Menuju konten utama

Mengapa Kultur Kekerasan Langgeng di Indonesia

Terpaparnya anak terhadap kekerasan menjadi salah satu sebab mengapa kekerasan terus berulang.

Mengapa Kultur Kekerasan Langgeng di Indonesia
Sejumlah warga Manggarai terlibat bentrok dengan warga Jalan Tambak di Kawasan Manggarai, Jakarta, Senin (20/8/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pd/18

tirto.id - Minggu (23/9/208) lalu adalah hari yang pilu. Harlingga Sirla, pendukung Persija, tewas di tangan kerumunan di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Ia dikeroyok oleh para pendukung Persib sesaat sebelum dua tim musuh bebuyutan ini bertarung. Pertandingan sepak bola yang seharusnya jadi ajang adu sportivitas, menjadi ladang dituainya kekerasan.

Keluarga Ari, begitu ia kerap disapa, hanya bisa pasrah, menatap jenasah Ari yang terbujur kaku ketika dibawa pulang kerumahnya keesokan hari. "Dia cuma bilang ke Mama ada kerjaan sama teman. Kata mama tumben ini anak salim terus bilang: Doain Ari ya, Ma," terang kakak Ari, Mayrisa, mengisahkan perpisahan terakhir mereka dengan Ari.

Nama Ari menambah daftar panjang korban jiwa yang sebelumnya telah diisi oleh kejadian-kejadian serupa. Sebelum Ari, setidaknya ada lima korban lainnya sejak tahun 2012 dalam perseteruan suporter kedua klub.

Tiga hari berselang, Rabu (26/9), aksi kekerasan kembali terkuak. Seorang siswa SMK di Jakarta Timur dibacok oleh teman-temannya. Alasannya sederhana: Ia tidak mau diajak tawuran dan berusaha mencegahnya. Merasa tidak terima, salah seorang terduga pelaku turun dari motornya dan membacok korban.

Seorang terduga berhasil kabur. Dua lainnya berhasil dijerat dan dipukuli oleh warga karena dikira pelaku begal.

Di hari yang sama, polisi berhasil mengamankan puluhan pelajar yang diduga akan melakukan tawuran di Depok, Jawa Barat. Salah seorang pelajar tersebut mengaku, ia mendapatkan ajakan baku hantam itu dari grup WhatsApp siswa sekolahnya. Tidak hanya itu, ia diminta untuk membawa senjata tajam.

Sejumlah peristiwa tersebut merupakan puncak dari gunung es kasus tindak kekerasan di Indonesia yang hanya tampak permukaannya. Dalam interaksi sehari-hari, masih banyak kasus kekerasan yang tidak tampak ataupun luput dari perhatian publik. Semuanya berpotensi pada kejadian fatal, seperti hilangnya nyawa.

Penegakan hukum, sementara itu, sudah terbukti tidak dapat menjadi jalan keluar tunggal dari tindakan kekerasan yang sepertinya masih langgeng di Indonesia. Kejadian sama yang terus-menerus berulang meski polisi telah menindak pelaku kekerasan sudah membuktikan hal tersebut.

Lingkaran Setan Kekerasan

Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir mengatakan, penyebab terjadinya kekerasan di Indonesia tidak dapat dipukul rata, begitu pula bagaimana cara menyikapinya. Menurutnya, kasus kekerasan di Indonesia harus dilihat satu per satu, kasus per kasus.

Meski demikian, ia menyebutkan bahwa faktor terpaparnya anak pada tindak kekerasan pada usia dini dapat menjadi salah satu pemicu anak tersebut untuk melakukan tindak kekerasan di masa depan.

Zainal mengambil contoh kasus Ambon tahun 1999. Meski ada sejumlah anak-anak korban tindak kekerasan pada konflik tersebut yang saat ini menjadi pemuda aktivis perdamaian, banyak pula yang masih menyimpan trauma dari tindak kekerasan yang mereka alami ketika konflik. Alhasil, konflik kekerasan yang ada belum benar-benar rampung.

“Banyak sekali traumahealing-nya yang belum selesai,” katanya kepada Tirto, Kamis (27/9).

Dalam laporan berjudul Violence against Children in East Asia and the Pacific (2014) yang disusun oleh The United Nations Children's Fund (UNICEF), tindakan kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan beragam konsekuensi yang dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar.

Disusun dari 178 studi yang dilakukan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, empat kelompok besar itu adalah risiko kesehatan fisik, kesehatan mental, keluaran kekerasan, serta dampak terhadap pendidikan dan ketenagakerjaan.

Dalam kelompok kesehatan mental, kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan masalah pada manajemen kemarahan anak tersebut. Selain itu, mereka yang terdampak pada kekerasan sejak dini juga memiliki peluang untuk menjadi pelaku kekerasan selanjutnya, seperti perundungan dan kekerasan terhadap pasangan hidup mereka kelak. Ini termasuk dalam kelompok keluaran kekerasan.

Padahal, berdasarkan laporan Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun pernah mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah.

Masih dari laporan yang sama, kekerasan yang dialami pada masa kanak-kanak kemudian dapat diteruskan "dari generasi ke generasi - dari orang tua ke anak, atau saudara kandung ke saudara" (hlm.2). Ini kemudian berpotensi menciptakan lingkaran setan kekerasan.

Dalam konteks yang lebih luas, pendiri Oxford Research Group, Scilla Elworthy serta profesor studi perdamaian Bradford University, Paul Rogers berpendapat, kekerasan menjadi abadi karena tindak kekerasan selalu dibalas oleh tindakan kekerasan yang lain.

Dalam laporan mereka berjudul The ‘War on Terrorism’: 12 month audit and future strategy options (2002), mereka menjelaskan ada tujuh tahapan emosi yang dirasakan oleh manusia yang menyebabkan mengapa kekerasan selalu berulang.

Ketika kekerasan itu terjadi, dampak yang pertama dirasakan adalah rasa terkejut atas tindakan tersebut. Kedua, rasa takut dan sakit. Ketiga, kesedihan. Selanjutnya, perasaan itu kemudian berganti menjadi amarah. Kelima, amarah beralih menjadi kegetiran. Keenam, kegetiran berubah menjadi keinginan untuk membalas dendam. Ketujuh, dendam kemudian berujung pada aksi pembalasan, yang kemudian kembali kepada aksi kekerasan.

Infografik Kultur Kekerasan

Memutus Rantai Kekerasan

Diah Kusumaningrum, pengajar studi perdamaian di jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, untuk memutus aksi kekerasan tidak bisa dilakukan dengan satu cara saja. Salah satu cara lainnya adalah dengan mempromosikan cara-cara alternatif selain kekerasan, tidak hanya di sekolah namun juga di keluarga.

“Selama orang merasa kekerasan adalah cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan mereka, mereka akan lebih memilih cara kekerasan,” jelas Diah kepada Tirto. “Selama orang tahunya lebih banyak repertoar kekerasan [...], tentunya mereka memilih repertoar kekerasan.”

Diah menyebutkan, sesungguhnya terdapat lebih dari 198 metode aksi nir-kekerasan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah, namun tidak banyak yang mengeksplorasinya. “Kebanyakan orang hanya memilih metode demonstrasi,” jelasnya. Ia mengacu pada 198 metode aksi nir-kekerasan yang dibuat oleh Gene Sharp.

Ia yakin, ketika orang diberikan pendidikan mengenai opsi yang lebih luas, bahwa ada cara-cara lain selain kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang juga efektif, kekerasan dapat diredam. “Opsinya pertama dilebarkan, dan kedua orang dibikin lebih prefer ke aksi nir-kekerasan,” terangnya.

Sementara itu, menurut Elworthy dan Rogers, langkah paling efektif untuk memutuskan rantai kekerasan adalah dilakukannya intervensi ketika konflik berada pada tahap amarah yang beralih menjadi kegetiran. Ini krusial agar konflik yang ada tidak terjebak dalam lingkaran setan kekerasan.

"Saya tidak merasa ada yang membalaskan kematian anak saya. Tidak. Sebab saya tahu bagaimana pedihnya kehilangan orang yang saya cintai,” kata Iip Saripah, ibu dari Rangga Cipta Nugraha, seorang korban kekerasan suporter bola enam tahun silam. ”Sakitnya sampai sekarang. Tak bisa digambarkan.”

Jelas, ungkapan hati Saripah bukanlah sesuatu yang dianggap sepele. Ketika lingkaran kekerasan terus berlanjut, bukan tidak mungkin ada ibu-ibu lain selain Saripah yang akan mengatakan kesedihan yang sama.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nuran Wibisono