tirto.id - Putusan sidang praperadilan Setya Novanto akan dibacakan oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Cepi Iskandar hari ini, Jumat (29/9/2017). Ketokan palu hakim Cepi ini menjadi penentu kelanjutan keterlibatan Ketua Umum DPP Golkar ini dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengaku optimistis komisi antirasuah dapat memenangkan sidang praperadilan ini. Selama proses persidangan yang dimulai sejak 12 September 2017, KPK telah mengajukan 193 bukti untuk menguatkan dasar penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.
“KPK yakin jika fakta hukum, bukti, dan aspek keadilan dipertimbangkan, maka apa yang kami sampaikan di kesimpulan ini akan diterima oleh hakim. Sehingga praperadilan Setya Novanto akan ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak diterima,” kata Febri, di Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Baca juga:KPK Optimistis Menang Praperadilan
KPK berharap hakim tunggal Cepi Iskandar yang menjadi pengadil dalam sidang sidang praperadilan ini bisa secara objektif mempertimbangkan fakta hukum dan bukti yang telah diajukan. Apalagi melihat Novanto yang selama ini dikenal sebagai politisi “licin” yang kerap lolos dari kasus yang membelitnya.
Siapa Cepi Iskandar?
Cepi Iskandar lahir di Jakarta, 15 Desember 1959. Menurut Kepala Humas PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna hakim Cepi memiliki rekam jejak yang panjang dan sudah aktif bertugas sebagai hakim di PN Jakarta Selatan selama 3 tahun.
Pria kelahiran Jakarta ini sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun menjadi pengadil di sejumlah pengadilan sejak pertama kali diangkat menjadi seorang hakim pada tahun 1992. Sebelumnya, Cepi pernah bertugas di Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Negeri Purwakarta.
Saat ini, Cepi Iskandar berpangkat Pembina Utama Madya golongan IV, dengan jabatan hakimnya adalah Hakim Madya Utama.
Salah satu rekam jejaknya adalah pernah menangani perkara praperadilan penetapan tersangka CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo melawan Bareskrim Polri. Hary Tanoe menggugat Bareskrim Polri atas penetapan tersangka kasus dugaan ancaman melalui SMS pada Jaksa Yulianto. Dalam perkara ini, Cepi menolak praperadilan Hary Tanoe.
“Sudah terujilah untuk penanganan kasus-kasus praperadilan yang besar seperti kasus Hary Tanoe sudah ditangani secara baik dan keputusannya juga tidak menimbulkan gejolak apapun,” Made pada 12 September lalu.
Bercermin dari pengalaman Cepi sebelumnya, Made meyakini persidangan akan berjalan dengan baik, dan Cepi akan memutus perkara tersebut dengan seadil mungkin. “Mudah-mudahan lah pengalaman-pengalaman itu dapat diterapkan dalam kasus ini,” kata dia.
Baca juga:Hakim Cepi Iskandar Tentukan Nasib Setnov di Praperadilan
Namun demikian, selama memimpin jalannya sidang praperadilan Setya Novanto ini, hakim Cepi tidak terlepas dari sorotan. Salah satunya saat menolak memutar rekaman yang diajukan KPK pada sidang yang berlangsung pada Rabu (27/9/2017) kemarin.
Ketua KPK, Agus Rahardjo menyesalkan keputusan hakim Cepi Iskandar yang menolak pemutaran bukti rekaman yang diajukan tim biro hukum KPK. Agus mengaku tidak memahami alasan pertimbangan hakim untuk tidak memutar rekaman tersebut di persidangan.
Saat itu, hakim Cepi Iskandar menolak pemutaran rekaman tersebut dengan alasan bahwa hal tersebut berpotensi melanggar azas praduga tak bersalah. Padahal, Agus mengatakan bukti rekaman, yang mendasari penetapan Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP tersebut, bisa menunjukkan kepada publik bahwa keputusan KPK sudah tepat.
Agus menegaskan, rekaman yang diajukan KPK membuktikan keterlibatan Novanto di kasus e-KTP. “Kalau [rekaman] dibuka di praperadilan kemarin, sangat bagus untuk kemudian bisa membuktikan kepada rakyat banyak,” kata Agus, Kamis (28/9/2017).
Hal senada diungkapkan Febri. Juru bicara KPK ini mengatakan, rekaman tersebut membuktikan adanya persekongkolan pihak-pihak tertentu dalam proyek e-KTP. Sementara selama ini gugatan praperadilan mempermasalahkan penetapan Novanto sebagai tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup.
KPK telah menetapkan Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP yang merugikan negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun. Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga:Menguji Ketangguhan KPK Lewat Praperadilan Setya Novanto
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz