tirto.id - Sudah sewindu lebih Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil mengusahakan agar bangsa ini punya payung hukum yang komprehensif untuk menangani kasus kekerasan seksual. Namun, sejak menginisiasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2012—DPR meminta naskah akademiknya empat tahun kemudian—Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil belum bisa bernapas lega: RUU PKS belum diundangkan oleh forum legislatif.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menjelaskan, saat ini RUU PKS baru sampai pada tahap kedua proses pembentukan UU, yakni tahap penyusunan. Untuk diketahui, sebelum sebuah UU berlaku, ada enam tahap yang harus dilalui, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan tingkat I, pembahasan tingkat II, pengesahan, dan pengundangan.
Pada periode 2014-2019, proses pembahasan RUU PKS terhenti di pembahasan tingkat I dan dinyatakan tidak carry over. Kini, RUU PKS kembali masuk prolegnas prioritas 2021 setelah pada Juni 2020 lalu dikeluarkan dari daftar prolegnas prioritas 2020.
“Semoga di tahun 2021 bisa sampai di tahap keenam,” kata Olivia, saat menjadi pembicara seri webinar Virtual Bootcamp Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual dengan tema Mengapa RUU PKS Sampai Sekarang Belum Disahkan, Jumat (6/8).
Harapan Olivia beralasan. Kasus kekerasan seksual terus meningkat dari hari ke hari dan selama pandemi peningkatannya lebih signifikan lagi. Temuan Komnas Perempuan menyebut bahwa setiap dua jam terjadi tiga kasus kekerasan seksual dan kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) kenaikannya mencapai 235% atau meningkat sebanyak 661 kasus dibanding tahun sebelumnya.
“RUU PKS tidak dibuat untuk perempuan, tapi untuk setiap warga negara,” ujar Olivia, perempuan pertama yang menjadi wakil walikota Ambon 2006-2011.
Lebih Progresif, Pemecah Kebisuan
Anggota DPR RI Diah Pitaloka menyebut proses pembahasan RUU PKS di DPR kini lebih progresif ketimbang periode sebelumnya. Contohnya, jika dulu RUU PKS hanya dibahas di Komisi VIII, saat ini pembahasannya sudah dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) yang anggotanya lintas komisi dan lintas fraksi.
Selain itu, Diah meyakini bahwa saat ini informasi mengenai pembahasan RUU PKS juga terus berkembang di masyarakat. Wacana mengenai RUU PKS tidak hanya beredar di kalangan aktivis, tapi juga jaringan kampus, perusahaan seperti Grab Indonesia, hingga kalangan agamawan. Semuanya sama-sama menyatakan penolakannya terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Atas dasar itulah Diah melihat bahwa partai pengusul RUU PKS—PDI-P, Nasdem, dan PKB—kini mendapat dukungan lebih besar baik secara sosial maupun secara politik. “Saya dengar teman-teman dari Kantor Staf Presiden sudah minta agar RUU PKS ini segera disahkan,” kata sosok kelahiran Cilacap ini, Jumat (6/8).
Menurut Diah, RUU PKS penting disahkan sebab penyelesaian kasus kekerasan seksual kerap sulit dibuktikan di pengadilan. “Kasus kekerasan seksual tidak hanya menyangkut pendekatan normatif, tapi juga pendekatan sosial budaya. Secara esensi, pembahasan RUU PKS ini lebih komprehensif.”
Sementara dilihat dari aspek komunikasi, Asisten Profesor di Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Gilang Desti Parahita menyebut tersendatnya pembahasan RUU PKS di DPR turut dipengaruhi oleh “pembungkaman” yang kadung mendarah daging dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
“Alih-alih didukung, korban malah disalahkan, dan sulit mendapatkan bantuan hukum. Victim blaming semacam ini adalah bentuk nyata dari pembungkaman,” ujar Gilang, Jumat (6/8).
Lebih jauh, Gilang menerangkan bahwa dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki, kelompok termarjinalkan harus mengkomunikasikan pengalaman mereka ke dalam struktur pengalaman kelompok dominan, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk menyuarakan persoalan mereka sendiri. Dalam konteks inilah keberadaan RUU PKS punya peran menjadi ‘alat pemecah kebisuan’.
“Dengan RUU PKS, korban kekerasan seksual yang selama ini dibungkam akhirnya mempunyai hak untuk tidak di-bully, hak untuk mendapatkan pendampingan, hak untuk tidak diancam dan dilaporkan balik oleh pelaku, dst,” papar Gilang.
Ironisnya, saat RUU PKS tengah diperjuangkan, pembungkaman lain juga dilakukan para penentang RUU PKS, antara lain lewat berita hingga hoax, serta disinformasi mengenai RUU ini di media sosial. Gilang berharap dalam kondisi semacam ini pihak berwenang ikut turun tangan meluruskan.
“Kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus berani bersuara mendukung RUU PKS. Semangat utamanya adalah melindungi kepentingan penyintas,” ungkap Gilang.
Seri webinar Virtual Bootcamp “Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual” digelar atas kolaborasi Komnas Perempuan & Grab Indonesia, dibantu Tirto.id. Kegiatan akan berlangsung saban bulan sejak Juli hingga Desember 2021.
Head of Central Public Affairs Grab Indonesia Tirza Reinata Munusamy menyebut para penyelenggara berharap kegiatan Virtual Bootcamp ini berperan sebagai sarana edukasi masyarakat terkait sosialisasi dan advokasi RUU PKS. “Semoga masyarakat yang mengawal RUU ini kian banyak. Bagi Grab, pengesahan RUU PKS sangat penting karena prioritas kami adalah memberikan layanan yang aman dan nyaman buat semua kalangan, Zero Tolerance,” ungkap Tirza, Jumat (6/8).
Webinar #2 dari seri webinar Virtual Bootcamp Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual ini juga diramaikan oleh partisipasi BEM KM UGM. “Kami menyatakan dengan tegas bahwa kami mendukung disegerakannya pengesahan RUU PKS pada tahun 2021,” kata Kintansari Adhyna Putri, Sekretaris Jenderal BEM KM UGM.
BEM KM UGM tergolong sebagai salah satu lembaga yang menggelar berbagai kampanye anti kekerasan seksual dan melakukan pengawalan RUU PKS. “Mengingat berbagai kasus kekerasan seksual sudah sedemikian jelas terdengar dan bahkan dianggap lumrah, pada Maret, April, Mei lalu, pengawalan terhadap RUU PKS kami internalisasikan di dalam kampus,” ujar Kintan.
Lewat Olivia Chadidjah Salampessy, pihak Komnas Perempuan mengapresiasi inisiatif Grab menggelar seri webinar Virtual Bootcamp Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual. “Kami berharap kegiatan ini, sampai akhirnya nanti (bulan Desember 2021--red), akan berkontribusi positif terhadap pemahaman publik terkait pengesahan RUU PKS.”
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis