tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan harga tiket pesawat di Indonesia saat ini paling mahal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Bahkan, kata dia, harga tiket penerbangan domestik juga termahal kedua setelah Brazil.
"Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berpenduduk tinggi, harga tiket penerbangan Indonesia jadi yang termahal kedua setelah Brazil," kata Luhut dalam keterangan di Instagram @luhut.pandjaitan, Kamis (11/7/2024).
Dalam penetapan harga tiket pesawat, pemerintah sebenarnya sudah mengatur melalui mekanisme pasar. Jika membaca kembali Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, dijelaskan bahwa ada faktor biaya pokok dalam penyusunan Tarif Batas Atas (TBA).
Biaya pokok TBA terdiri atas dua macam, yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung masih dibagi lagi menjadi biaya operasi langsung tetap dan biaya operasi langsung variabel.
Biaya operasi langsung tetap terdiri dari biaya penyusutan atau sewa pesawat; gaji tetap kru; gaji tetap teknisi; serta biaya pelatihan kru dan teknisi.
Sementara biaya operasi langsung variabel berupa biaya pelumas, bahan bakar, tunjangan kru, overhaul atau pemeliharaan, jasa kebandarudaraan, jasa navigasi penerbangan, jasa ground handling penerbangan, dan jasa katering.
Namun, klaim pernyataan tarif tiket pesawat RI termahal di ASEAN bahkan di dunia tidak bisa dibenarkan. Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, mempertanyakan metode yang digunakan Luhut untuk membandingkan harga tiket pesawat di Tanah Air dengan negara-negara lain.
“Di negara-negara lain itu harga tiket sesuai permintaan pasar, bisa sangat tinggi dan bisa sangat rendah sesuai season-nya,” ujar Gatot kepada Tirto, Kamis (18/7/2024).
Gatot mengatakan, jika mau membandingkan harga tiket di seluruh dunia, berarti harus disamakan dulu mata uang tunggal sebagai pembandingnya. Juga harus dilihat biaya-biaya yang dikeluarkan maskapai di masing-masing negara, misalnya harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya maintenance dan lain-lainnya.
“Kalau semua itu sudah dilaksanakan, baru bisa dibandingkan secara fair. Jadi memang harus dilihat dulu metode pembandingnya,” kata dia.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, juga tidak sepaham dengan klaim disampaikan oleh Luhut. Menurutnya, harga tiket di luar negeri sifatnya dinamis, naik dan turun tergantung musimnya. Pada saat ramai bisa sangat mahal, sebaliknya jika sepi justru harganya murah.
“Karena di luar negeri tidak ada TBA (Tarif Batas Atas) dan TBB (Tarif Batas Bawah). Sementara [di Indonesia] pemerintah sudah mengatur tarifnya murni melalui mekanisme pasar,” jelasnya.
Menurut Alvin, pernyataan Luhut juga tidak jelas dasarnya. Apakah data yang dipakai sebagai patokan untuk penerbangan full service atau Low Cost Carrier (LCC). Karena, kata dia, faktanya harga tiket pesawat RI bukan termahal di dunia.
“Pengalaman teman-teman saya yang sering tebang ke Eropa di Amerika Serikat, Amerika Selatan, bahkan di Afrika, mereka tidak merasakan harga tiket di Indonesia itu mahal. Di Eropa, di Amerika, dan Afrika itu tidak murah juga,” katanya.
Untuk menguji klaim Luhut, Tirto mencoba membandingkan harga tiket di Indonesia dengan di Amerika Serikat melalui Online Travel Agent (TOA). Perbandingan harga tiket ini diambil berdasarkan masing-masing penerbangan domestik dalam negeri, dengan ukuran jarak tempuh yang hampir berdekatan.
Tirto memulai mengecek menggunakan aplikasi Tiket.com untuk rute penerbangan Jakarta-Medan untuk keberangkatan periode Sabtu (20/7/2024). Jakarta-Medan ditempuh dengan waktu penerbangan kurang lebih 2 jam lebih 20 menit.
Hasil pencarian menampilkan tiga maskapai penerbangan dengan harga beda-beda. Harga tiket pesawat Jakarta-Medan menggunakan Super Air Jet dipatok sebesar Rp1,76 juta, Citilink Rp1,78 juta, dan Batik Air Indonesia Rp1,81 juta.
Sebagai perbandingan, Tirto juga mencari rute penerbangan domestik di Amerika Serikat dengan jarak tempuh dan jadwal keberangkatan yang sama. Hasil pencarian menunjukkan penerbangan New York City-Atlanta dengan waktu tempuh 2 jam lebih 12 menit dipatok sebesar Rp3,29 juta dengan menggunakan Delta Air Lines keberangkatan pukul (06.00 - 08.12 waktu setempat).
Harga yang ditawarkan ini menjadi termurah tergantung waktu keberangkatan jamnya. Karena dengan maskapai yang sama, keberangkatan pukul 11.15-14.14 harganya sudah Rp4,51 juta. Dari perbandingan ini saja bisa dilihat, harga tiket di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat masih lebih murah di Indonesia.
Sejurus dengan itu, hasil survei Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) terhadap Pola Konsumsi dan Perilaku Konsumen Penerbangan, dilakukan oleh Alvin Lie menunjukkan mayoritas responden konsumen industri aviasi ternyata memilih maskapai berdasarkan harga tiketnya. Hal itu diwakili 22 persen responden, disusul opsi ketepatan waktu (21,6 persen) dan rute (19,7 persen).
Artinya, konsumen menggunakan jasa penerbangan berdasarkan prioritas harga tiket. Semakin murah harga tiket, semakin menarik bagi konsumen. “Ini relatif, jadi kalau dinilai mahal mungkin karena dibandingkan dengan daya beli masyarakat kita. Bagi yang mampu beli tiket itu wajar,” katanya.
Meski harga tiket pesawat kerap dikeluhkan masyarakat melalui media sosial, lebih dari setengah dari total responden Apjapi (59,8 persen) menilai tarifnya masih berkategori wajar. Hanya 21,5 persen yang beranggapan harga tiket pesawat mahal. Ini semakin menguatkan bahwa harga tiket di RI masih dalam batas aman, terlebih juga diatur dalam TBA dan TBB.
Survei Apjapi dilakukan pada 7.414 responden di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (Banten), I Gusti Ngurah Rai (Bali), Juanda (Jawa Timur), Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), serta Kualanamu (Sumatera Utara). Penelitian berlangsung pada 29 Januari-4 Februari 2024 melalui statifiedsampling secara acak. Tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error 1,14 persen.
Solusi Atas Harga Tiket Pesawat
Di luar pernyataan soal tiket pesawat yang mahal, pemerintah menyiapkan beberapa langkah untuk efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket. Misalnya, melalui evaluasi operasi biaya pesawat. Cost Per Block Hour (CBH) yang merupakan komponen biaya operasi pesawat terbesar, perlu diidentifikasi rincian pembentukannya.
"Kami juga merumuskan strategi untuk mengurangi nilai CBH tersebut, berdasarkan jenis pesawat dan layanan penerbangan," ujar Luhut.
Selain itu, Luhut juga berencana mengakselerasi kebijakan pembebasan bea masuk dan pembukaan larangan dan pembatasan (lartas) barang impor tertentu, untuk kebutuhan penerbangan di mana porsi perawatan berada di 16 persen porsi keseluruhan setelah avtur.
Lebih lanjut, mekanisme pengenaan tarif berdasarkan sektor rute, berimplikasi pada pengenaan dua kali tarif PPN, luran Wajib Jasa Raharja (IWJR), dan Passenger Service Charge (PSC), bagi penumpang yang melakukan transfer/ganti pesawat.
Mekanisme perhitungan tarif perlu disesuaikan berdasarkan biaya operasional maskapai per jam terbang, yang akan berdampak signifikan mengurangi beban biaya pada tiket penerbangan.
Menurut Luhut, pemerintah juga akan mengkaji peluang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk beberapa destinasi prioritas. Seluruh langkah tersebut selanjutnya akan dikomandoi langsung oleh Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional.
"Mereka akan mengevaluasi secara detail harga tiket pesawat setiap bulannya," terangnya.
Untuk mengakomodasi itu semua, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat sebagai tindak lanjut untuk menciptakan harga tiket pesawat yang lebih efisien di Indonesia.
Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) menyambut baik upaya pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya dalam industri penerbangan nasional.
Dengan penurunan biaya tersebut, diharapkan maskapai mendapat margin keuntungan dari operasionalnya sehingga maskapai dapat menyelenggarakan operasional penerbangan dengan baik dan membantu pemerintah dalam mengembangkan konektivitas penerbangan nasional.
“Saat ini biaya-biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 2019. Akibatnya maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekadar dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan usahanya,” ujar Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja, dalam keterangannya dikutip Tirto, Kamis (18/7/2024).
Menurut Denon, biaya-biaya tinggi yang berasal dari operasional maupun non operasional penerbangan harus dikurangi atau dihilangkan. Biaya tinggi dari operasional penerbangan misalnya adalah harga avtur yang lebih tinggi dibanding negara tetangga, adanya antrian pesawat di darat untuk terbang dan di udara untuk mendarat yang berpotensi boros bahan bakar, biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan dan lain-lain.
Sedangkan biaya tinggi dari non operasional penerbangan, misalnya berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda.
“Saat ini pajak dikenakan mulai dari pajak untuk avtur, pajak dan bea untuk pesawat dan sparepart seperti bea masuk, PPh impor, PPN dan PPN BM spareparts, sampai dengan PPN untuk tiket pesawat. Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” kata Denon.
Ia juga mengatakan bahwa sebagian besar biaya penerbangan terpengaruh langsung maupun tidak langsung dari kurs dolar AS. Dengan demikian semakin kuat nilai dolar AS terhadap rupiah, maka biaya penerbangan akan ikut naik.
“Hal ini juga harus diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya bersama,” ujarnya.
Selain itu, biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/ PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket juga membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi. Penumpang tidak mengetahui bahwa PSC itu bukan untuk maskapai tetapi untuk pengelola bandara.
"Namun karena berada dalam satu komponen, maka penumpang menganggap itu adalah bagian tiket pesawat dari maskapai,” ujar Denon.
Di luar dari niat baik pemerintah, Gatot Rahardjo justru berpandangan bahwa efisiensi menurunkan harga tiket untuk jangka pendek agak sulit. Karena banyak aturan yang harus diubah dan itu berbentuk Undang-Undang dari berbagai Kementerian.
"Salah satu contohnya terkait berbagai pajak dan bea masuk yang ada di industri ini, misalnya dari pajak avtur, pajak sewa pesawat, pajak spareparts sampai dengan pajak di tiket. Itu kan diatur di Undang-Undang Perpajakan," kata Gatot.
Juga soal tarif, kata Gatot, diatur di Undang-Undang Penerbangan. Maka, kalau mau diubah agak susah, kecuali presiden turun tangan mengeluarkan Perpres. Menurutnya harus ada political will yang kuat dari pemerintah paling atas.
"Kalau hanya sebatas menteri sepertinya sulit karena ini masalahnya antar kementerian dan lembaga. Jadi Satgasnya itu harus punya kewenangan yang kuat di atas kementerian, anggotanya juga harus semua stakeholder penerbangan, dan program kerjanya harus jelas," ungkapnya.
Pun menurutnya, kalau mau efisiensi harus disisir mulai biaya terbesar dari harga tiket yaitu avtur. Kemudian pajak-pajak dikurangi atau dihapus, ini akan membuat mekanisme sewa pesawat dari lessor luar negeri menjadi lebih ringan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi