Menuju konten utama

Menghindari Celaka saat Mudik Memakai Bus

Masa mudik telah tiba. Jutaan perantau akan berbondong-bondong meninggalkan kota menuju kampung halaman demi bertemu dengan kerabat dan sanak saudara saat lebaran esok. Tak peduli macet panjang merembet, mudik serasa sebuah kewajiban yang mesti ditunaikan.

Menghindari Celaka saat Mudik Memakai Bus
Bus Kramat Djati yang mengalami kecelakaan di Jalur Pantura, Kertasmaya, Indramayu, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

tirto.id - Mudik lewat jalur darat dengan menggunakan kendaraan pribadi atau umum masih jadi pilihan utama ketimbang memakai pesawat, kereta api, atau kapal laut.

Apalagi jika mudik itu dilakukan memakai kendaraan pribadi, seperti mobil atau motor. Biaya perjalanan bisa ditekan. Namun bagi mereka yang memilih bersantai saat perjalanan, pilihannya tertuju naik kendaraan umum seperti bus dan kereta api.

Opsi kedua teramat sulit, karena tiket kereta api harus jauh-jauh hari di pesan dan jumlahnya pun terbatas. Beda hal dengan bus, yang di mana soal kehabisan tiket itu bisa dinegosiasikan kembali, entah itu membeli tiket pada tukang catut atau bermudik ria secara estafet.

Statistik Bus Lebih Aman

Data Kementerian Perhubungan mencatat dalam konteks kendaraan umum, pengguna bus saat mudik masih yang tertinggi. Rerata jumlah penumpang berpergian memakai bus pada periode arus mudik berkisar 2,5 juta orang tiap tahunnya. Survei Kemenhub pada tahun lalu menyebut secara umum alasan pemudik menggunakan bus umum adalah karena faktor kenyamanan (28,44%), mudah (27,44%), murah (24,50%).

Data Korps Lalu Lintas Mabes Polri menjelaskan memakai bus lebih aman ketimbang memakai mobil atau motor. Tahun lalu kecelakaan mobil penumpang pribadi mencapai 21.304 kasus dan motor 119.560 kasus. Sedangkan bus 4.893 kasus.

Dalam konteks mudik, dari 3.049 kecelakaan di jalan raya saat mudik, yang menimpa bus hanya 400 kasus. Fakta ini menjadi dasar pemerintah dan banyak perusahaan memfasilitasi secara cuma-cuma para pemudik dengan program mudik gratis memakai bus.

Namun, ini bukan berarti naik bus saat mudik nyawa anda tak akan melayang. Kabar buruk datang saat mudik 2015 ketika 12 orang meregang nyawa dalam kecelakaan tunggal bus RO Rukun Sayur di jalan tol Palimanan-Kanci, Cirebon. Di Temanggung, kecelakaan bus PO Santoso mengakibatkan empat orang meninggal dunia, 12 orang luka berat, dan 17 orang luka ringan.

Masa depan siapa yang tau. Kita tak bisa menebak bus yang kita tunggangi akan kena celaka atau tidak. Tetek bengek hal-hal teknis seperti rem yang blong, kopling yang aus, stir yang rusak hanya supir bisa merasakannya. Namun, untuk meminimalisasi dampak dari sebuah kecelakaan kita sebenarnya bisa jauh-jauh melakukannya, dengan cara selektif memilih letak posisi duduk.

Depan dan Belakang Sama Saja Berbahaya

Duduk di barisan paling depan adalah posisi paling berbahaya. Prediksi dari University of Buffalo yang mengumpulkan data dari 60.000 kecelakaan di Amerika Serikat memprediksikan tingkat luka parah atau kematian saat duduk kursi barisan depan mencapai 86 persen.

Kebanyakan kecelakaan bus berimbas pada kerusakan parah di bagian depan, dengan body yang penyok atau ringsek. Kecelakaan bis di Indonesia mayoritas disebabkan oleh kesalahan supir, entah dia lalai karena ugal-ugalan dan kebut-kebutan ataupun suntuk mengantuk. Wajar jika kondisi kecelakaan didominasi oleh posisi bus yang menubruk.

Dengan duduk di barisan depan maka anda berisiko terlempar saat benturan, sebabnya tubuh tak terikat sabuk pengaman. Dalam kondisi tabrakan yang parah, penumpang di bagian depan pun berpotensi terhimpit oleh body depan bus yang penyok.

Namun risiko terbesar duduk di barisan depan adalah terkena pecahan kaca. Ukuran yang begitu luas membuat kaca akan pecah total saat tubrukan terjadi. Serpihan-serpihan kaca berisiko menembus daging dan tubuh jika kita telat menunduk saat tabrakan.

Dalam soal konstruksi Ann Diana seorang blogger dan pemerhati bus menjelaskan bagian depan cenderung hal yang paling lemah. Terlebih mayoritas bus di Indonesia bukan bertipe monocoque yang kerangka bawah dan bagian bodynya menyatu.

Keuntungan monocoque adalah kemampuan menghasilkan crumple zone, daerah aman ketika terjadi benturan. Pengelasan monocoque biasanya di lakukan di pabrik bus tersebut. Sedangkan bus-bus di Indonesia yang konstruksi chasisnya memakai ladder frame atau modular konstruksi tiang-tiang kerangka dari bus itu dilas secara manual di karoseri.

Kelemahan ini membuat bus tidak hanya rawan di bagian depan, bagian belakang pun punya resiko yang sama. Pada beberapa kasus, kondisi bus yang hancur malah ada di bagian buntut – sebabnya ditubruk oleh kendaraan lain dari belakang.

Lantas kesimpulannya adalah dua posisi duduk yang meski dihindari adalah deretan kursi yang paling depan dan paling belakang. Seorang blogger traveller terkenal di Australia, Bill Bogenschutz, menyarankan dua atau tiga deret kursi paling depan dan belakang usahakan dihindari demi meminimalisir efek dari kecelakaan.

Ann Diana merekomendasikan letak duduk yang paling aman berada di bagian tengah. Namun, jika melihat konstruksi chasis bus, letaknya di bagian tengah kebelakang, terutama kursi yang berada di atas roda belakang akan lebih kuat dan tebal. Namun efek duduk di atas roda tentunya akan menggangu kenyamanan karena getaran dan suspensi saat bus melaju cukup keras.

Duduk di Kiri atau Kanan?

Duduk di kiri atau kanan, mana yang lebih aman? Jika anda terpaksa duduk di deretan bangku depan, usahakan hindari duduk di sebelah kiri. Apa sebab? Kebanyakan kecelakaan biasanya diawali saat si supir hendak menyalip mobil di depannya dan mengambil lajur kanan.

Saat kaget dan dihadap-hadapkan pada kendaraan lain di lajur kanan yang berlawanan arah, secara reaktif si supir akan membanting mobil ke luar jalan di sisi kanan. Reflek ini tentunya untuk membuat posisi si supir tetap aman saat tabrakan terjadi. Namun, risikonya dia akan mengorbankan body mobil bagian kiri yang ditubrukan. (lihat grafis)

Meski begitu, ketua komunitas Bismania, Arief Kurniawan memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya jika menilik karakter supir bus di Indonesia yang cenderung egois, saat momen di atas terjadi supir akan lebih memilih membanting mobil ke arah kiri – menolak untuk berkorban ke luar di jalur kanan dan memilih memepet mobil yang hendak di salip di bagian kiri.

Kejadian di atas biasanya terjadi di lintas yang tak dipasang beton pemisah jalan, seperti lintas sumatera, lintas pantai selatan jawa atau di daerah pegunungan. Tabrakan maut adu banteng tak akan terjadi pada jalan yang memiliki dua jalur dengan pemisah, misalnya jalur pantura.

Namun, tak selamanya jalur di pantura itu memilik beton pemisah bukan, karena itu duduk di sebelah kanan – sejajar dengan duduk supir itu lebih direkomendasikan. Toh, secara posisi pun setidaknya tubuh sang sopir bisa dijadikan tameng hidup sebelum tabrakan terjadi.

Arief sendiri kesulitan menjawab saat ditanya memilih posisi duduk teraman di kiri atau kanan. “Ini pertanyaan sulit. Relatif sih. Dalam beberapa kasus ada hancur di bagian kanan, ada pula di bagian kiri. Tergantung si supir itu bantingnya ke mana,” kata dia.

Meski begitu, tak peduli kiri atau kanan, Arief mewanti-wanti posisi berbahaya saat kecelakaan adalah penumpang yang ada di samping kaca – tak peduli dia duduk di depan, tengah atau belakang sekalipun. “Ya terkena pecahan kaca. Saat bis terguling pada beberapa kasus banyak keluar bis setelah kaca pecah lalu kemudian kejepit,” katanya.

Pada arus mudik biasanya sulit bagi kita untuk menentukan posisi kursi sesuai kehendak. Jikapun kedapatan duduk di kursi deretan depan kita tak perlu panik. Posisi yang dekat supir membuat kita dengan mudah memperingatkannya jika dia mengemudikan bus secara tidak benar. Selamat mudik.

Baca juga artikel terkait BUS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan