tirto.id - “Jangan sering-sering keluar rumah! Lagi musim hujan, banyak penyakit.”
Kalimat itu mungkin akrab dengan mulut orangtua ketika musim hujan tiba. Selepas bulan Oktober, beragam penyakit memang seakan mengintai kita, seperti batuk, demam berdarah, masuk angin, dan lainnya. Intensitas hujan yang bertambah seakan berperang melawan sistem imun yang kian melemah.
Rupanya kalimat tersebut tak hanya lekat di telinga penduduk negara tropis ketika musim hujan. Seperti ditulis Aaron E. Carroll dan dr. Rachel C. Vreeman dalam bukunya yang berjudul Don’t Cross Your Eyes… They’ll Get Stuck That Way! And 75 Other Health Myths Debunked (2011), pernyataan tersebut juga populer di negara empat musim seperti Amerika Serikat ketika musim dingin datang. Bahkan, 60 persen orangtua di Amerika percaya bahwa perubahan musim menyebabkan penyakit dan 38 persen percaya bahwa musim dingin menyebabkan penyakit.
Tak hanya itu, lebih dari setengah orangtua di Amerika Serikat meyakini bahwa tidak mengenakan pakaian tebal kala musim dingin bisa menghadirkan penyakit. Kepercayaan itu bukan hadir dari orangtua yang berpendidikan rendah, sebab 48 persen di antara mereka merupakan lulusan universitas, dan 35 persen merupakan lulusan SMA.
Namun, rupanya asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Carroll dan Vreeman menceritakan tentang seorang peneliti yang melakukan studinya di sebuah pulau es di Samudera Arktik. Rupanya, para peneliti tidak menemukan kasus penduduk yang sakit ketika musim dingin, tetapi justru sehat saat cuaca menghangat.
Flu bukan berasal dari musim, melainkan menular dari satu orang ke orang lainnya, begitu juga virus lainnya. Caroll dan Vreeman menjelaskan, dalam sebuah ilmu yang mempelajari tentang sistem imunitas tubuh, kekebalan tubuh mengalami rangsangan ketika seseorang terpapar udara dingin.
Ketika musim dingin, jumlah dan level aktivitas dari sel darah putih di tubuh mengalami peningkatan, khususnya pada leukosit dan granulosit. Zat kimia yang diproduksi oleh tubuh untuk memerangi infeksi pun turut meningkat. Jadi, sebenarnya tubuh mampu berperang melawan musim dingin.
Alasan seseorang lebih mudah sakit, menurut mereka, adalah kebersamaan banyak orang di dalam satu ruangan. Pada musim hujan atau musim dingin, orang tak mau diam di luar. Jarak satu sama lain pun relatif dekat. Saat seseorang bersin atau batuk, mereka akan menghirup udara yang sama.
Perubahan Suhu dan Sistem Pernapasan
Meskipun sistem kekebalan tubuh manusia bisa menyesuaikan perubahan suhu, Ellen F. Foxman dan delapan koleganya dalam paper riset berjudul “Temperature-Dependent Innate Defense Against the Common Cold Virus Limits Viral Replication at Warm Temperature in Mouse Airway Cells” (PDF) menyatakan bahwa perubahan suhu akan memengaruhi pertahanan antivirus pada sistem pernapasan. Studi itu mereka lakukan dengan membandingkan transkripsi sel epitel saluran napas tikus yang terinfeksi rhinovirus pada suhu 330 C (suhu rongga hidung) dan 370 C (suhu tubuh inti/paru-paru).
Rupanya, dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa banyak virus pernapasan mampu menginfeksi rongga hidung, tapi tidak menginfeksi paru-paru. Foxman, dkk. berpendapat penurunan suhu akan mengubah interaksi antara virus dengan inangnya, membuat turunnya respons imun bawaan oleh sel-sel saluran napas yang terinfeksi.
Deborah Weatherspoon dalam artikelnya di Healthline mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh James Tamerius, bersama lima rekannya yang berjudul “Global Influenza Seasonality: Reconciling Pattern across Temperate and Tropical Regions” (PDF). Dalam studi tersebut, Tamerius, dkk menunjukkan bahwa virus influenza paling stabil dalam suhu dingin dan kering. Namun, tak menutup kemungkinan orang akan terinfeksi di iklim lembab dan hangat.
Sebuah artikel berjudul “Dear Science: Why Do I Always Get Sick When the Seasons Change” yang dipublikasikan The Washington Post juga mempertegas bahwa bukan musim yang menyebabkan kita mudah jatuh sakit. Tingkat infeksi virus yang mengakibatkan pilek dan infeksi saluran pernapasan atas lainnya cukup konsisten sepanjang tahun.
Di situ juga dikatakan bahwa orang menjadi mudah sakit ketika pergantian musim. Saat pergantian musim dari panas ke dingin, alergi muncul akibat serbuk sari bunga yang melayang di udara. Pada musim dingin ke panas, alergi tersebut disebabkan oleh debu yang berterbangan.
Alexandra Sowa, seorang dokter spesialis penyakit dalam di New York-Presbyterian Weill Cornell Medicine, mengungkapkan alasan lain orang mudah sakit ketika suhu udara meningkat adalah udara dingin. Ia bisa mengurangi lendir yang semestinya melapisi sistem pernapasan. Suhu dingin juga menyebabkan orang berada di dalam ruangan, sehingga meningkatkan penularan penyakit.
“Orang-orang akan berpindah ke dalam ruangan, cenderung panas kering dan ventilasi yang buruk. Kedua hal ini menjadi alasan dari meningkatnya penularan dan kerentanan penyakit,” ujar Alexandra Sowa, seperti dikutip oleh The Washington Post.
Masalahnya, ketika di dalam ruangan, orang lebih banyak melakukan kontak fisik dengan orang lain sehingga saling menyebarkan kuman. Padahal alergi berulang dapat mengakibatkan infeksi bakteri sekunder pada sinus Anda, sehingga penyakit flu yang diderita akan semakin parah.
Editor: Maulida Sri Handayani