Menuju konten utama

Menghidupkan Spesies Punah, Kebutuhan yang Melanggar Etika?

Manakah yang sebenarnya lebih penting, awapunah ataukah konservasi?

Menghidupkan Spesies Punah, Kebutuhan yang Melanggar Etika?
Patung Ibex di pegunungan Gora, Slovenia. AP Photo/Darko Bandic

tirto.id - Ibex pyrenea (Capra pyrenaica pyrenaica) adalah spesies kambing gunung liar yang dulu umum ditemukan di daerah pegunungan Pyrenees di Spanyol dan Perancis. Sayangnya, populasi hewan yang oleh orang Spanyol disebut bucardo ini merosot drastis karena perburuan sejak abad ke-19.

Laman warta Telegraph menyebut bahwa populasi bucardo hanya tersisa 100 individu pada paruh kedua abad ke-20. Satwa ini akhirnya dinyatakan sebagai satwa dilindungi pada 1973. Namun, hal itu tak menghentikan laju kepunahan spesies ini. Di Taman Nasional Ordesa, Distrik Aragon, Spanyol—suaka terakhir Bucardo di habitat aslinya—pada 1981 dilaporkan hanya ada 30 individu yang tersisa.

Lalu pada April 1999 kelompok ilmuwan menangkap individu bucardo terakhir, seekor betina yang dinamai Celia. Para peneliti itu mengambil jaringan kulit Celia dan membekukannya dalam nitrogen cair. Beberapa bulan kemudian Celia ditemukan mati tertimpa batang pohon yang tumbang. Pada 2000, bucardo dinyatakan punah.

Berselang tiga tahun kemudian, Juli 2003, tim ilmuwan gabungan dari Spanyol dan Perancis pimpinan dokter hewan Alberto Fernandez-Arias dan Jose Folch dikabarkan berhasil menghidupkan kembali bucardo yang telah punah.

Jose Folch memanfaatkan sel Celia yang telah diawetkan. Tim ilmuwan ini menyuntikkan inti sel Celia ke dalam sel telur kambing yang telah dibuang DNA kambingnya. Kemudian mereka menanamkan telur ke rahim 57 induk pengganti: kambing hasil persilangan antara ibex Spanyol dan kambing biasa. Tujuh indukan berhasil bunting.

Dari tujuh kambing yang bunting itu hanya satu yang berhasil melahirkan klon dari Celia. Sayangnya, bucardo hasil kloning itu mati hanya sepuluh menit setelah dilahirkan.

“Saat Fernandez-Arias memengang anak bucardo yang baru lahir itu, dia melihat bahwa satwa tersebut sulit bernapas. Meskipun mendapat napas bantuan, klon Celia itu mati sepuluh menit kemudian. Bedah nekropsi kemudian mengungkapkan bahwa di salah satu paru-parunya tumbuh lobus tambahan yang besar dan padat seperti hati,” tulis Carl Zimmer dalam artikel “Menghidupkan Kembali” yang terbit di National Geographic (April 2013, hlm. 48).

Itulah momen pertama ide awapunah spesies—usaha menghidupkan kembali spesies yang telah punah—pertama kali berhasil dilakukan. Kini, dengan kemajuan teknologi, awapunah spesies bukan lagi sekadar fiksi. Bukan hanya bucardo, satwa lain yang punah akibat ulah manusia pun bisa saja kembali dihidupkan.

Bagaimana Kemungkinannya

Gagasan awapunah spesies mulanya dieksplorasi pada awal abad ke-20. Tekniknya berkembang dari teknik pembiakan selektif pada ternak yang telah digunakan manusia selama berabad-abad untuk mengembangkan hewan dengan sifat yang diinginkan.

Ensiklopedia Britannica menyebut bahwa pada 1920-an dan 1930-an, ahli zoologi Jerman Lutz dan Heinz Heck mencoba mengawinsilangkan berbagai jenis sapi modern untuk membiakkan kembali hewan yang menyerupai auroch (Bos primigenius)—nenek moyang sapi liar Eropa yang sudah punah. Percobaan ini gagal karena tak didukung pengetahuan dan teknik genetika yang memadai.

Teknik dan peralatan yang memungkinkan para ilmuwan mengisolasi dan menganalisis DNA dari jaringan hewan yang mati baru muncul pada akhir abad ke-20. Berkat ini ilmuwan akhirnya bisa mengidentifikasi sapi yang memiliki kemiripan genetik terdekat dengan auroch. Ditunjang dengan teknologi fertilisasi in-vitro (bayi tabung), ilmuwan menggabungkan sperma dan telur sapi ini untuk membiakkan hewan yang secara morfologis dan genetis mirip aurochs. Hewan itu lalu disebut tauros.

Kemajuan lain yang menunjang awapunah spesies adalah teknologi rekonstruksi urutan genetik spesies yang punah dari spesimen yang bahkan tidak diawetkan. Sekarang teknologi pengeditan genom dengan penambahan dan penghapusan potongan DNA pun telah ada. Segala teknologi ini sudah sangat membantu ilmuwan untuk menghasilkan genom spesies yang ingin dihidupkan.

Kunci terakhir bagi pengawapunahan adalah perkembangan teknik somatic cell nuclear transfer (SCNT) pada awal 1990-an. Teknik SCNT inilah yang digunakan kloning mamalia pertama, domba Dolly pada 1996, dan tujuh tahun kemudian dimanfaatkan untuk mengawapunah bucardo.

“Ini hanya soal waktu dan uang, bukan lagi soal teknologi,” ujar Stephan C. Schuster, ilmuwan dari Pennsylvania State University, sebagaimana dikutip Tom Mueller dalam artikel “Formula Kebangkitan” yang terbit di National Geographic (Mei 2009, hlm. 41).

Metode dan Batasan

Ada beberapa spesies yang masuk dalam daftar kandidat awapunah selain bucardo. Spesies-spesies yang telah diteliti misalnya ada mammoth (mammuthus primigenius), merpati penumpang (Ectopistes migratorius), harimau Tasmania (Thylacinus cynocephalus) hingga katak eram lambung Afrika (Rheobatrachus silus).

Spesies-spesies punah lain agaknya tinggal menunggu waktu saja. Namun, meskipun ditunjang teknologi tinggi kita tak bisa berharap melihat dinosaurus hidup lagi laiknya di film Jurassic Park, karena teknik awapunah juga punya batasan.

Carl Zimmer menyebut bahwa batasan satwa yang bisa dihidupkan lagi adalah yang punah beberapa puluh ribu tahun dan meninggalkan fosil dengan sel utuh atau DNA yang cukup terawat. mamut punah sekira 4.000 tahun lampau dan merpati penumpang menghilang dari pandangan sekira awal abad ke-20. Jadi, keduanya masih memungkinkan.

Lain halnya dengan dinosaurus yang diperkirakan punah 65 juta tahun lalu. Kerusakan alami sel dan DNA dinosaurus yang selama itu tidak memungkinkan ilmuwan merekonstruksi genomnya. Hal inilah yang membuat ilmuwan tak mungkin menghidupkan dinosaurus.

Dalam artikel ”Should We Bring Extinct Species Back from the Dead?” yang ditulis untuk Science Magazine, jurnalis David Shultz menyebut ada tiga metode yang kini dikembangkan untuk awapunah spesies. Metode pertama adalah cara kuno pembiakan selektif yang diterapkan oleh Lutz dan Heinz Heck untuk menghidupkan lagi auroch.

Metode kedua adalah dengan kloning seperti yang diterapkan pada bucardo Celia. Metode kloning sayangnya hanya bisa diterapkan pada hewan yang baru saja punah atau terancam punah dalam waktu dekat. mamut dan merpati penumpang tidak memungkinkan untuk metode ini.

Metode ketiga dan yang paling mutakhir adalah dengan rekayasa genetika. Caranya dengan menyisipkan gen yang relevan dari spesies yang sudah punah ke dalam gen spesies lestari yang masih dekat kekerabatannya. Genom hibrida hasil “pengeditan” ini lalu diimplantasi ke induk pengganti atau dikembangkan di rahim buatan.

Metode rekayasa ini tak menghasilkan salinan genetika spesies yang punah, melainkan versi modern darinya. Ia tetaplah hewan modern, tetapi berperilaku laiknya spesies kerabatnya yang telah punah. Inilah metode yang dipakai untuk awapunah mamut dan merpati penumpang, kata Shultz.

Cara lainnya adalah dengan menyusun ulang genom dari nol. “Walaupun sejauh ini genom terbesar yang dapat dihasilkan baru seperseribu dari ukuran genom mamut,” tulis Tom Mueller.

Infografik Menghidupkan Kembali Spesies Punah

Haruskah yang Punah Dihidupkan Lagi?

Dalam film Jurassic Park, John Hammond mengawapunah serbaneka dinosaurus untuk membangun taman margasatwa impiannya. Juga mungkin mengesankan jika bisa melihat kawanan mamut atau harimau taring pedang dalam sebuah kebun binatang purba. Namun, awapunah tak dimaksudkan sekadar demikian.

“Jika ingin membangun kebun binatang, sebaiknya tak usah,” kata ahli ekologi Ben Novak seperti dikutip David Shultz. “Awapunah harus ditujukan untuk pemulihan dan fungsi ekologi.”

Kita harus ingat bahwa spesies-spesies yang punah, seperti mamut, punya fungsi ekologi di masanya. Ketika mamut punah padang rumput Arktik purba habitat mereka perlahan-lahan berubah jadi padang tundra dan taiga berlumut yang melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer.

Menurut ahli biologi Harvard George Church, menghidupkan lagi mamut diklaim bisa berarti memperlambat perubahan iklim. “Ada pelepasan karbon dioksida dua kali lebih banyak di tundra yang beresiko daripada di semua hutan dunia,” katanya dikutip David Shultz. Padang tundra yang tandus juga bisa dikembalikan jadi padang rumput yang subur.

Akan tetapi, menurut Carl Zimmer, yang sebenarnya lebih mendesak dilakukan adalah mencegah kepunahan massal. Bagaimanapun, proses awapunah menelan banyak biaya dan waktu, sementara urgensinya rendah. Awapunah akhirnya hanya mengalihkan kita dari tugas besar yang semestinya dilakukan: konservasi.

Dan lagi, spesies-spesies yang punah itu telah kehilangan habitat aslinya. Jika pun spesies awapunah bisa hidup di habitat baru, hal ini juga membikin masalah-masalah baru. Bisa saja spesies rekayasa itu menjadi inang bagi virus yang justru bisa memusnahkan spesies lain.

Masalah lain yang menghampir tentu saja soal etika. Sebagian orang menentang ide awapunah ini karena dianggap menyamakan diri dengan Tuhan. Karenanya, pakar DNA purba dari Copenhagen University Tom Gilbert, sebagaimana dikutip Tom Mueller, memberi kita satu pertanyaan terkait bijak atau tidaknya menghidupkan kembali spesies yang telah punah.

“Jika kita dapat mengklon mamut, kita dapat mengklon semua yang telah mati, termasuk nenek kita. Tapi apakah kita benar-benar ingin menghidupkan kembali nenek kita yang telah mati?”[]

Baca juga artikel terkait SPESIES PUNAH atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Teknologi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono