tirto.id - Kementerian Keuangan mengaku kesulitan mengejar pajak dari bisnis digital atau e-commerce. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan perdebatan ini kerap alot. Sebab, seringkali barang yang dijual di Indonesia berasal dari produk dan perusahaan luar negeri sehingga sulit memetakan kepastian bilamana keuntungan itu dapat dikenakan pajak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun akhirnya memutuskan membuat dua direktorat baru dalam Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkaitan dengan pajak e-commerce.
Pertama, Direktorat Data Informasi Perpajakan yang bertugas mengumpulkan data aktivitas ekonomi digital dari para pelakunya. Kedua, Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi akan menganalisa data yang diterima dari direktorat yang pertama.
Sri Mulyani menuturkan bahwa lembaganya tengah melakukan pengadaan untuk mendukung kebutuhan tim baru ini. Tepatnya pengadaan database dan sistem informasi.
“Jadi kami sudah melihat di berbagai negara. Oleh karena itu kami berkeputusan membuat tim yang sangat dedikatif untuk sistem informasi ini,” ucap Sri Mulyani usai pelantikan pejabat eselon II dan III Kemenkeu di Kantor Pusat DJP, Senin (8/7/2019).
Langkah Sri Mulyani untuk mengejar pajak e-commerce ini merupakan upaya yang ke sekian kalinya. Pada April 2019, Sri Mulyani juga sempat menerbitkan beleid untuk memperjelas tata cara perpajakan bagi pelaku e-commerce meskipun akhirnya ditarik kembali karena khawatir memicu kegaduhan.
Lalu pada pertemuan G20, pembahasan pajak ekonomi digital pun sempat menjadi topik yang diangkat Indonesia. Terutama untuk menjalin kesepakatan antar-negara guna menetapkan cara memungut pajak ini.
Peneliti perpajakan dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Mohammad Reza menjelaskan langkah pemerintah untuk meregulasi ketentuan pajak bagi e-commerce perlu didukung. Hal ini diperlukan agar tak menimbulkan ketimpangan bagi sesama pelaku usaha terutama yang konvensional.
Apalagi, kata Reza, jangan sampai e-commerce dimanfaatkan sebagai celah untuk menghindari pajak. Belum lagi hal ini tentu dapat membantu penerimaan pajak Indonesia terutama capaian tax ratio. Sebab, selama ini Indonesia sudah 10 tahun belum mencapai target tax ratio yang sudah ditetapkan.
“Saya rasa memang e-commerce harus di-regulate. Salah satu filosofi pajak itu harus setiap usaha yang menjual barang dan jasa wajib dikenakan pajak. Jadi enggak timpang atau [terjadi] kecemburuan,” ucap Reza saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (9/7/2019).
Kendati demikian, Reza mengingatkan bahwa kebijakan ini harus memperjelas pajak yang mau dikenakan karena saat ini sudah ada tarif yang berlaku yaitu 0,5 persen seperti pada UMKM. Lalu, bagi e-commerce besar, ia yakin mereka sudah langsung membayar pajak penghasilan (pph). Intinya pajak yang dikenakan jangan sampai “dobel”.
Selain itu, bagi e-commerce yang baru saja tumbuh, menurut Reza, mereka tetap perlu keringanan. Ia mengkhawatirkan bila nantinya ketentuan pajak ini malah dapat membebani mereka terutama saat bersaing dengan e-commerce besar yang sudah maju.
“Ini mereka mau dikenakan pajak yang mana? Buat yang baru tumbuh jangan sampai mereka mati karena berat bayar pajak. Tax ratio kita memang rendah, tapi jangan terlalu agresif,” ucap Reza.
Sementara itu, Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (Idea), Bima Laga belum mau banyak bicara mengenai langkah Kemenkeu ini. Bima menjelaskan asosiasinya ingin bertemu dulu dengan Kemenkeu untuk audiensi terkait penerapan pajak e-commerce.
“Kami baru membaca aturannya tadi malam yang dikeluarkan pada berita di media. Kami masih mencoba beraudiensi dengan Kemenkeu. Khususnya direktorat yang baru. Semoga setelah audiensi, kami bisa memberi masukan yang komprehensif,” ucap Bima saat ditemui di Hotel Four Points, pada Selasa (9/7/2019).
Sebaliknya, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Mercy Simorangkir menyatakan lembaganya mendukung rencana pemerintah. Hanya saja ia meminta agar hal itu tak sampai menghambat laju pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
Menurut Mercy, rencana ini perlu dikonsultasikan dulu pada swasta terutama pelaku teknologi finansial atau financial technology (fintech).
“Dengan begitu upaya pemberlakuan pajak pada bisnis digital tidak menjadi barrier untuk pertumbuhan ekonomi digital Indonesia,” ucap Mercy seperti dikutip Antara.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz