekeluargaan yang terbangun di Jaya Pub, baik hubungan antar-sesama pegawai maupun pengunjung. Lagi pula, ia juga bingung harus berbuat apa, jika memutuskan pensiun.
"Aku orangnya nggak bisa diam. Kalau mau berhenti kerja, harus punya pegangan dulu. Biar nggak bengong, nanti struk lagi," ujarnya sembari terkekeh.
Meski demikian, ia juga menyadari bahwa suatu saat fase pensiun itu akan datang. Di tengah kesayupan suara petasan tahun baru, tatapan Wirda mendadak teduh.
Ia mendaku sudah memikirkan hari tuanya kelak, bukan hanya perihal aktivitas. Melainkan koneksi antara dirinya dengan Tuhan. Ada hal yang ingin ia rajut kembali.
Bertahun-tahun yang lalu ia mulai rutin mengikuti pengajian di majelis taklim dekat rumahnya.
Awalnya pengajian dimulai pukul 12.00 WIB, namun seiring waktu jamnya bergeser menjadi pukul 15.30 WIB. Sementara ia harus bersiap bekerja di Jaya Pub sejak pukul 17.00 WIB.
Ia kewalahan jika harus melakukan dua kegiatan dalam waktu yang nyaris tak berjeda. Belum lagi ia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah.
"Aku mulai memikirkan yang diatas [Tuhan]. Kangen ngaji lagi," ujarnya.
Dididik Militer
Sutomo muda merintis karier sebagai peracik minuman di Hotel Indonesia sejak medio 60-an. Ia hanya jebolan Sekolah Rakyat. Nyaris tak memiliki bekal apa pun ketika memutuskan untuk berkecimpung dalam industri food and beverage.
Bersama 400 orang pegawai Hotel Indonesia lainnya, ia dikirim ke markas militer di Cijantung, Jakarta Timur pada 1961.
Selama dua tahun di Cijantung, Tomo hidup dengan prajurit militer yang dipersiapkan untuk Operasi Trikora. Ia tidak diajarkan tata boga sebagaimana keahlian yang dibutuhkan. Ia diajarkan kedisiplinan ala militer.
"Bangun pagi. Baris berbaris. Bersih-bersih senjata," ujarnya pada saya, Selasa. "Tapi saya belajar banyak arti disiplin di sana."
Selama tinggal di Cijantung, ia tak hanya dilatih ala semi militer. Ia juga mendapatkan pelatihan dari pakar tata boga yang ditunjuk oleh kalangan militer. Selesai pendidikan ia baru bisa bekerja di Hotel Indonesia.
Tomo yang saya temui pada malam penghujung pergantian tahun, tak lagi seorang bartender. Dengan topi Cowboys, kemeja merah dan celana panjang hitam; Tomo adalah seorang Manajer Jaya Pub.
"Modal dasar saya, dapat dari menetap di sana. Sampai bisa di titik sekarang," ujarnya.
Ia tidak ujug-ujug menjadi manajer begitu hengkang dari Hotel Indonesia ke Jaya Pub. Ia mulai dari bagian dapur di Le Bistro (unit usaha lain milik Rima Melati). Baru pada 1998, ia menjadi karyawan Jaya Pub dan kemudian diangkat sebagai Manajer pada 1999.
Usianya kini 75 tahun. Meski tak lagi lincah, ia selalu senantiasa tersenyum menyambut setiap tamu yang datang. Ia masih sanggup melakukan hal itu lantaran pengunjung Jaya Pub sudah tak seramai dulu.
Menurut Tomo titik pasang surut Jaya Pub berawal dari pasca reformasi. Satu per satu pelanggan loyal yang dominan ekspatriat menghilang meski ada juga yang masih bertahan dan sesekali singgah.
Jika pada masa itu, per hari ia bisa tersenyum untuk ratusan pengunjung. Kini rata-rata per hari Jaya Pub hanya dikunjungi 35 orang saja. Pada akhir pekan sedikit melonjak dengan kisaran pengunjung 100 orang.
Kondisi demikian yang membuatnya tak berharap banyak Jaya Pub akan ramai pada malam pengantin tahun 2020.
"Bule-bule juga banyak yang pada pulang kampung ke negara asalnya. Yah Terima saja begini adanya," ujarnya.
Meski Jaya Pub berangsur-angsur sepi pengunjung, ia sebagai Manajer tetap mengupayakan pelayanan sebagai modal utama menggaet tamu. Selain keramahtamahan pegawai menjadi syarat mutlak, hiburan pun harus selalu disajikan.
Sedari tadi saya berbincang dengan Tomo memang selalu diiringi alunan musik dari home band setempat. Mereka membawakan lagu-lagu rock dan jazz klasik.
Tomo sesekali menghampiri para tamu dan berbincang dengan mereka sebentar. Nampak tak ada sekat di antara pegawai dan tamu. Keintiman itu nyata adanya.
Tomo makin sibuk menjelang jam pergantian tahun 2020. Ia menakhodai para pegawai untuk menambah semarak suasana. Terompet mini sudah sedia di tangan tamu dan pegawai. Pemain band senyap seketika, lampu-lampu dibikin remang, secara serempak semuanya berhitung mundur dari 10.
Teriakan 'Happy New Year' atau 'Selamat Tahun Baru' bergema. Tomo tak lupa menyalami seluruh tamu melalui pengeras suara dari atas panggung.
Namun keriuhan itu menjadi haru, saat Tomo menengok telfon pintarnya.
"Anak saya kirim ucapan selamat tahun baru di WA. Mereka lagi di rumah saya," jelas dia.
Sudah bukan hal baru, Tomo tidak merayakan malam pergantian tahun baru bersama istri, empat anak, dan enam cucunya. Ia sudah kebal dengan rasa tak enak. Pihak keluarga pun seperti sudah memaklumi dirinya.
Ia pun tak pernah menyesali bekerja seperti sekarang, meski jam kerjanya tak umum: berangkat sore pulang pagi.
Hal yang membikinnya betah melakoni pekerjaan tersebut hingga puluhan tahun hanya dipicu alasan sederhana. Ia menolak diam.
Ia belum rela menjadi kakek-kakek yang berdiam di rumah, momong cucu di waktu pagi, dan melamun di siang hari.
Dengan bekerja, ia juga merasakan mendapatkan pengalaman baru setiap hari.
Pada dasarnya ia memang tipikal yang senang bertemu orang baru dan berbincang-bincang. Terlebih di Jaya Pub kadangkala kedatangan pejabat publik. Belum lama ia mendaku kedatangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Pada masa kejayaan Jaya Pub dalam rentang waktu 70-an hingga 90-an, sudah disinggahi ragam publik figur lokal dan internasional.
Untuk internasional, nama-nama seperti Richard Anderson, aktor pemenang Oscar dari film seri Six Million Dollar Man, Mike Connors, pemeran detektif Joe Mannix, Wittekke van Dorp, penyanyi dan aktris Belanda, penyanyi James Brown dan Dionne Warwick, Erik Estrada, aktor film Chips, Keith Martin, serta Chris Mitchum, aktor Hollywood yang juga lawan main mendiang Frans Tumbuan, semua pernah menginjakkan kaki di Jaya Pub.
Sementara dari dalam negeri, Jaya Pub menjadi tempat kumpul Sjumandjaja, Teguh Karya hingga WS. Rendra. Bahkan pebisnis sekaliber Mochtar Riady dan anaknya James Riady pun pernah mampir ke sana.
Kehadiran tamu-tamu kaliber itulah yang turut membikin Tomo betah bekerja. Selain memang suasana kekeluargaan yang terjalin antara pegawai dan sang empunya tempat, Rima Melati.
"Lagi pula saya kira, saya masih dibutuhkan di sini. Meski nanti pasti ada saatnya saya pensiun. Mungkin tak lama lagi," tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz