tirto.id - Tangan kiri pria itu mengapit pianika. Pada pergelangan tangannya menggantung plastik berisi air minum. Ia menggembol tas kecil berwarna merah muda, dengan karakter Disney Tsum-Tsum.
Saya dan dia beriringan dari Patung Kuda ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Sesekali saya melontarkan pertanyaan kepadanya.
“Bukan soal demonstrasi, ini soal akidah. Syariat dan akidah. Tidak bisa ditawar.”
Galib, begitu ia mengenalkan dirinya kepada saya, tinggal di Tambora, Jakarta Barat. Ia adalah satu dari sekian banyak peserta demonstrasi bela tauhid yang diselenggarakan bakda salat Jumat (26/10/2018). Tidak ada angka presisi untuk menyebutkan jumlah orang yang berkumpul di kawasan Patung Kuda itu. Polisi menyebutnya 1.000 orang. Mungkin lebih, mungkin kurang.
Sebagian besar dari mereka mengenakan setelan putih-putih, tapi hawa panas tetap terasa. Galib, juga saya, saban semenit sekali menyeka keringat.
Apa yang mempersatukan mereka semua adalah pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid (versi lain menyebut bendera Hizbut Tahrir Indonesia, tergantung Anda menafsirkannya) di Garut, saat peringatan Hari Santri Nasional pada Senin 22 Oktober lalu.
Sepanjang jalan dari Masjid Istiqlal hingga Kemenko Polhukam teriakan “Allahu Akbar” terdengar berulang-ulang. Ini beda dengan, misalnya, aksi serupa bertajuk 411 yang pernah saya liput. Kala itu, peserta aksi kerap mengumpat dan malah mengancam semisal “Bunuh penista agama!”
Membela Islam adalah alasan Galib turut turun ke jalan. Sejak demonstrasi menggulingkan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pada 2016-2017, Galib tidak pernah absen berdemonstrasi.
“Demo 411, 212, semua saya ikut. Ini bukan sekadar solidaritas.” “Kami harus berani menyuarakan kebenaran, jangan takut kepada siapa pun karena kami membela Islam,” tambahnya.
Di sela perbincangan kami, ia turut meneriakkan takbir jika ada aba-aba “takbir!” terdengar dari mobil komando.
“Allahu Akbar!” katanya sembari mengepalkan tangan ke udara.
Galib punya beberapa anak. Dua di antaranya perempuan. Hari ini, dia dan anak perempuannya turun ke jalan. Tapi Galib mengaku tidak pernah memaksa dan tidak mengarahkan kedua putrinya untuk ikut. Semua atas kehendak anaknya.
“Aku mau dengerin ceramah,” kata bocah sembilan tahun itu ketika saya tanya alasannya ikut aksi. Huzaimah namanya. Dia baru duduk di kelas 3 SD.
“Abi, berat,” ujar Huzaimah sembari menyerahkan tongkat ke bapaknya. Ia kerepotan ketika harus membawa tongkat berukuran dua meter yang ujungnya diikatkan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid sembari berjalan.
Intan Medina, 11 Tahun, anak Galib yang lain, turut menjadi massa. Ia hanya tersenyum ketika saya tanya hal yang sama. “Jangan takut bersuara kalau benar untuk membela Islam,” kata Galib kepada Intan.
Intan dan Huzaimah haus. Kami berhenti di tengah kerumunan massa. Galib mengeluarkan botol minum dan melanjutkan obrolan dengan saya.
Dia bercerita sudah menjual tiga unit motornya untuk membiayai tetangganya ikut serta dalam aksi. Dia punya satu mobil lain. Hendak dijual pula, tapi belum ada yang mau beli. Sikapnya ini, tentu saja, diprotes istri.
Ketiganya kembali merapatkan barisan, berkerumun, dan meneriakkan takbir lagi.
Yang Penting Barang Habis Duit Kumpul
Peserta demonstrasi ternyata tidak cuma dari Jakarta. Saya menjumpai ada yang berasal dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Irwan namanya. Dia, dan empat kawannya yang lain, tiba di Ibu Kota Jakarta, kemarin siang.
“Kami siap bela Islam,” katanya sebelum bergegas meninggalkan saya.
Sedangkan Baron, pria asal Bogor, malah melihat kesempatan bisnis dalam aksi. Ia adalah ‘penyuplai’ atribut massa. Dijualnya topi, ikat kepala, pin dan kaos, yang semuanya bertuliskan kalimat tauhid. Baginya, seperti para pedagang pada umumnya, yang penting dagangannya habis.
“Saya jual barang-barang ini biar mereka makin semangat,” katanya yang berjualan di atas trotoar seberang gedung Pertamina sejak pukul 8 pagi.
Demonstrasi berakhir ketika perwakilan massa, yang jumlahnya tujuh orang, bertemu Sekretaris Kemenko Polhukam Agus Surya Bakti. Dalam pertemuan itulah mereka menuntut Menko Polhukam Wiranto mengadili pembakar bendera tauhid sekaligus membubarkan Banser—yang anggotanya membakar bendera.
“Paling lambat pekan depan. Kalau tidak kami akan menggelar aksi lagi. Akan terus menuntut,” kata Yusuf Martak, perwakilan massa sekaligus Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino