tirto.id - Soeharto baru mengundurkan diri satu hari ketika Prabowo Subianto dan B. J. Habibie berselisih. Prabowo keberatan harus digeser dari Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI (Danseskoad). Meski bagi seorang tentara perintah pemimpin negara adalah mutlak, dan ketika itu Habibie-lah presidennya, ia tetap tak puas. Bagi Prabowo jabatan itu terlalu prestisius untuk ditanggalkan begitu saja.
“Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya,” kata Prabowo seperti yang dituturkan ulang Habibie dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006). Kala itu Prabowo masih berstatus menantu Soeharto.
Sebelumnya Habibie mendapat laporan dari Panglima ABRI saat itu, Wiranto, bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad ke kediamannya di Kuningan dan Istana Merdeka. Habibie khawatir gerakan itu bisa berujung kudeta. Prabowo sendiri mengaku dia hanya “bermaksud mengamankan Presiden.” Tapi pembelaan diri itu tidak membuat Habibie bergeming.
“Itu (mengamankan presiden) adalah tugas Pasukan Pengaman Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda,” timpal Habibie. Dia ingin pasukan Kostrad--yang tak jelas jumlahnya itu--segera ditarik ke basis masing-masing.
Prabowo tetap mencoba mempertahankan kuasanya atas Kostrad. “Atas nama ayah saya Prof Sumitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto,” kata Prabowo, “saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad.” Namun keputusan Habibie sudah bulat. Prabowo tetap didepak dan Pangkostrad akhirnya beralih ke Johny Lumintang, Akabri 1970.
Kostrad dibentuk oleh A. H. Nasution saat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tanggal 27 Desember 1960. Pasukan ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah mendesak, sengketa Irian Barat. Saat itu TNI belum punya pasukan tempur untuk mengatasi masalah berskala nasional. Awalnya Nasution memberi nama pasukan ini Korra-I CADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat). Pasukan dipimpin oleh Soeharto dengan pangkat brigadir jenderal pada 1961. Dua tahun kemudian, nama satuan ini berubah menjadi Kostrad.
Di tangan Soeharto pula tampak bagaimana posisi Pangkostrad itu sangat strategis. Pangkostrad secara tak langsung menjadi orang nomor dua di TNI dan Angkatan Darat. Ketika Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani diculik pada dini hari 1 Oktober 1965, Soeharto dengan mudah bisa menggerakkan pasukan tanpa persetujuan pihak mana pun lagi--sebuah tindakan yang akhirnya berujung kemarahan Sukarno.
Setelah itu jabatan Pangkostrad tetap juga berharga. Tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, begitu pula Dudung Abdurachman, Pangdam Jaya/Jayakarta sejak 27 Juli 2020 yang diangkat sebagai Pangkostrad oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto per 25 Mei 2021 menggantikan Eko Margiyono.
Dari Megawati hingga FPI
Peneliti militer Aris Santoso mengaku kecolongan dengan Pangkostrad baru ini, sebab biasanya nama-nama yang bakal mengisi jabatan strategis di Angkatan Darat sudah terpantau lama. Misalnya Andika Perkasa yang sekarang menjadi KSAD dan Eko Margiyono yang saat ini menjabat Kepala Staf Umum (Kasum) TNI. Sebelum menjabat Pangkostrad periode 27 Juli 2020–25 Mei 2021, Eko mendapat beberapa jabatan strategis seperti Gubernur Akademi Militer (2017-2018), kemudian menjadi Komandan Jenderal Kopassus (2018-2019), lalu sebagai Pangdam Jaya (2019-2020). Sedangkan salah satu faktor yang disorot dari Andika adalah ia menantu A. M. Hendropriyono, salah satu orang dekat Presiden Joko Widodo.
Dudung, di sisi lain, tidak semenonjol itu. Namanya baru masuk radar setelah menjabat dua tahun sebagai Gubernur Akmil (2018-2020), kemudian menjabat Pangdam Jaya. Baru di Pangdam Jaya inilah sebenarnya jalan Dudung sebagai Pangkostrad terbuka. “Karena Pangdam Jaya secara geografis dekat dengan presiden di ibu kota” kata Aris kepada Tirto, Jumat (5/6/2021).
Banyak tentara yang menempati kursi Pangdam Jaya kemudian beralih menjadi Pangkostrad. Dahulu ada Wiranto, kemudian Ryamizard Ryacudu, dan Bibit Waluyo. “Biasanya mereka punya kedekatan dengan presiden [kemudian dipercaya menjadi Pangkostrad].”
Posisi Pangkostrad biasanya ditempati orang kepercayaan presiden baik di masa Orde Baru maupun Reformasi. Wiranto dan Prabowo tentu tak disangsikan lagi merupakan orang kepercayaan Soeharto. Pramono Edhi Wibowo (Pangkostrad 2010–2011) juga adalah ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kostrad punya peran penting sebagai satuan tempur. Jika tugasnya tak beres, keutuhan republik bisa terancam dan posisi kepala negara pun goyah. Tidak heran belakangan Kostrad juga ditugaskan untuk mengatasi konflik bersenjata di Papua.
Dudung mulai menyorot perhatian publik saat menjabat Pangdam Jaya tidak lain karena komando-komandonya yang menunjukkan posisi berseberangan dengan Front Pembela Islam (FPI)--dan selaras dengan sikap pemerintah. FPI telah sejak bertahun-tahun lalu tampil sebagai oposisi jalanan Jokowi.
Dudung pertama-tama menertibkan baliho FPI dan pentolannya Rizieq Shihab di seantero Jakarta. Usai apel kesiapsiagaan pasukan, Jumat 20 November 2020, Dudung juga lantang bicara bahwa semestinya FPI “[di]bubarkan saja” karena mereka kerap bertindak seenaknya, “suka atur-atur sendiri.” Ini hanya sebulan berselang sebelum pemerintah resmi menetapkan FPI sebagai organisasi massa terlarang.
Militer sebenarnya adalah alat negara. Negara ini berbeda dengan para penguasa yang bagaimanapun memiliki kepentingan politik. Dalam konteks FPI, Dudung dituding melakukan yang sebaliknya. “Masalah politik negara saat ini yang penting menurut presiden. Selain masalah spanduk dan baliho adalah kekhawatiran presiden terhadap FPI,” kata Sekretaris Umum FPI Munarman--yang kelak diidentifikasi aparat terlibat jaringan teroris.
Tapi menurut Aris, terpilihnya Dudung tak sekadar faktor Jokowi. “Ada perbedaan tradisi pemilihan posisi [strategis] Angkatan Darat dan Panglima TNI sekarang dengan zaman Pak Harto. Dulu Soeharto itu firm karena dia berasal dari militer. Sekarang Pak Jokowi tidak menentukan sendiri karena dikelilingi oleh king maker.” Lagi pula keduanya tak pernah menjadi 'rekan kerja', tambahnya.
Menurutnya Dudung adalah orang yang dipilih berdasarkan pertimbangan orang-orang di sekeliling Jokowi, yang mengarah kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri. “Ada omongan kekerabatan Megawati dengan Dudung,” kata Aris.
Relasi Dudung dengan Megawati setidaknya terekam dalam dua peristiwa. Pertama saat Dudung menjabat Gubernur Akmil. Dia hadir dalam peresmian patung Soekarno di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah pada 7 Februari 2020. Dalam acara itu hadir Megawati, juga Puan Maharani, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Kepala BIN Budi Gunawan, serta KSAD Andika Perkasa. Hadir pula mantan Kepala BIN A. M. Hendropriyono, Kepala Bappilu PDIP Bambang Wuryanto, dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Dudung menyetir mobil golf untuk mendampingi Puan dan Megawati.
Kemudian, saat mendirikan Kampung Pancasila di Bekasi dengan tujuan membangun budaya toleransi, Dudung juga mengaku berkoordinasi dengan Megawati selaku Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Jalan Mulus Menanti Dudung
Aris mengatakan sebagian besar tentara yang menduduki posisi Pangkostrad selalu dipersiapkan untuk kepentingan yang lebih besar. Setelah menjabat Pangkostrad, jalan berikutnya biasanya adalah KSAD. Jenjang karier ini ditempuh Andika Perkasa, Wiranto, George Toisutta, Gatot Nurmantyo, Mulyono, dan Pramono Edhi Wibowo.
Dari KSAD, jabatan yang menanti berikutnya adalah Panglima TNI. Dari jajaran nama yang disebutkan di atas, tiga di antaranya memang akhirnya menjadi Panglima TNI. Andika Perkasa juga disebut-sebut tinggal menunggu waktu untuk jadi panglima.
“Kalau bahasa gampang, ini [Pangkostrad] transisi untuk jabatan lain yang lebih strategis. Wiranto dulu, kan, sudah disiapkan Soeharto menjadi KSAD. Akhirnya dia dipindah ke Kostrad dengan pangkat bintang tiga,” ucap Aris. “Memang [Kostrad] satuan tempur, tapi dia punya nilai politis juga.”
Hal serupa menurut Aris juga bakal terjadi pada Dudung. “Entah jadi KSAD atau apa, tapi dia akan jadi nominasi kuat untuk itu.”
Jika saja Prabowo tidak digeser karena peristiwa 1998, Aris yakin nasibnya akan sama seperti Wiranto, berakhir menjadi KSAD kemudian berpeluang besar jadi Panglima TNI. Kini giliran Dudung yang berkesempatan menempuh jalur sutra itu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino