tirto.id - Kementerian Kebudayaan menggelar kegiatan “Semarak Budaya Indonesia” di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Jumat malam (13/12). Selain menjadi ajang perayaan atas diinskripsinya tiga warisan budaya Indonesia oleh UNESCO, acara tersebut juga menjadi ajang dirilisnya logo anyar Kementerian Kebudayaan.
“Ini kali pertama tiga warisan budaya Indonesia diinskripsikan sekaligus di pentas dunia, yakni reog Ponorogo, kebaya, dan kolintang,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Fadli menambahkan, memajukan kebudayaan adalah bagian dari pelaksanaan konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab itu, ia mengimbau agar segenap rakyat Indonesia turut menjaga dan merayakan kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa.
“Kita semua ingin budaya Indonesia yang begitu kaya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Semoga ‘Semarak Budaya Indonesia’ menjadi momentum yang memperkuat komitmen kita untuk terus menggemakan—echoes—budaya Indonesia di panggung dunia,” sambung Fadli.
Pasal 32 UUD berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Selasa (3/12), sidang UNESCO di Paraguay menginskripsi Pertunjukan Seni Reog Ponorogo sebagai Daftar Warisan Budaya berstatus Butuh Pelindungan Mendesak (List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguading).
Sehari berikutnya, Rabu (4/12), giliran kebaya yang masuk Daftar Perwakilan (Representative List) Warisan Budaya TakBenda. Inskripsi kebaya—meliputi pengetahuan, kemampuan, tradisi, dan praktik—diusulkan melalui mekanisme joint nomination oleh lima negara, yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Skema tersebut menjadikan kebaya sebagai warisan budaya Indonesia kedua setelah pantun yang diinskripsi bersama Malaysia pada tahun 2020.
Adapun kolintang merupakan alat musik asal Minahasa yang terdiri atas bilah-bilah kayu. Sekilas, bentuknya mirip saron tapi dengan bahan yang berlainan. Kolintang diajukan sebagai Nominasi Tambahan (Extended Nomination) atas Praktik dan Ekspresi Budaya terkait dengan balafon di Mali, Burkina Faso, dan Pantai Gading.
Pendek kata, kolintang dan balafon tak ubahnya "saudara kembar lintas benua". Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dalam bentuk, kunci, fungsi, dan bahan. Inskripsi atas kolintang dilakukan pada Kamis di Asunción, Paraguay (5/12).
“Inskripsi kolintang sebagai Warisan Budaya TakBenda mencerminkan nilai-nilai lintas budaya. Kolaborasi kita dengan Mali, Burkina Faso, dan Pantai Gading melalui keterkaitan kolintang dengan balafon menggambarkan bagaimana musik tradisional dapat menjadi jembatan antarnegara. Keputusan ini lebih dari sekadar penyesuaian strategis, ini menyoroti kebenaran yang indah tentang kemanusiaan sekalipun jarak Indonesia dan Afrika Barat berjauhan,” komentar Fadli Zon di Jakarta, Kamis (5/12).
"Semarak Budaya Indonesia" dimeriahkan oleh sejumlah pertunjukan, mulai dari reog Ponorogo, fashion show kebaya nasional, kolintang, serta opera yang dibawakan Indonesian National Orchestra.
Pemenang Logo Kementerian Kebudayaan
Kementerian Kebudayaan menggelar Lomba Desain Logo pada 16-24 November 2024 lalu. Pemenangnya, Reza Rasenda (31 tahun), berasal dari Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Logo dengan aksen anyaman berwarna emas tersebut menyisihkan 3.200 logo lainnya yang masuk ke meja panitia.
“Tema kontesnya ‘Merajut Budaya Membangun Bangsa’, jadi saya fokusnya mengambil motif-motif warsa di Indonesia. Warsa tuh kayak motif batik, tenun, dan lain-lain. Semua itu digabung menjadi satu objek, biar gak ada kecemburuan antar-suku, atau gak terlalu Jawa-sentris atau Kalimantan-sentris. Saya bikin satu objek yang bisa mewakili satu Nusantara, begitu,” kata Reza kepada reporter Tirto.id, sehabis acara.
Reza menerangkan, mengingat durasi lomba hanya sebentar, empat hari pertama ia gunakan untuk riset, dan empat hari berikutnya menggarap logo. Minggu sore (24/11), menjelang tenggat, barulah Reza mengunggah karyanya.
“Kontesnya mepet banget,” sambung Reza.
Disinggung soal kesannya memenangi lomba, Reza tersenyum lebar.
“Saya bangga bisa menjadi sejarah di Indonesia, mirip rasanya kayak teman saya yang menang sayembara logo IKN, feel-nya sama, karena kebudayaan kan mewakili Nusantara juga. Pokoknya susah diungkapkan dalam kata-kata. Apalagi saya dari Kalimantan, dari Kabupaten Kotawaringin Barat. Jadi harus berani sedikit-lah biar Kalimantan ke-notice,” papar Reza.
Memenangi lomba desain tingkat nasional, latar belakang pendidikan Reza justru tidak ada hubungannya dengan desain. Meski demikian, kiprahnya dalam industri kreatif terbilang mentereng.
“Saya dulu kuliah di Pertanian Kelapa Sawit Institut Pertanian Stiper Yogyakarta. Karena hobi, saya mendalami font, saya punya Bagerich Type Foundry. Jadi fokusnya jualan font,” sambung Reza.
Saat ini, akun Instagram @bagerich.type diikuti 14 ribu pengguna. Beberapa jenama yang pernah menggunakan jasa Bagerich—gabungan dua kata: Bageur (baik, bahasa Sunda) dan Rich (kaya, bahasa Inggris), antara lain Nike, Super Junior, Bring Me The Horizon, dan Rocket Rockers.
“Tahun kemarin klien kami adalah tim bola Olympique De Marseille,” kata Reza.
Logo Kementerian Kebudayaan bikinan Reza melambangkan kekayaan tradisi, kekuatan, budaya, serta warisan masyarakat Nusantara. Adapun dewan juri pada kegiatan tersebut adalah Prof. Dr. Bambang Wibawarta, Didit Hediprasetyo Prabowo, Ivan Chen, Franki Raden, Diana Nazir, M. Asrian Mirza, dan Abu Chanifah.
Atas kemenangannya, Reza berhak mendapatkan hadiah 100 juta rupiah. “Ini mungkin rezeki anak saya. Kebetulan istri sedang hamil anak ketiga,” pungkas Reza.
Editor: Zulkifli Songyanan