tirto.id - Akupunktur sebagai pengobatan alternatif dari Cina selama ini sering dikategorikan sebagai salah satu pseudosains. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memasukkan akupunktur sebagai terapi medis sejak dekade 80-an. Bahkan, kegunaannya meluas hingga sebagai terapi infertilitas.
WHO mulai memasukkan akupunktur sebagai terapi medis pada 1979. Saat itu, WHO mengadakan simposium khusus untuk membahas akupunktur dan mendaftar 43 penyakit yang dapat diterapi dengan metode tersebut. Kemudian pada 1984, WHO membuat standar akupunktur yang berkiblat ke Barat.
Lima tahun kemudian (1989), terbentuklah standar nomenklatur, silabus pendidikan dokter, dan pedoman penelitian akupunktur. Tak butuh waktu lama bagi dunia medis untuk mengadopsi pengobatan tradisional Cina ini.
Pada 1991, WHO sudah mengintegrasikan akupunktur ke dalam pendidikan kedokteran.
Pada 1997,WHO yang bekerja sama dengan beberapa organisasi kesehatan nasional menerbitkan Pernyataan Konsensus Akupunktur. Isinya berupa definisi akupunktur dan seluk beluknya.
Meski demikian, konsensus ini disusun berdasar penelitian yang masih terbatas. Studi terhadap akupunktur pada saat itu pun belum didasari uji klinis yang terancang baik. Namun WHO berani memberi garansi.
“Konsensus tersebut menyimpulkan bahwa ada 'hasil yang menjanjikan dan menunjukkan kemanjuran akupunktur’. Ia manjur untuk nyeri pasca operasi, juga mual dan muntah akibat kemoterapi. Mungkin berguna juga untuk berbagai kondisi lain, terutama keluhan yang berkaitan dengan nyeri,” demikian pernyataan mereka saat itu.
Di saat bersamaan, WHO mengumpulkan sekelompok ilmuwan untuk membuat makalah tentang akupunktur yang didukung data 255 uji klinis yang terbit sebelum awal 1999. Makalah ini terbit pada 2003 dan sekarang WHO telah merekomendasikan akupunktur untuk terapi medis bagi lebih dari 100 gangguan penyakit.
Lalu apa bedanya akupunktur medis yang dijalankan oleh dokter dan akupunktur tradisional oleh tabib?
Tirto bertanya kepada Athia Asparini, dokter spesialis akupunktur dari Klinik Bamed. Athia menjelaskan bahwa akupunktur medik merupakan cabang ilmu kedokteran yang menerapkan teknik rangsang akupunktur dengan kaidah anatomi, fisiologi dan patologi sebagai upaya preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif.
Sementara itu, akupunktur yang dilakukan oleh nondokter tidak memiliki diagnosis penyakit yang adekuat.
“Sebelum memulai terapi akupunktur, dokter akan melakukan pemeriksaan medis. Jadi, kami memberikan terapi di titik yang berhubungan dengan diagnosis awal,” katanya saat menjawab pertanyaan Tirto pada webinar “Inovasi Bamed dalam Program Akupunktur dan Program Laktasi” beberapa waktu lalu.
Akupunktur untuk Program Hamil
Kiwari, akupunktur bukan hanya digunakan untuk meredakan gejala nyeri semata. Terapi ini sudah berkembang luas bahkan hingga ke ranah pengobatan kesuburan, alias mendukung program hamil.
Jika selama ini kita mengenal akupunktur hanya menggunakan jarum, Athia menjelaskan beberapa metode lain. Di antaranya elektroakupunktur, sonopunktur, aquapunktur, laserpunktur, maksiobusi, dan tanam benang.
“Promil di Klinik Bamed menggunakan elektroakupunktur dengan media listrik dan laserpunktur, yaitu laser. Ini adalah metode yang paling membuahkan hasil untuk terapi promil,” lanjut Athia.
Pernyataan Athia bukan omong kosong belaka. Dia mengutip penelitian Scott J. Morin dkk. yang terbit pada 2017. Saat itu, tim peneliti melakukan percobaan macam-macam metode akupunktur pada pasien dengan promil di dua klinik berbeda.
Hasilnya menyebut laserpunktur memiliki nilai tertinggi untuk keberhasilan implantasi embrio dibanding metode lain.
“Akupunktur terbukti meningkatkan peluang kehamilan dan keberhasilan kehamilan hingga usia cukup lahir. Perubahannya dari 33 persen menjadi 65 persen.”
Permasalahan dalam program hamil yang dapat diatasi akupunktur medik di antaranya kualitas sel telur kurang baik seperti PCOS, masalah kualitas sperma, program inseminasi, hingga infertilitas yang tak diketahui penyebabnya.
Sebelum memutuskan akupunktur untuk promil, pasangan harus sudah melakukan pemeriksaan bersama dokter kandungan mereka dan mendapat kesepakatan promil apa yang akan dilakukan. Saat berkunjung ke dokter akupunktur, pasangan sebaiknya membawa hasil analisis sperma terbaru, paling tidak dalam kurun waktu 3-6 bulan.
“Untuk promil alami sebaiknya dilakukan 2 kali per minggu sebanyak 12 kali. Setiap kali terapi akan memakan waktu 30-60 menit,” papar Athia.
Jika pasangan menempuh program bayi tabung, akupunktur dilakukan 2 kali per minggu sebanyak 12 kali saat masa stimulasi ovarium terkendali (SOT), 2-3 kali per minggu saat masa SOT selama 14 hari, 2 kali saat sebelum dan sesudah pengambilan sel telur (OPU), 2 kali saat sebelum dan sesudah transfer embrio (ET/FET), dan satu kali selama fase implantasi.
Jarak akupunktur dilakukan sebanyak 2 kali seminggu berkaitan dengan efek harian terapi yang bertahan selama 72 jam. Setelahnya, efek akupunktur akan menurun. Kemudian, periode terapi diberikan hingga 12 kali bertujuan untuk mencapai efek kumulatif selama 3 bulan.
“Pasien yang melakukan terapi dengan jarak konsisten akan menerima efek yang konsisten pula. Sebaliknya, jika bolong-bolong, efeknya akan naik turun sehingga promil juga tidak maksimal,” pungkas Athia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi