tirto.id - Luhut Binsar Pandjaitan memastikan pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) di Bali, pada 8-14 Oktober 2018 tetap digelar meskipun muncul desakan dibatalkan usai gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Luhut menegaskan pertemuan IMF di Bali tak akan menjadi penghambat bagi proses rehabilitasi di Palu, Donggala, dan sekitarnya.
Luhut merupakan Ketua Panitia Nasional pertemuan tahunan (Annual Meeting) IMF-World Bank tahun ini. Ia menyebut bila agenda IMF di Bali nanti bisa menjadi ajang untuk mencari bantuan internasional serta bertukar pengalaman soal mitigasi bencana.
"Jangan pikir Indonesia saja [yang gempa]. Saya pikir Indonesia bisa jadi leader untuk mengedepankan ini [mitigasi bencana], karena belum pernah dibicarakan [di pertemuan IMF]," kata Luhut di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Selasa (2/10/2018).
Luhut menyebut pemerintah telah mengeluarkan biaya cukup besar untuk persiapan pertemuan itu. Pemerintah, disebut Menko Maritim ini, juga telah mengantisipasi kemungkinan terburuk semisal bila gempa terjadi di Bali atau Bandara Ngurah Rai harus ditutup karena erupsi Gunung Agung.
Anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk pertemuan tahunan IMF di Bali memang cukup fantastis, lebih dari Rp1,1 triliun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan memperkirakan dana untuk mendukung pertemuan IMF-WB 2018 mencapai Rp6,9 triliun.
Anggaran yang cukup besar itu disiapkan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur di beberapa destinasi. Di antaranya untuk keperluan pembangunan underpass Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Benoa, Patung Garuda Wisnu Kencana, dan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung hingga mencapai Rp4,9 triliun.
Pengeluaran besar tersebut ditargetkan setimpal dengan manfaat yang diperkirakan diperoleh Indonesia sebagai tuan rumah dari IMF-WB. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, pemerintah memperhitungkan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan Annual Meeting IMF-World Bank sebesar 2,985 juta dolar AS atau senilai Rp44,4 miliar.
Susiwijono yang juga menjadi Ketua Pelaksana Harian Pertemuan IMF-World Bank nilai, PNBP tersebut diperoleh hanya dari biaya sewa ruangan yang dibayar negara peserta. Sementara, jumlah ruangan yang disewakan terdapat 597 ruangan dengan biaya sewa per ruangan kira-kira 5 ribu dolar AS.
"Potensi PNBP tersebut belum dihitung dengan potensi penerimaan dari hal yang lain, seperti sektor pariwisata, UMKM, kuliner, hingga kesepakatan yang diraih dengan negara terkait selama acara berlangsung," kata Susiwijono di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (1/10/2018).
Keuntungan yang bisa didapat Indonesia ini juga pernah disampaikan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, pada 17 September 2018. Ia memprediksi pertemuan IMF ini memberikan dampak langsung bagi perekonomian Bali sebesar 0,64 persen atau sebesar 6,54 persen untuk angka pertumbuhan ekonominya.
Beberapa sektor yang turut kena dampak positif dari pertumbuhan ini antara lain: konstruksi, perhotelan, makanan dan sektor lain-lain.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Pieter Abdullah Redjalam menilai kegiatan IMF-WB memang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi dalam negeri, baik secara langsung maupun tidak. Salah satunya, kata dia, adalah meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara ke Bali selama gelaran acara.
"Yang jelas jumlah peserta IMF-WB dari 189 negara, dan itu mulai dari menteri keuangan, gubernur bank sentral negara-negara, dan pejabat-pejabat penting, luar biasa besar. Kita anggap saja mereka turis yang datang. Tentu dampak ke perekonomian kita sungguh besar bagi Bali dan Indonesia secara keseluruhan," kata Pieter kepada Tirto.
Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi dari INDEF, Abra Talattov. Ia menilai dengan pertemuan IMF-WB di Bali ini, pemerintah dapat menggenjot pencapaian realisasi investasi kategori penanaman modal asing (PMA) pada tahun ini. Pada semester I/2018, kata dia, realisasi investasi mencapai 47,3 persen dari target realisasi Rp765 triliun.
"Dengan IMF-WB realisasi investasi di Semester II/2018 bisa menembus target tersebut," kata Abra kepada Tirto, Selasa kemarin.
Untuk mendapatkan potensi tersebut, kata Abra, pemerintah harus betul-betul dapat meyakinkan para calon investor asing. Menurutnya, sektor investasi yang mungkin dapat menarik dan penting adalah infrastruktur dan wisata. Selain itu, mengingat belum lama ini terjadi bencana gempa dan tsunami di Sulteng, maka investasi terkait teknologi mitigasi bencana juga menjadi hal yang penting untuk dibahas.
"Investasi di bidang mitigasi bencana itu guna menjadi modal awal untuk membangun sektor-sektor ekonomi lain ke depannya, karena [investor] bisa yakin kalau pemerintah sudah punya tipe pembangunan jangka panjang dengan antisipasi bencana," kata Abra.
Selain itu, kata Abra, pemerintah juga dapat memanfaatkan pertemuan tahunan IMF ini untuk menarik investor membangun kembali Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sebagian daerahnya rusak akibat bencana gempa.
Target BKPM
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong berencana memanfaatkan pertemuan tahunan IMF di Bali untuk membahas pembangunan infrastruktur tahan bencana alam.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/10/2018), Thomas menjelaskan BKPM bekerja sama dengan PT Bank HSBC Indonesia akan menyelenggarakan Forum Infrastruktur di Jimbaran, Bali, pada 11 Oktober 2018, sebagai rangkaian kegiatan pertemuan tahunan tersebut.
"Event HSBC-BKPM, tentunya adalah soal pembiayaan infrastruktur. Aspek yang jadi menarik bagaimana memastikan infrastruktur dari kemungkinan bencana alam. Saya pribadi ingin memanfaatkan peluang IMF-WB untuk membicarakan aspek bencana," kata Thomas seperti dikutip Antara.
Thomas menjelaskan seiring dengan bertumbuh ekonomi serta kondisi geografis Indonesia, industri sektor penanggulangan bencana harus mendapat perhatian, baik dari sisi pendanaan maupun sektor keuangan secara umum.
Menurut dia, Indonesia sudah saatnya mengambil pelajaran dari bencana gempa di Lombok, dan gempa Donggala dan Palu yang diikuti tsunami, dengan memperkuat infrastruktur yang tahan gempa. Sarana dan prasarana seperti listrik dan telekomunikasi harus diperhatikan dari segi ketahanan gempa.
Apalagi, setelah seluruh infrastruktur yang terdampak gempa dan tsunami memasuki masa rekonstruksi, bangunan harus memenuhi standar ketahanan bencana alam, baik gempa bumi, tsunami, banjir hingga badai.
Dari segi pembiayaan, Thomas menambahkan industri penanggulangan bencana dapat dimulai dari inovasi produk keuangan, seperti asuransi terhadap kesiapan bencana.
"Ini mungkin bisa dibantu dari sektor keuangan, melalui kalkulasi hitungan dalam kriteria pendanaan, asuransi kesiapan bencana, misalnya bagaimana mendanai stok-stok barang yang diperlukan," kata dia.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz