tirto.id - Meledaknya pinjaman online selama pandemi Covid-19 setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, melemahnya daya beli masyarakat dan menipisnya tabungan; kedua, rendahnya bantuan sosial dari pemerintah.
Alasan pertama mengemuka dalam laporan terbaru lembaga riset Smeru mengenai keuangan rumah tangga 2021. Ditemukan 74% mengalami penurunan pemasukan, 70% tetap bekerja di luar rumah untuk menambah pemasukan, 14% berpindah ke sektor informal, dan 51% tidak mempunyai tabungan kemudian terpaksa menjual atau menggadaikan aset mereka dan meminjam uang.
Data Smeru ini sayangnya tidak dilengkapi dengan korelasi meningkatnya enam jenis utang rumah tangga yang melingkupi utang terkait pertanian (pupuk, pestisida, utang kepada pengijon, rentenir), utang kartu kredit, utang pendidikan (student loan), utang kredit rumah (mortgage), utang kendaraan (cicilan motor/mobil), dan utang medis (sakit berkepanjangan, biaya rumah sakit)
Kemudian terkait minimnya bantuan dari pemerintah. Paul Burke & Martin Siyaranamual dalam catatannya No one left behind in Indonesia? (2019) mengatakan bantuan sosial di Indonesia hanya 0,6% dari total GDP. Alokasi yang sangat pelit mengingat banyaknya jumlah penduduk. Angkanya juga sangat kecil jika dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, Thailand, dan Afrika Selatan yang mengalokasikan bantuan di atas 1% dari total GDP.
Implikasi dari rendahnya bantuan sosial ini adalah masyarakat mencari jalan ekonomi masing-masing ketika terjadi krisis seperti pandemi, dan salah satunya adalah dengan meminjam secara online. Pendapat ini diperkuat oleh laporan salah satu pendiri Koperasi Kasih Indonesia yang mempunyai nasabah sekitar 10 ribu kepala, di mana 50% di antaranya tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah baik dalam bentuk uang tunai maupun sembako.
Mengapa Bunga Pinjol Ilegal Tinggi?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pinjaman online yang tercatat sekitar 155, sisanya, lebih dari 5 ribu, termasuk pinjaman online ilegal.
Salah satu alasan umum mengapa pinjaman ilegal lebih diminati adalah ia menawarkan kemudahan. Cukup dengan foto diri, KTP, dan nomor telepon saja uang sudah bisa cair. Selain itu, tak perlu juga memenuhi dua syarat utama yang biasanya diterapkan oleh lembaga peminjam konvensional. Pertama, portofolio atau semacam skor kredit yang menunjukkan bahwa debitur pernah punya utang dan disiplin dalam melunasinya. Kedua, collateral atau aset yang dimiliki sebagai jaminan sita jika si peminjam tidak melunasi utang.
Hilangnya dua syarat ini menunjukkan bahwa utang saat ini merujuk pada kondisi subjek itu sendiri: tengah mengalami krisis dan hidup rentan di masa pandemi.
Kemudahan yang ditawarkan seakan menegasikan efek samping yang muncul ketika seseorang meminjam: menanggung bunga yang tinggi. Bunga pinjaman terendah mencapai 0,8% per hari, yang berarti dalam satu bulan bunga menjadi 24% dan pertahun mencapai hampir 300%.
Mengapa bunga pinjaman online lebih tinggi dari bank konvensional? Jawabannya dapat kita petik dari studi-studi ekonomi pertanian di Jawa pada 1980-an. Pada saat itu rentenir biasa meminjamkan uang kepada warga miskin dan pedagang kecil. Syaratnya pun sama-sama mudah, cukup fotokopi KTP saja. Utang pun diberikan secara cepat dan tanpa kerumitan administrasi. Mereka berutang karena kondisi sedang tak menguntungkan, misalnya ketika gagal panen.
Suku bunga yang tinggi diterapkan sebagai biaya atau kompensasi dari risiko peminjaman yang tinggi karena profil peminjam seperti itu. Selain itu, bunga tinggi karena rentenir juga mempunyai modal yang terbatas untuk kucuran kredit.
Fenomena ini mirip dengan saat ini, di mana pinjaman online mempunyai modal yang lebih terbatas dibanding bank konvensional. Pemberi pinjaman membebankan bunga tinggi untuk menutupi biaya hubungan dengan klien. Namun, sedikit berbeda dengan pinjaman perdesaan, peminjam pinjaman online ditagih dengan paksa dan intimidasi karena tidak dikenal secara personal.
Wajah Utang Indonesia
Karakteristik utang di Indonesia seperti caranya berkonsumsi, yakni ketengan atau eceran. Bunga utang dihitung harian atau bulanan sehingga nampak kecil. Namun, jika dihitung pertahun, sangatlah tinggi.
Sejarawan Pieter Boomgard melihat problem utang berbunga tinggi telah ada sejak abad ke-14. Kesultanan seperti Banten, Malaka, dan Makassar menerima begitu banyak pelarian utang. Mereka mencari perlindungan dari kejaran kreditur yang menerapkan bunga utang di atas 100% per tahun. Pihak kesultanan kemudian membayarkan utang pokoknya saja dan para debitur ini kemudian mengabdi pada kesultanan. Fenomena ini bisa ditarik lebih jauh pada tradisi Hindu Bali, di mana pura penuh dengan debitur yang berlindung dan tidak mampu membayar.
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai sejarah panjang dalam mengontrol tingginya bunga utang ketengan ini. Caranya adalah dengan menciptakan bank kredit dan koperasi khususnya untuk tabungan masyarakat perdesaan dan petani.
Sejak politik etis dijalankan awal 1900-an, tiga institusi kredit mulai diperkenalkan di Jawa, yakni dessabank, lumbung, dan volksbanken atau bank rakyat. Volksbanken yang paling populer. Ia mulai beroperasi dengan tingkat bunga pinjaman 12% dan 6%-8% untuk tabungan. Tujuan dari pendirian unit bank kredit adalah untuk menetapkan standar suku bunga pinjaman dan menghindari bunga tinggi yang ditawarkan secara informal oleh pedagang Cina baik kepada pegawai pemerintah maupun para petani perdesaan.
Profesor sejarah ekonomi dari Utrecth, Jan Luiten van Zanden, dalam laporan berjudul Credit and the Colonial State (2009) menunjukkan selain bank, lembaga kredit terpenting yang muncul di awal 1900-an adalah pegadaian. Pemerintah kolonial memutuskan untuk memonopoli pegadaian karena banyaknya pegadaian swasta dengan suku bunga yang tinggi. Selain itu juga mengatasi pasar kredit di Jawa yang dikuasai oleh sekelompok rentenir khususnya pedagang eceran Cina yang telah membentuk jaringan kredit berurat berakar.
Ketika pemerintah memonopoli pegadaian, tingkat bunga kredit menurun tajam dari 143% menjadi 72% pada 1901 dan akhirnya 48% persen per tahun pada 1920. Pegadaian menjadi sumber pendapatan bersih yang signifikan bagi negara kolonial karena petani perdesaan Jawa ketika mendapatkan hasil lebih menginvestasikannya ke aset seperti ternak dan tanah, bukan ditabung ke bank, bahkan hingga saat ini.
Yang menarik adalah, utang informal pascakolonial justru jauh lebih tinggi dibanding masa kolonial. Boomgaard (2009) menyebutkan bahwa bunga pinjaman yang diberikan kepada pemerintah kolonial kepada para pemimpin politik pribumi dan pedagang Cina selama abad ke-17 dan 18 sekitar 30% per tahun, sedangkan angka paling tinggi mencapai 150% per tahun dengan pinjaman tanpa jaminan. Namun demikian, angka ini masih jauh lebih rendah daripada tingkat riil pinjaman moneter jangka pendek di pasar kredit informal Indonesia pada medio abad ke-20 yang mencapai 300% per tahun.
Negara sebagai Wasit
Pinjaman online seperti tengkulak di perdesaan, hanya saja berubah platformnya. Mereka sama-sama menerapkan bunga tinggi dan tidak meningkatkan produktivitas ekonomi. Persis seperti wine lama di botol yang baru.
Merebaknya pinjaman online, khususnya yang ilegal, menunjukkan bahwa pasar bebas tidak mempunyai moral kecuali jika ia diregulasi. Belajar dari sejarah pemerintah kolonial, langkah yang perlu dilakukan adalah, pertama, negara perlu hadir melindungi warga yang rentan dari kreditur berwajah predator. Namun demikian, regulasi diperlukan bukan hanya untuk mengekang pasar, tapi juga untuk menghidupkan kembali vitalitas ekonomi masyarakat.
Kedua, lebih baik dari pemerintah kolonial tentunya adalah meningkatkan bantuan sosial selama krisis pandemi. Bantuan sosial terbukti membantu perputaran ekonomi melalui konsumsi dan mengembalikan usaha-usaha kecil untuk kembali bergeliat.
Editor: Rio Apinino