Menuju konten utama

Jangan Ajarkan Disiplin dengan Kekerasan

Hukuman fisik pada anak hanya akan melahirkan ketakutan dan gangguan mental, alih-alih disiplin.

Jangan Ajarkan Disiplin dengan Kekerasan
Anak laki-laki dan perempuan bermain bersama. FOTO/ Shutterstock

tirto.id - "Keluarga bahagia semuanya sama; setiap keluarga yang tidak bahagia, menjadi tidak bahagia dengan caranya masing-masing." Penggal kedua kalimat pembuka Leo Tolstoy dalam AnnaKarenina itu mewakili dengan jitu rupa-rupa keluarga rusak, termasuk keluarga yang di dalamnya anak-anak mengalami kekerasan.

Terkadang, kekerasan terhadap anak disertai dalih pendidikan dan pendisiplinan.

Statistik kekerasan pada anak-anak dicatat dalam "Global Report 2017: Ending Violence in Childhood". Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa tiap tahunnya terdapat 1,3 miliar anak di dunia usia 1-14 tahun telah mengalami kekerasan fisik. Sementara itu di Indonesia sendiri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat ini mencatat ada 1.000 kasus kekerasan pada anak dalam kurun waktu selama tahun 2016.

Ironisnya, dari catatan KPAI tersebut, 55 persen pelanggaran hak anak terkait keluarga dan pengasuhan alternatif dilakukan oleh ibu.

"Terkait kasus keluarga dan pengasuhan alternatif KPAI mendapatkan 702 laporan, di mana 55 persennya ibu berperan dalam melakukan pelanggaran hak anak," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh seperti dilansir Antara.

Pelanggaran tersebut, menurut KPAI, meliputi pembatasan akses bertemu dengan anggota keluarga lain, pengabaian terhadap tumbuh kembang anak, tindak kekerasan, dan eksploitasi ekonomi maupun seksual.

Baca juga: Anakmu Bukan Ambisimu

"Global Report 2017" menyatakan bahwa kekerasan dalam keluarga dimulai sejak anak masih kecil. Bahkan di beberapa kasus, kekerasan tidak jarang juga terjadi sebelum seorang anak lahir. Perkara ini tercermin dari sejumlah kasus aborsi.

Di lingkungan keluarga, orangtua adalah satu pelaku utama yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Memang kebanyakan orangtua melakukannya bukan sekedar ingin menyakiti si anak, tapi dengan alasan proses pendisiplinan.

Cara mendisiplinkan anak oleh orangtua pun berbeda-beda, mulai dari memberi teladan perilaku yang sebaiknya dilakukan si anak sampai dengan memberi sanksi atau hukuman ketika anak bertindak tidak patuh. Bentuk hukuman yang diberikan beragam, tapi sayangnya hukuman fisik adalah salah satu yang paling sering dipilih.

Baca juga:Orangtua Tidak Perlu Buru-Buru Menyekolahkan Anak

Gershoff dalam risetnya mengenai kekerasan fisik pada anak di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar 65 persen orangtua menyetujui hukuman fisik untuk anak dan sekitar 50 persen di antaranya telah melakukannya dalam lingkungan keluarga dalam rangka mendisiplinkan anak.

Banyaknya orangtua yang menyetujui hukuman fisik untuk anak tersebut nyatanya tidak diikuti dengan pemahaman tentang pengaruh jangka panjang tindakan mereka terhadap sang anak.

Dalam penelitian itu, Gershoff menyebutkan bahwa hukuman fisik yang sering terjadi di lingkungan keluarga mempunyai dampak terhadap kesehatan mental anak di masa depan. Ia juga menyebutkan bahwa hukuman fisik berpotensi memunculkan kecenderungan anak untuk antisosial, peningkatan kenakalan dan agresivitas, serta menurunnya kualitas hubungan antara orangtua dan anak.

Dr. Sukarti dalam penelitiannya mengenai penggunaan metode disiplin berupa hukuman fisik oleh orangtua menyatakan bahwa perilaku tersebut berpengaruh terhadap tingkat agresivitas anak.

Dari penelitian yang ia lakukan terhadap 162 siswa kelas 4 dan 5 SD tersebut, didapatkan hasil bahwa 5,3 persen perilaku agresif fisik pada anak dipengaruhi oleh hukuman fisik yang digunakan oleh orangtua.

Selain tingkat agresivitas anak yang meningkat, hukuman fisik juga dilaporkan berpotensi menyebabkan trauma, depresi, gangguan kognitif, dan tingkat kecemasan yang berlebihan untuk anak-anak. perkara tersebut, setelah anak dewasa, berkembang menjadi dampak yang lebih buruk lagi, mulai dari ketidakmampuan anak dalam menjalin hubungan dengan sesamanya sampai dengan efek ‘balas dendam’ berupa kekerasan yang akan ia lakukan dengan orang lain.

“Bukan tidak mungkin, pengalaman buruk di masa kecilnya akan berpengaruh di masa depan mereka, baik pada pasangannya atau bahkan ke anaknya kelak,” kata Gershoff.

Baca juga:Ajaklah Anak-Anak Mengenali Permainan Tradisional

Terkait metode mendisiplinkan anak, Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini turut menyarankan kepada orangtua untuk memberi teladan, alih-alih sekedar memberi perintah, marah-marah, atau malah memberi hukuman. Di banyak sisi, hukuman hanya akan melahirkan ketakutan anak, yang mengakibatkan anak akan patuh hanya jika diawasi orangtuanya saja.

Saran lainnya adalah orangtua sebaiknya tidak segan memberi pujian atas pencapaian anaknya serta tidak mengungkit perilaku salah anak di masa lalu. Karena dengan terus menerus membahas kesalahan anak di masa lalu, hanya akan melahirkan kemarahan anak dan memicunya untuk melakukan kesalahan baru.

Orangtua sebagai model dalam sebuah keluarga sudah selayaknya menjadi contoh sekaligus secara aktif memberi pemahaman yang jelas atas apa-apa saja yang oleh dan tidak boleh anak lakukan.

“Jangan lupa untuk menyampaikan pula alasannya. Jelaskan pula manfaatnya bagi anak bila ia bertingkah laku baik. Ibu-bapak harus yakin bahwa anak paham akan apa yang dilakukan,” terang Dr. Rose Mini, seorang psikolog anak dan keluarga.

Baca juga:Mahalnya Biaya Membesarkan Anak

Infografik sayangi anak anda

Kekhawatiran banyak kalangan terhadap perilaku kekerasan anak dalam keluarga ini telah lama menjadi perhatian dunia internasional. Sebuah penelitian yang dilakukan Joan Durrant, yang diterbitkan di Canadian Medical Association Journal, mengamati pergeseran perspektif internasional mengenai hukuman fisik untuk anak-anak.

Penelitian yang berlangsung selama dua dekade terakhir ini mencatat bahwa pada 1990 sejumlah pihak telah mengumpulkan data mengenai hubungan hukuman fisik dengan perkembangan negatif pada anak. Kemudian, lahirlah Konvensi tentang Hak-hak Anak yang kemudian diadopsi oleh PBB. Sayangnya, pada tahun itu baru empat negara yang melarang adanya hukuman fisik untuk anak-anak.

Hingga tahun 2000, pendataan terus berkembang dan membuahkan hasil 11 negara melarang adanya hukuman fisik untuk anak. Hingga 2016, telah terdapat 51 negara yang memberlakukan larangan terhadap hukuman fisik untuk anak-anak.

Beberapa negara itu di antaranya adalah Finlandia, Norwegia, Irandia, Peru, Denmark, Hungaria, dan Swedia. Sayangnya, Indonesia masih belum termasuk dalam negara yang memberlakukan larangan terhadap hukuman fisik untuk anak-anak.

Baca juga:Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax

Terlepas dari hal itu, para orangtua di negara kita sudah seharusnya memahami bahwa banyak metode yang dapat dibelajarkan untuk anak selain dengan hukuman fisik. Disiplin seharusnya menjadi salah satu karakter yang terbentuk oleh kesadaran diri yang kuat, bukan dari akumulasi ketakutan-ketakutan bentukan para orangtua.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP ANAK atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani